Tantangan
Jokowi Mengelola Sumber Daya Alam
Fachruddin M Mangunjaya ;
Dosen
Fakultas Biologi Universitas Nasional (UNAS)
|
KORAN
TEMPO, 15 September 2014
Naiknya
Joko Widodo sebagai presiden menumbuhkan optimisme bahwa persoalan lingkungan
di Indonesia akan teratasi dengan baik. Hal ini karena Presiden Jokowi, yang
berlatar belakang pendidikan Fakultas Kehutanan, diharapkan memiliki
kesadaran memadai ihwal sumber daya alam. Problem kesemrawutan tata kelola
lingkungan hidup, kehutanan, dan konflik pemanfaatan sumber daya alam kiranya
dapat diurai dalam agenda presiden ke depan. Ada beberapa agenda prioritas
bagi pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Pertama, masalah pengelolaan
sumber daya alam berkelanjutan. Kedua, upaya penanggulangan perubahan iklim,
dan ketiga, kesadaran publik tentang kelestarian lingkungan serta
keseimbangan ekosistem.
Kekayaan
sumber daya alam negeri ini bisa menjadi penumpu kehidupan. Bukan hanya yang berupa
mineral-minyak, batu bara, emas, dan tembaga-di dalam perut bumi, tetapi juga
keanekaragaman hayati. Hutan selama ini hanya dianggap sebagai sumber kayu (logging) dan penghasil rente ekonomi.
Padahal, hutan merupakan cadangan pangan alternatif, bahan baku obat-obatan,
dan stok sumber daya genetika.
Sebuah
ekosistem yang seimbang seharusnya dinilai dalam kesatuan pengambilan
keputusan dan kebijakan. Telah banyak kajian tentang penilaian ekonomi
terhadap sebuah ekosistem. Hilangnya jasa ekosistem pasti akan berbuntut
kehilangan mata rantai kehidupan yang ujungnya menurunkan produktivitas.
Karena itu, pengambilan kebijakan tidak bisa dilakukan secara sektoral,
melainkan horizontal, diagonal, bahkan jika diperlukan vertikal dengan
pertimbangan ilmu pengetahuan dan etika.
Adapun
perubahan iklim kelihatannya sudah menjadi momok semua bangsa. Apalagi dengan
gagalnya upaya global dalam menurunkan kadar emisi melalui berbagai
perjanjian. Padahal, anomali iklim telah nyata dirasakan di mana-mana. Anomali iklim tersebut bisa berujung
bencana yang merugikan. Bukan saja merusak kondisi ekonomi, tapi juga
menyebabkan penderitaan jangka panjang. Assessment
Report of Intergovermental Panel for Climate Change (IPCCC 2014)
menekankan pentingnya melakukan adaptasi dalam berbagai lini kehidupan. Kata
kunci Indonesia dalam perubahan iklim adalah bagaimana bangsa ini tidak lagi
melakukan konversi terhadap hutan alamnya. Kegagalan Indonesia memelihara
hutan alam harus menjadi perhatian karena sangat "memalukan" dan
kontra-produktif terhadap upaya politik lingkungan Indonesia di kancah
global.
Karena
itu, keberhasilan pembangunan dan pembenahan tata kelola sumber daya alam
dalam kabinet Jokowi dapat dijawab dengan "revolusi mental" dalam
mengelola sumber daya alam. Lebih khusus lagi berkaitan dengan masalah
keanekaragaman hayati. Sekarang ini, kesadaran lingkungan dan kepedulian
bangsa Indonesia atas keanekaragaman hayati sangat rendah. Elite politik di
daerah dan pusat gampang memberikan izin, bahkan menukar fungsi hutan lindung
demi rente ekonomi. Akibatnya, datanglah para investor dan industri yang
menghancurkan lingkungan serta jasa lingkungan.
Hasil
studi Kementerian Lingkungan Hidup pada 2012 menunjukkan bahwa kualitas air
sungai di seluruh provinsi, terutama di Jawa dan Sumatera, terus menurun.
Penyebabnya adalah maraknya pencemaran, tata ruang yang tidak dipatuhi, serta
perilaku masyarakat, termasuk industri yang membuang limbah sembarangan.
Laporan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009
menyimpulkan bahwa 92 persen jenis ikan air tawar yang pernah tercatat eksis
pada 1912 telah punah. Akankah sungai lain di Tanah Air bernasib sama?
Kabinet
"Revolusi Mental" adalah titik strategis dalam memprioritaskan
pembangunan ekonomi dan perbaikan kualitas lingkungan hidup dalam satu
kontinum. Penyederhanaan jumah kabinet semestinya bisa menyatukan perspektif
penataan lingkungan hidup dalam kesatuan sistem, termasuk dalam pengambilan
kebijakan. Persoalan struktur kementerian dalam pembenahan lingkungan saat
ini harus berbeda dengan yang diterapkan 20 tahun lalu, sehingga upaya
menyatukan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Kementerian Kehutanan menjadi
hal strategis.
Adapunsoal
penataan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan, baik
keanekaragaman hayati maupun sumber daya mineral, dapat dimediasi dengan
pertimbangan tata kelola oleh seorang menteri koordinator. Menteri ini bisa
dibantu sebuah lembaga fungsional independen, sehingga segala tantangan
kepentingan dalam pengambilan kebijakan dapat diselesaikan dengan basis
pertimbangan sains profesional, etika, dan keseimbangan (balance). Pemasangan kabinet seperti inilah yang diharapkan dapat
mengamankan kehidupan jangka panjang bangsa ini, dengan karunia isi buminya
yang menjadi tumpuan generasi masa kini maupun mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar