Selasa, 16 September 2014

Mundur Tak Gentar

Mundur Tak Gentar

Anton Kurnia  ;   Penulis
KORAN TEMPO, 15 September 2014
                                      
                                                      

Belakangan ini kita diganggu oleh wacana sebagian anggota DPR dan politikus-terutama dari partai-partai pendukung koalisi Merah Putih-yang ingin merevisi Undang-Undang Pilkada. Mereka berharap kepala daerah tak lagi dipilih secara langsung, melainkan dipilih oleh para anggota DPRD.

Wacana ini serentak mendapat kecaman dan tentangan dari berbagai elemen masyarakat. Di media sosial, pernyataan tak setuju begitu marak. Bahkan, beredar petisi menolak wacana yang dianggap merampas hak politik rakyat dan langkah mundur dalam berdemokrasi itu. Sejumlah kepala daerah yang dianggap berprestasi dan terpililih melalui pemilihan langsung oleh rakyat pun menyatakan ketaksetujuan mereka secara terbuka, misalnya Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.

Namun reaksi paling keras dan tegas dinyatakan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Wakil Gubernur DKI Jakarta yang tak lama lagi akan dilantik menjadi gubernur. Pada 9 September lalu, dia menyatakan akan mundur dari partainya, Gerindra, jika wacana perubahan UU Pilkada itu terus digulirkan. Esok harinya, dia benar-benar melaksanakan ucapannya. Dia membuktikan diri bukan seorang tukang gertak penebar omong kosong. Dia menyerahkan surat pengunduran dirinya dari Gerindra dan mengembalikan kartu keanggotaan partai yang ia miliki.

Langkah tegas Ahok ini jelas merupakan tamparan bagi Gerindra. Ahok berkata, "Saya akan buktikan tanpa dukungan partai pun saya akan didukung oleh rakyat." Sebelumnya, dengan logika sederhana, dia membuat pernyataan yang menohok dan sepantasnya membuat malu orang-orang partai yang sibuk kasak-kusuk mencari keuntungan bagi kelompoknya meski dengan jalan mengorbankan hak-hak rakyat. "Kalau saya dipilih DPRD, maka tiap hari cuma mikir bagaimana caranya baik-baikin DPRD. Bukannya mikirin rakyat jadinya, tapi malah mikirin DPRD."

Argumentasi para pendukung perubahan UU Pilkada bahwa pemilihan oleh DPRD akan menghemat dana triliunan rupiah kurang tepat karena bukan itu substansi persoalan yang ada. Rakyat berhak memilih dan menilai langsung para pemimpinnya. Hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih dilindungi konstitusi. Selain itu, menyerahkan hak pilih rakyat untuk diwakili para anggota parlemen yang terbukti korup justru membuka peluang kian parahnya politik uang.

Yang mendesak perlu dibenahi justru Undang-Undang Partai Politik agar partai politik bisa menjadi representasi aspirasi politik rakyat banyak, bukan kendaraan politik dan ekonomi segelintir orang demi mengeruk kekayaan negara melalui legitimasi parlementer. Adapun untuk menangkal politik uang, yang harus dilakukan adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Pemilihan langsung juga akan menghambat tumbuhnya feodalisme, di mana hanya para politikus tertentu atau orang-orang yang punya kedekatan sosial-ekonomi dengan elite partai yang bisa dicalonkan sebagai kepala daerah. Kita membutuhkan para pemimpin tegas, berani, dan lurus seperti Ahok dan Jokowi. Pemimpin yang bisa dipilih secara langsung oleh rakyat, berasal dari rakyat (bukan elite partai), peka terhadap permasalahan rakyat, dan mau bekerja keras untuk rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar