Rute
Rempah Poros Maritim Abad 21
(Bagian 2 –
Habis)
Engelina Pattiasina ;
Pendiri
Archipelago Solidarity
|
SINAR
HARAPAN, 16 September 2014
Sejak
awal abad 21 ini, RI dapat membangun kekuatan sosial-ekonomi dan ekosistem
sebagai negara maritim berbasis rute-rute rempah dengan zona Uni Eropa, Asia
Selatan (India dan Sri Lanka), Asia Timur (Korea Selatan, Jepang, dan
Tiongkok), dan Amerika Serikat (AS) atau negara-negara BRICS (Brasil, Rusia,
India, Tiongkok, dan Afrika Selatan). Strategi ini dapat meraih benefit
ekonomi tanpa mengubah peran AS sebagai stabilisator kawasan Asia.
Sekurang-kurangnya
ada enam nilai strategis untuk RI dan dunia dari strategi maritim RI berbasis
rute-rute rempah-rempah yang dimulai dari kawasan timur RI. Pertama, poros
maritim RI dan dunia dari Papua, Maluku, NTT, dan sekitarnya sangat
bermanfaat bagi Kawasan Timur (KTI) dan daya-saing negara RI. Luas KTI
berkisar 68 persen dari luas wilayah negara RI yang sangat sesuai strategi
ekonomi pesisir dan kelautan.
Kedua,
KTI memiliki tradisi maritim level dunia ratusan tahun. Penduduk di Maluku
sangat kuat memiliki kearifan dan tradisi maritim. Sejak abad 4 Masehi, KTI
memasok kebutuhan-kebutuhan dunia seperti lada, pala, cengkih, damar, merica,
kayu manis, cendana, kayu-kayu, dan berbagai komoditas lainnya. Penguasan
maritim Nusantara dan perdagangan Asia-Afrika-Eropa selama 400 tahun oleh
VOC, Belanda dan Inggris selama 1602-1945 berbasis zona Nusantara dari KTI
saat ini.
Ketiga,
hingga awal abad 21, sekitar 1700 pulau besar dan kecil dari luas 705.645 km
persegi Provinsi Maluku dan Papua memiliki titik geostrategis di Asia
Pasifik. Maluku dan Papua adalah ruang terdepan Indonesia terhadap klaim
tumpang-tindih dari enam negara terhadap Laut Tiongkok Selatan di Asia
Pasifik.
Rusia
dan AS merasa berhak untuk ikut-campur di zona ini. Maluku dan Papua
menentukan derajat ketahanan nasional negara RI. Kepulauan Sunda Besar dan
Sunda Kecil adalah arteri (archipelagic zone). Dengan mengontrol arteri ini,
dapat mengontrol archipelagic zone RI.
Papua
merupakan staging point bagi kontrol pertahanan dan keamanan di Asia-Pasifik
sejak Perang Dunia II. Misalnya, pada Perang Dunia II, Sarmi dan Papua
seluruhnya dibahas Joseph Stalin dari Uni Soviet, Perdana Menteri Winston
Churchill dari Inggris, dan Presiden Harry S Truman pada Konperensi Postdam
di Jerman 17 Juli-2 Agustus 1945 (Smith, 1953).
Keempat,
zona KTI memiliki kekayaan mineral strategis. Gerakan tektonik kerak
lempengan Samudra Pasifik dan Australia jutaan tahun membuat Maluku dan Papua
“terjepit” antara kedua lempengan raksasa ini. Instrusi batuan-batuan asidik
menyebabkan mineralisasi logam-logam dasar seperti tembaga, emas, batu bara,
gambut, aluminium, nikel, kronium, kobalt, besi, timah, mangan, merkuri,
timbel, tungsten, dan seng (Barley et al, 2002; Groves, 2005).
Kelima,
secara historis, sejak abad 16 Masehi, arsitektur, pelabuhan, benteng,
dermaga, dan kamar dagang dibangun karena perdagangan rempah-rempah. Jalur
kolonial dunia, yang mula-mula diberlakukan Inggris di Banda abad 16, menjual
barang, jasa, pengetahuan, dan informasi di Batavia, Ambon, Malaka, Manila,
Taiwan, Makau, Hong Kong, San Salvador (Taiwan), Deshima atau Nagasaki,
Jepang (Barao, 2010). Bukti arkeologis menunjukkan sejak 3.000 tahun silam,
rempah asal Maluku dijual-belikan ke Persia. (Leonard, 2012).
Keenam,
menghidupkan kembali jalur-jalur maritim berbasis rute-rute rempah-rempah
akan memulihkan ekosistem RI dan dunia.
Perdagangan
rempah-rempah dan produk-produk ekosistem lainnya akan meningkatkan
regenerasi dan reproduksi ekosistem, khususnya lada, pala, cengkih, damar,
cendana, kayu manis, hutan, bambu, lontar, jagung, sagu, enau, gaharu,
pinang, kakao, kopra, vanili.
Selain
itu, upaya-upaya pemulihan dan penyehatan ekosistem kelautan dapat
ditingkatkan. Sebagai negara kepulauan, pembangunan poros maritim berbasis
rute rempah akan mengawal kedaulatan negara RI dan pemulihan atau penyehatan
ekosistem negara RI yang meningkatkan manfaat pembangunan ekonomi maritim. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar