Pilkada
Tanpa Rakyat
Hendardi ;
Ketua
Badan Pengurus SETARA Institute
|
KOMPAS,
16 September 2014
PARA
dedengkot Koalisi Merah Putih yang kalah dalam Pemilu Presiden 2014 bertemu di
rumah Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung, Rabu 10
September lalu. Mereka tetap berkukuh untuk menghasilkan UU Pilkada di mana
kepala daerah dipilih oleh DPRD. Mereka berkilah hendak membuang tampilan
liberal dalam pemilihan.
Tulisan
ini sebagai kritik atas klaim pandangan mereka sekaligus hendak menegaskan
kembali mengenai penting dan manfaatnya kepala daerah tetap dipilih secara
langsung oleh rakyat, bukan dipilih oleh DPRD sebagaimana yang diinginkan
oleh Koalisi Merah Putih.
Liberalisasi
Ketua
Umum Golkar Aburizal Bakrie menuding perkembangan bangsa cenderung liberal
dan tidak sesuai lagi dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Menurut dia,
liberalisasi telah menggerogoti kedaulatan negara. Salah satu proses politik
yang dianggapnya terlalu liberal adalah pilkada langsung sehingga, sebagai
awal, koalisinya berkepentingan mengubahnya melalui RUU Pilkada (Kompas, 11/9).
Tampaknya
kata-kata dan pernyataan koalisi itu perlu dijernihkan. Liberalisme adalah
pandangan atau ideologi yang menekankan kebebasan dan persamaan hak setiap
orang. Mereka yang menganut pandangan ini disebut kaum liberal. Sementara
liberalisasi adalah proses politik dalam menerapkan kebebasan tersebut.
Dalam
ekonomi, liberalisasi berarti para pengusaha bebas melakukan investasi dan
perdagangan tanpa intervensi negara yang diatur dalam UU (Andrew Heywood, Political Ideologies: An
Introduction, 2003).
Bagaimana
istilah itu diperkenalkan dalam masyarakat kita? Kesepakatan yang dicapai
dalam KTT APEC pada 1994 di Bogor adalah liberalisasi perdagangan dan
investasi. Artinya, investasi dan perdagangan di negara-negara anggota APEC
tidak boleh dihambat dan dilindungi oleh pemerintah. Dengan demikian,
kompetisi harus dijalankan tanpa hambatan oleh negara bersangkutan.
Tidak konsekuen
Namun,
rezim Soeharto tak pernah konsekuen dengan kesepakatan itu. Ia tetap saja
membangkang, terutama yang melekat dengan kepentingan bisnis keluarga dan
kroni-kroninya. Mereka tetap mempertahankan kekuasaan oligarki yang menguasai
politik dan ekonomi nasional. Para oligark dan pengusaha kroni—dikenal
konglomerat hitam—menikmati hak monopoli dan membentuk kartel-kartel di
antara mereka dalam sektor-sektor yang tertutup bagi kompetitor lainnya,
terutama investor asing (Jeffrey A
Winters, Oligarki, 2011).
Meskipun
begitu, sektor yang lebih kompetitif memang dibuka setelah krisis finansial
pertama sejak awal dasawarsa 1980-an menyusul anjloknya harga minyak mentah
di pasar dunia, tetapi terbatas di sektor industri manufaktur ringan seperti
tekstil, garmen, dan sepatu. Sialnya, buruh diperas dengan kebijakan upah
yang sangat rendah dan membiarkan jam kerja yang panjang.
Akhirnya,
pada paruh kedua 1997 pukulan telak menohok pemerintahan Soeharto. Ia harus
menghadapi krisis moneter. Utang-utang konglomerat kroninya yang menggila tak
tertagih, nilai tukar rupiah terpuruk, pendapatan negara mengempis, harga
bahan kebutuhan pokok membubung, ditambah lagi dengan pelarian modal
besar-besaran dari Indonesia. Pemerintah kehabisan uang.
Dengan
habisnya uang, Soeharto tak dapat lagi mendikte arah kebijakan untuk
menyelamatkan ekonomi, kecuali minta tolong kepada Dana Moneter Internasional
(IMF) untuk menggelontorkan pinjaman 43 miliar dollar AS. Lagi, tabiat
Soeharto yang tidak konsekuen membuatnya mengingkari letter of intent yang
ditekennya, dengan mengalirkan 15 proyek untuk anak-anaknya. Akibatnya,
rupiah jatuh hingga ke titik terendah, di kisaran Rp 16.000-Rp 17.500 per
dollar AS.
Maka,
jadilah Soeharto sebagai penguasa yang tak dapat dipercaya. Kejatuhannya pun
dilicinkan oleh gelombang protes mahasiswa dan ia pun ditinggalkan oleh para
pembuat kebijakan dan birokrat-politik loyalisnya.
Desentralisasi
kekuasaan
Reformasi
bergulir dan berlangsung desentralisasi kekuasaan negara sebagai reaksi atas negara
otoriter, sentralistis, dan predatoris Soeharto. Para oligark yang telah
kehilangan Soeharto harus mereorganisasikan kekuasaannya melalui
partai-partai politik, pemilihan umum, dan parlemen, baik di pusat maupun di
daerah (Hadiz: 2006).
Para
oligark tak bisa lagi memerintah dengan cara yang sama sebagaimana yang
dibangun dan dipertahankan Soeharto. Mereka harus menyesuaikan diri dengan
sistem multipartai yang telah disediakan pemerintahan Habibie. Awalnya memang
bingung, tetapi mereka ternyata bisa kembali dan menyesuaikan diri dengan
situasi politik baru. Akhirnya, para oligark dapat menguasai politik, tetapi
dengan kekuatan politik uang (money
politics).
Dengan
begitu, liberalisasi politik dan ekonomi adalah hasil ketegangan antara rezim
Soeharto dan pihak-pihak yang menentangnya, tidak jatuh dari langit. Keran
kebebasan pers dibuka, UU HAM disediakan, daerah operasi militer di Aceh
dicabut, tahanan politik dibebaskan, dan bahkan dilakukan perubahan atas UUD
1945 yang menegaskan prinsip kedaulatan di tangan rakyat—bukan di tangan MPR,
DPR, dan apalagi di tangan DPRD.
Rampas daulat rakyat
Proses
demokratisasi politik dan kompetisi bisnis yang lebih terbuka adalah hasil
pergulatan panjang dalam melawan kekuasaan oligarki Soeharto. Namun, kini
aliansi mereka telah berubah dan menyesuaikan diri melalui partai-partai,
pemilu, parlemen, dan pemerintahan dengan kekuatan politik uang. Masalah dan
tujuan mereka tetap sama, yaitu berebut alokasi sumber-sumber kekayaan dan
akses pada negara.
Meskipun
begitu, liberalisasi politik dan desentralisasi kekuasaan negara memungkinkan
partisipasi rakyat sedikit berperan serta menguatnya independensi kekuasaan
kehakiman dan penegak hukum yang secara khusus fungsi dan peran KPK, selain
BPK dan PPATK, sehingga tak sedikit kasus korupsi yang terbongkar.
Memang
masih kecil-kecilan, tetapi yang terbongkar banyak. KPK masih belum dapat
menguak kasus bail out Bank Century dan beberapa pemutihan pajak para
konglomerat. Dalam kasus korupsi proyek Hambalang, BPK menghitung kerugian
negara Rp 463 miliar. Belakangan KPK sudah mengincar jaringan mafia migas.
Mabes Polri juga sudah menyisir rekening senilai Rp 1,3 triliun dari bisnis
bahan bakar minyak ilegal di Batam.
Dengan
kasus-kasus korupsi itu dapat dipetik manfaatnya dari hasil liberalisasi
politik. Para oligark tak bisa lagi sepenuhnya menguasai lembaga-lembaga
politik, terutama penegak hukum baru yang telah dibentuk dan lebih
independen. Mereka juga tak dapat terus-menerus menyediakan uang politik
untuk menjinakkan rakyat.
Sebagai
contoh dalam politik elektoral, pasangan calon dalam pilkada langsung DKI
Jakarta yang hanya didukung dua partai sukses menjungkalkan gabungan banyak
partai yang mengandalkan kekuatan politik uang. Terakhir, dalam Pilpres 2014
kembali disuguhkan bahwa kekuatan politik uang masih dapat dikalahkan.
Rakyat muak
Mungkin
saja rakyat sudah muak dengan perilaku elite partai dan para oligark sehingga
rakyat menghukumnya secara politik dengan tidak mendukung mereka dalam suatu
elektoral secara langsung. Namun, beberapa kekalahan inilah yang tampaknya
memotivasi mereka untuk menyalahkan pilkada langsung sebagai tidak menganut
Pancasila dan UUD 1945—persis seperti Soeharto ”menghajar” para penentangnya.
Dengan
mengubah pilkada langsung yang dipilih rakyat menjadi pilkada oleh DPRD bukan
saja memaksa pemilihan melalui calo, bahkan kedaulatan rakyat dirampas. Hak
setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam menentukan kepala pemerintahan
di daerah dicabut. Maka, bukan lagi kedaulatan rakyat, melainkan kedaulatan
DPRD.
Pimpinan
Koalisi Merah Putih menginginkan pilkada tanpa rakyat. Namun, akan kita lihat
nanti, apakah DPR mempunyai kerendahan hati untuk terlebih dahulu meminta
pendapat rakyat atau tidak sama sekali sebelum mengesahkan pilkada oleh
kekuasaan DPRD?
Akankah
DPR menyetujui RUU Pilkada dengan meninggalkan partisipasi rakyat? Beranikah
DPR bersetia kepada daulat rakyat? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar