Jalan
Ormas, Pilihan Benderang
Agus Hernawan ;
Bergiat
di Populis Institute
|
KOMPAS,
16 September 2014
KEBERADAAN
relawan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pemilu Presiden 2014 adalah prestasi
demokrasi. Kehadirannya seolah kelahiran kembali konglomerasi solidaritas
Asia-Afrika Bandung dalam tradisi perpolitikan di Tanah Air.
Namun,
tak ada pesta yang tak selesai. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi, panggung
politik dipastikan kian ramai oleh aksi goreng-menggoreng isu, negosiasi, dan
lobi-lobi kepentingan.
Di
dalam situasi itu, demokrasi terancam kembali menjadi klise. Di sinilah situasi kritis bagi demokrasi
dan krusial bagi relawan. Relawan dihadapkan pilihan: lanjut ke depan, masuk
gelanggang dengan genderang perang baru dibunyikan; atau surut ke belakang,
meresikan diri karena menganggap kerja sudah selesai. Pilihan terakhir akan
mengulang sinopsis awal reformasi: menyerahkan nasib bangsa lima tahun ke
depan dalam mekanisme elite.
Tak gampang
Menjadi
organisasi kemasyarakatan (ormas) berarti pilihan pada lanjut ke depan.
Pilihan yang tidak gampang karena ia menuntut napas panjang. Namun, ia juga
menunjukkan kreativitas berpolitik generasi hari ini untuk mencari dan
menemukan strategi serta metode baru bagaimana mewarnai kekuasaan politik
agar sejalan dengan harapan publik. Tulisan ini coba mendiskusikan hadirnya
ormas relawan berkenaan dengan tantangan kembar yang bersifat internal dan
eksternal.
”Jangan
seperti serangga atau bunga cantik pada awal musim dingin yang gegas mati
digulung badai,” ujar Naomi Klein di hadapan ribuan orang muda dalam aksi Occupy Wall Street beberapa tahun
lalu. Pesan Naomi itu lebih sebagai otokritik pada apa yang disebutnya
kegagalan kultur gerakan membebaskan diri dari margin kesesaatan.
Institusionalisasi
relawan, hemat saya, dilatari maksud menolak margin, melawan perangkap
kesesaatan itu. Kehadiran ormas adalah alur linearitas sejarah tradisi
relawan yang lahir pada masa Pilpres 2014. Karena itu, ia bukan sebentuk
kooptasi apalagi pembonsaian,
melainkan meng-upgrade karakter antitesis semasa pilpres. Bahwa, daya
tarung melawan kekuatan politik dominan tidak berarti rampung seiring ketuk
palu Mahkamah Konstitusi.
Menjadi
ormas bukan tanpa risiko. Ketika karakter di atas ikut terlembagakan,
substansi ormas adalah satu tubuh gerakan. Keberadaannya mesti disertai
kepekaan analisis konteks dan pembacaan relasi kuasa. Ini akan menjaga ormas
tetap berasosiasi langsung dengan gelombang tuntutan keadilan ekonomi,
pemerintahan yang bersih, perbaikan kualitas pelayanan publik, penguatan
partisipasi publik, dan dorongan reorientasi parpol.
Di
wilayah paling fundamen, kehadiran ormas relawan jadi penegasan dan
penjabaran ideologis terkait ”siapa yang dilayani” dan ”siapa yang
diuntungkan”. Penegasan dan penjabaran ideologis ini barometer reaksioner
atau progresifnya ormas. Ini adalah pilihan yang terang benderang; apakah
kehadiran ormas untuk melayani kepentingan orang-orang di lingkaran kekuasaan
dengan mendapat keuntungan dari situasi itu, atau visibilitas kepentingan
publik sebagai ”pihak yang dilayani” dan publik sebagai ”pihak yang
diuntungkan”.
Di
kultur politik kita yang cenderung meredusir konflik (elite) ke dalam
konsensus konservatif—lewat politik bagi-bagi dagang sapi, di sisi yang lain,
situasi demokrasi liberal meniscayakan konflik, baik dengan istilah oposisi
maupun di dalam relasi kuasa yang tersebar. Baik konflik maupun konsensus
(elite), pada kenyataannya tetaplah pisau bermata rangkap yang mencederai
kepentingan publik.
Publik
hanya jadi niskala di dalam kultur kekuasaan politik, seperti istana besar
dipagari tembok tinggi. Ia tidak bisa ditembus kehendak publik. Keterlibatan
publik absen. Dalam konteks kultur kekuasaan yang kedap dari kepentingan
publik ini, perlu institusionalisasi relawan sebagai kekuatan penyeimbang.
Mengarsiteki demokrasi
Selain
itu, kehadiran ormas juga akan makin memperjelas keterlibatan publik tidak
hanya sebatas kawal dan kritik, tetapi juga diwujudkan lebih jauh lewat
strategi kolaborasi, komplementasi, dan transformasi. Ketiga strategi ini
diaplikasikan mulai dari desain kebijakan pembangunan ekonomi didasari
tujuan-tujuan sosial, diikuti citizen
education, termasuk leadership
development dan advokasi penguatan partisipasi warga, sampai ke
reorientasi parpol.
Strategi
kolaborasi dan komplementasi menyasar metode partisipasi dalam manajemen
sosial kita untuk demokrasi yang membuka pintu bagi keadilan sosial. Strategi
transformasi tujuannya lebih spesifik, yakni reorientasi parpol. Yang disebut
terakhir ini akan makin memperjelas karakter antitesis ormas—jika itu yang
diambil—tidak saja atas struktur, tetapi juga kultur yang membentuk sejarah
trayektori gerakan sosial dan gerakan politik kita.
Di
satu sisi, gerakan sosial tumbuh
mengakar dan menyebar, tetapi cenderung mengisolasi diri dalam logika
perlawanan. Di sisi lain, gerakan politik
terperangkap orientasi sempit organisasi politik yang minim komitmen
keadilan sosial. Membangun dialog antarkedua polar ini akan menyelamatkan
parpol, yang berarti menyelamatkan demokrasi dari menjadi klise.
Reorientasi
parpol membuat partai tidak lagi jadi alat elite atau kelompok kepentingan
membeli kekuasaan. Parpol didorong jadi ”rahim” lahirnya pemimpin-pemimpin
politik yang responsif dengan komitmen kuat pada proses demokratisasi. Di
Brasil dan negara kawasan Pegunungan Andes, seperti Argentina, Bolivia, Cile,
dan Venezuela, kepemimpinan jenis ini serupa Tembok Tiongkok yang membentengi
hak-hak warga negara dari keserakahan crony-capitalism dalam wujud jaringan
mafia.
Sejauh
mana ormas relawan, yang kehadirannya didasari keyakinan dan gairah pada
perubahan, sukses mengarsiteki demokrasi berbasis daya cipta publik? Suatu
demokrasi dengan kekayaan inisiatif dan inovasi, harapan dan impian;
demokrasi yang terbebaskan dari kultur konflik dan konsensus elite.
Jawabannya terletak di antara pilihan yang terang benderang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar