Perlu
Terobosan dalam Menangani Lingkungan
Emmy Hafild ;
Ketua
Yayasan Komodo Kita; Direktur Eksekutif Nasional Walhi 1996-2002; Direktur
Eksekutif Greenpeace Southeast Asia 2005-2008
|
KOMPAS,
15 September 2014
DALAM
Nawa Cita Joko Widodo-Jusuf Kalla, pada uraian tiga problem pokok bangsa,
tertera kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam yang
berlebihan sebagai salah satu kelemahan sendi perekonomian bangsa. Sayangnya,
di dalam sembilan agenda prioritas atau Nawa Cita itu, program lingkungan
hidup secara eksplisit hanya menyangkut penegakan hukum dan pemberantasan
penebangan, pertambangan, serta penangkapan ikan liar yang ditempatkan di
bawah misi penegakan hukum. Padahal, hal-hal itu hanyalah gejala yang
terlihat dari kegagalan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di
Indonesia dalam 36 tahun terakhir. Ibarat pada orang sakit, penegakan hukum
seperti obat penghilang rasa sakit, tetapi tak menyembuhkan. Ada banyak aspek
lingkungan hidup yang perlu ditangani di Indonesia.
Lingkungan
hidup kita berada dalam krisis. Banjir, kekeringan, tanah longsor, asap,
rembesan air laut, pencemaran air dan udara, serta kehilangan keanekaragaman
hayati sudah masuk dalam tahap mengancam kelangsungan hidup rakyat Indonesia
dan telah memakan korban ribuan orang setiap tahun.
Lebih
dari 400 anak di Indonesia meninggal setiap hari, sebagian besar disebabkan
diare dan ISPA, dua penyakit yang berhubungan erat dengan kebersihan serta
kesehatan air dan udara. Belum lagi potensi perubahan iklim yang berdampak
dahsyat pada kelangsungan hidup manusia secara global. Jokowi-JK perlu
melakukan terobosan dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di
Indonesia untuk mengatasinya.
Indonesia
menjadi negara dengan indikator kerusakan lingkungan hidup tertinggi di
dunia. Sungai Citarum merupakan sungai paling tercemar di dunia. Laju
kerusakan hutan kita kurun 2000-2012 adalah 2 juta hektar per tahun,
tertinggi di dunia. Jakarta kota tercemar ketiga di dunia, emisi gas rumah
kaca kita nomor tiga tertinggi di dunia karena kebakaran hutan serta
deforestasi dll.
Sejak 1978
Kita
telah mempunyai Kementerian Lingkungan Hidup sejak 1978 dan merupakan salah
satu negara pionir di dunia dalam mendirikan institusi yang berhubungan
dengan lingkungan hidup. Namun, ironisnya, indikator fisik lingkungan tidak
pernah membaik. UU No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup sebenarnya sudah cukup
kuat memperbaiki kondisi lingkungan hidup kita, tetapi tidak cukup kuat
menangani krisis yang sedang kita hadapi dengan latar kelembagaan seperti
sekarang.
Saat
ini pengelolaan lingkungan hidup terpecah-pecah ke dalam beberapa kementerian
berdasarkan sektor ekonomi dan batas administrasi pemerintahan. Kementerian
Lingkungan Hidup berwenang membuat kebijakan, menyupervisi analisis mengenai
dampak lingkungan, membuat standar dan melakukan penyidikan serta penuntutan
kasus perusakan lingkungan hidup. Namun, kementerian ini kementerian kelas
dua, yang tidak mempunyai wewenang implementasi dan dengan anggaran yang
minim pula.
Implementasi
kebijakan lingkungan hidup ada pada kementerian lain yang portofolio.
Kehutanan, misalnya, diatur oleh UU Kehutanan, UU Keanekaragaman Hayati, dan
dikelola Kementerian Kehutanan. Air berada di bawah Kementerian PU diatur
oleh UU Air. Eksploitasi sumber daya mineral diatur UU Pertambangan dan
berada di bawah Kementerian ESDM. Lingkungan laut dan pesisir diatur dalam UU
Perikanan dan Kelautan dan berada di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Akibatnya, peran Kementerian Lingkungan Hidup direduksi hanya mengurusi aspek
yang menyangkut pencemaran dari sektor yang aspek keberlanjutan lingkungan
tidak diatur dalam UU sektoralnya, yaitu pencemaran di industri serta
pembakaran lahan dan hutan.
Lingkungan
hidup adalah suatu kesatuan wilayah kehidupan yang berinteraksi satu sama
lain yang hanya dibatasi batas-batas ekologi yang ditentukan kondisi
geografis dan iklim. Pengelolaan sungai tidak bisa dibatasi batas kabupaten
atau sektor ekonomi. Ia harus utuh menyeluruh dan terintegrasi dari hulu
sampai hilir, menyangkut tidak saja badan sungai, tetapi juga areal di kiri
kanan sungai yang disebut daerah aliran sungai (DAS).
Kelembagaan
yang terkotak- kotak berdasarkan sektor dan wilayah administratif tidak akan
mampu menghasilkan kesatuan pengelolaan dan perlindungan tanpa adanya dirigen
kuat yang mengatur perencanaan dan anggaran lintas sektor dan lintas wilayah,
memantau dan mengevaluasi keberhasilan dan kegagalan secara berkala untuk
capaian yang maksimal.
Wewenang
Kementerian Lingkungan Hidup perlu ditingkatkan sampai tahap itu, me-
ngoordinasi perencanaan, anggaran, pemantauan, dan evaluasi untuk mencapai
indikator lingkungan hidup yang ditargetkan serta pengawasan restorasi dan perlindungannya,
dari pusat sampai ke daerah, lintas wilayah
dan lintas sektoral.
Pengelolaan
sumber daya mineral dan hayati (kehutanan, pertanian, dan kelautan) tidak
bisa dipisahkan dalam sektor-sektor ekonomi, tetapi harus diperlakukan
sebagai satu sumber daya alam yang dikelola berdasarkan wilayah ekologis dan
berkelanjutan. Hanya dengan cara inilah kita dapat mencegah krisis yang lebih
lanjut dan bahkan dapat membalikkan penurunan indikator lingkungan jadi lebih
baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar