Kamis, 25 September 2014

Nostalgia

Nostalgia

Bandung Mawardi  ;   Esais
KORAN TEMPO, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Joko Widodo sedang menjahit nostalgia-nostalgia saat masih bocah. Sabtu, 13 September 2014, Joko Widodo ke Solo dengan misi nostalgia. Si lelaki kurus berjalan di pinggiran Kalianyar, sebelah utara Terminal Tirtonadi, Solo. Kalianyar adalah "sungai kenangan". Di sungai, Joko Widodo menjalani masa bocah dengan berenang dan mandi. Dulu, sungai berair bening. Sungai terletak di belakang rumah. Joko Widodo saat bocah tentu mengakrabi sungai, tempat untuk mengalirkan impian.

Sungai pun menjadi acuan membentuk diri dan menempa kesadaran atas nasib. Joko Widodo berfilsafat sungai, bermula dari episode hidup di lingkungan sungai. Orang berhak becermin dalam air. Suara gemericik air mengandung pesan semesta. Di sungai, filsafat hidup bisa mengalir dan memberi keinsafan atas diri. Herman Hesse, dalam novel Siddharta, menampilkan tokoh bereferensi sungai. Pengisahan Siddharta: "Dia belajar dari sungai itu terus-menerus. Dia belajar dari sungai cara mendengarkan, mendengarkan dengan hati bening, dengan jiwa terbuka, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, tanpa pendapat." Joko Widodo bukan tokoh dalam novel, tapi mengabarkan pengesahan sungai sebagai referensi nostalgia.

Dulu, Sukarno bernostalgia masa kecil untuk menjelaskan posisi diri saat menggerakkan Orde Lama. Sukarno mengisahkan diri lahir dan tumbuh di keluarga miskin. Dalam buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (C. Adams, 1966) dituturkan bahwa Sukarno adalah bocah berusia enam tahun saat menjalani kehidupan melarat di Mojokerto. Sukarno mengaku: "Kami tinggal di daerah jang melarat… Kami sangat melarat sehingga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari. Jang terbanjak kami makan ialah ubi kaju, djagung tumbuk dengan makanan lain."

Nostalgia kemalaratan juga mengikutkan doa sang ibu. Doa dalam kemelaratan: "… kelak engkau akan mendjadi orang jang mulia, engkau akan mendjadi pemimpin dari rakjat kita, karena ibu melahirkanmu djam setengah enam pagi disaat fadjar mulai menjingsing." Sukarno memiliki nostalgia bergelimang harapan. Doa sang ibu dikabulkan Tuhan. Sukarno adalah pemimpin Indonesia, bermula dari nostalgia kemelaratan.

Nostalgia dramatis juga dimiliki Soeharto, penguasa pada masa Orde Baru. "Soeharto ditakdirkan di masa kecil menjalani kehidupan pahit getir dan penuh dengan penderitaan," begitu O.G. Roeder menuliskan dalam buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976). Tempat paling menentukan untuk biografi Soeharto adalah sawah. Rumah keluarga Soeharto ada di dusun, dikelilingi sawah-sawah. Soeharto mengenang saat bocah senang mencari belut di sawah. Soeharto juga membentuk diri melalui peran sebagai penggembala kambing dan kerbau, sebelum puluhan tahun kemudian menjadi "penggembala" Indonesia. Masa bocah terus mempengaruhi pandangan dan aksi politik Soeharto. Kita pasti ingat foto-foto dramatis Soeharto berlatar sawah demi memberi pesan swasembada pangan.

Para tokoh memiliki biografi-biografi dramatis. Masa bocah adalah nostalgia, awalan dari takdir sebagai pemimpin. Sukarno dan Soeharto telah mengisahkan diri sejak lama kepada publik, memberi pengesahan atas ketokohan. Sekarang, Joko Widodo bernostalgia di sungai, sebelum dilantik menjadi presiden periode 2014-2019. Nostalgia diperlukan agar ada referensi untuk insaf dan bersahaja. Di sungai, impian dan pengharapan mengalir menuju istana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar