Nostalgia
Bandung Mawardi ;
Esais
|
KORAN
TEMPO, 24 September 2014
Joko Widodo
sedang menjahit nostalgia-nostalgia saat masih bocah. Sabtu, 13 September
2014, Joko Widodo ke Solo dengan misi nostalgia. Si lelaki kurus berjalan di
pinggiran Kalianyar, sebelah utara Terminal Tirtonadi, Solo. Kalianyar adalah
"sungai kenangan". Di sungai, Joko Widodo menjalani masa bocah
dengan berenang dan mandi. Dulu, sungai berair bening. Sungai terletak di
belakang rumah. Joko Widodo saat bocah tentu mengakrabi sungai, tempat untuk
mengalirkan impian.
Sungai pun
menjadi acuan membentuk diri dan menempa kesadaran atas nasib. Joko Widodo
berfilsafat sungai, bermula dari episode hidup di lingkungan sungai. Orang
berhak becermin dalam air. Suara gemericik air mengandung pesan semesta. Di
sungai, filsafat hidup bisa mengalir dan memberi keinsafan atas diri. Herman
Hesse, dalam novel Siddharta, menampilkan tokoh bereferensi sungai.
Pengisahan Siddharta: "Dia belajar dari sungai itu terus-menerus. Dia
belajar dari sungai cara mendengarkan, mendengarkan dengan hati bening,
dengan jiwa terbuka, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, tanpa
pendapat." Joko Widodo bukan tokoh dalam novel, tapi mengabarkan
pengesahan sungai sebagai referensi nostalgia.
Dulu, Sukarno
bernostalgia masa kecil untuk menjelaskan posisi diri saat menggerakkan Orde
Lama. Sukarno mengisahkan diri lahir dan tumbuh di keluarga miskin. Dalam
buku Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (C. Adams, 1966) dituturkan bahwa
Sukarno adalah bocah berusia enam tahun saat menjalani kehidupan melarat di
Mojokerto. Sukarno mengaku: "Kami
tinggal di daerah jang melarat… Kami sangat melarat sehingga hampir tidak
bisa makan satu kali dalam sehari. Jang terbanjak kami makan ialah ubi kaju,
djagung tumbuk dengan makanan lain."
Nostalgia
kemalaratan juga mengikutkan doa sang ibu. Doa dalam kemelaratan: "… kelak engkau akan mendjadi orang
jang mulia, engkau akan mendjadi pemimpin dari rakjat kita, karena ibu
melahirkanmu djam setengah enam pagi disaat fadjar mulai menjingsing."
Sukarno memiliki nostalgia bergelimang harapan. Doa sang ibu dikabulkan
Tuhan. Sukarno adalah pemimpin Indonesia, bermula dari nostalgia kemelaratan.
Nostalgia
dramatis juga dimiliki Soeharto, penguasa pada masa Orde Baru. "Soeharto ditakdirkan di masa kecil
menjalani kehidupan pahit getir dan penuh dengan penderitaan,"
begitu O.G. Roeder menuliskan dalam buku Anak
Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976). Tempat paling menentukan untuk
biografi Soeharto adalah sawah. Rumah keluarga Soeharto ada di dusun,
dikelilingi sawah-sawah. Soeharto mengenang saat bocah senang mencari belut
di sawah. Soeharto juga membentuk diri melalui peran sebagai penggembala
kambing dan kerbau, sebelum puluhan tahun kemudian menjadi
"penggembala" Indonesia. Masa bocah terus mempengaruhi pandangan
dan aksi politik Soeharto. Kita pasti ingat foto-foto dramatis Soeharto
berlatar sawah demi memberi pesan swasembada pangan.
Para tokoh
memiliki biografi-biografi dramatis. Masa bocah adalah nostalgia, awalan dari
takdir sebagai pemimpin. Sukarno dan Soeharto telah mengisahkan diri sejak
lama kepada publik, memberi pengesahan atas ketokohan. Sekarang, Joko Widodo
bernostalgia di sungai, sebelum dilantik menjadi presiden periode 2014-2019.
Nostalgia diperlukan agar ada referensi untuk insaf dan bersahaja. Di sungai,
impian dan pengharapan mengalir menuju istana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar