Liberalisasi
Transportasi dan Penguasa-Pejuang
Bayu Priawan Djokosoetono ; Chairman
BlueBird Group Holdings, Bendahara Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI, Bendahara
Umum Kwartir Nasional Pramuka
|
KORAN
SINDO, 23 September 2014
Perdebatan publik tentang Uber Taxi
beberapa waktu belakangan ini menjadi semacam alarm bagi industri
transportasi publik kita. Sebagai alarm ia membuat kita siuman berhadapan
dengan datangnya era baru transportasi yang ditandai globalisasi dan
liberalisasi.
Era
Baru Transportasi
Era baru sektor transportasi dicirikan
sejumlah gejala pokok. Pertama, Uber bukan pemain lokal, melainkan pemain
global yang sebelumnya sudah berkiprah di sejumlah negara. Kehadirannya di
tengah kita menandai berkembangnya layanan publik sekaligus bisnis
transportasi sebagai arena yang tak lagi memiliki tapal batas negara.
Globalisasi sekaligus liberalisasi transportasi sudah datang dan mau tak mau
harus dikelola.
Kedua, sebagai konsekuensinya, pebisnis
transportasi domestik mau tak mau harus berbaur dan berkompetisi dengan
sengit bukan hanya dengan pemain lokal, tetapi juga pelaku global. Opsi yang
tersedia boleh jadi hanya ”siap bersaing atau mati”. Ketiga, globalisasi dan
liberalisasi transportasi serta intensifikasi dan ekstensifikasi kompetisi
yang diidapnya membuat masalah-masalah layanan transportasi publik semakin
rumit dan tak sederhana. Kebijakankebijakan yang cepat dan tepat di bidang
layanan transportasi dibutuhkan.
Pelibatan semua pemangku kepentingan di
dalam pengelolaan sektor ini, baik dari kalangan publik atau negara, swasta
atau korporasi maupun civil society,
sangat dibutuhkan. Bagi kita di Indonesia, alarm itu terasa lebih nyaring
karena sudah di depan mata pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA
mempercepat dan mengonkretkan liberalisasi di berbagai bidang kehidupan.
Sektor transportasi tentu saja bukan pengecualian. Inilah yang membuat banyak
pihak beranggapan bahwa liberalisasi sektor transportasi menjadi keharusan
yang tak tertawarkan. Benarkah demikian? Benarkah kita tak bisa ”menawar”?
Pengusaha-Pejuang
Menurut saya, liberalisasi transportasi
memang akan menjadi gejala zaman sekarang. Tapi, sebagai pelaku bisnis
transportasi sekaligus warga negara dari tanah air yang saya cintai,
Indonesia, saya menilai bahwa liberalisasi transportasi ”harus ditawar” untuk
tidak mengorbankan kepentingan publik secara luas dalam manajemen
transportasi yang sudah mengglobal itu. Sebagai pengusaha saya percaya bahwa
”sang penawar”-nya antara lain para pengusaha yang berkarakter sesuai dengan
dicita-citakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), tempat saya
berkiprah saat ini, yaitu para pejuang-pengusaha dan pengusaha-pejuang.
Berhadapan dengan peliknya masalah
transportasi, para pengusahapejuang adalah mereka yang berbisnis sambil
mengatasi trilema kebijakan
transportasi . Trilema kebijakan
transportasi adalah situasi serbasulit dan serbarumit dalam mendamaikan tiga
kepentingan: membangun transportasi publik yang massal, mengelola tumbuhnya
kelas menengah perkotaan dengan daya beli alat transportasi yang terus
meningkat, dan melayani pasar segmented
yang membutuhkan layanan transportasi eksklusif.
Menurut saya, yang harus jadi prioritas
pertama dan utama yang dilayani oleh kebijakan transportasi di Indonesia
adalah kepentingan publik yang luas terhadap adanya moda transportasi yang
mudah, murah, senantiasa ada, dan massal. Maka penyeimbangan, bahkan
pembatasan, kepemilikan kendaraan di kalangan kelas menengah menjadi
kebijakan tak tertawarkan. Masalahnya, kita tak boleh mencederai hak kelas
menengah untuk memiliki kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat.
Saya menyarankan agar sebagai bangsa kita
memperbaiki cara berpikir kita tentang soal ini. Selama ini kita memandang
kebutuhan akan kendaraan pribadi dalam perspektif ”memenuhi gaya hidup” dan
bukan untuk ”meningkatkan kualitas hidup”. Atas nama ”gaya hidup” kita merasa
perlu sesuatu yang orang lain sudah memiliki. Ini keliru. Semestinya, kita
punya target untuk ”meningkatkan kualitas hidup” dan kebutuhan akan
transportasi yang layak menjadi implikasinya.
Walhasil, persoalan bisa diatasi dengan
penyediaan transportasi publik yang massal, senantiasa ada, murah, dan aman.
Selain itu, infrastruktur transportasi, termasuk kualitas dan panjang ruas
jalan, harus diperbaiki secara sangat serius. Sektor transportasi saat ini
membutuhkan langkah konkret dan segera untuk menjawab tantangan serius di
berbagai kota di Indonesia. Saat ini, kota-kota ditantang untuk
menyeimbangkan volume mobilitas manusia dan barang dengan ketersediaan
infrastruktur untuk semua moda transportasi. Tantangan ini harus segera
dijawab.
Di tengah langkah-langkah itu, para
pebisnis sektor transportasi bisa merespons permintaan pasar yang sangat
spesifik, yaitu pengguna transportasi yang makin eksklusif, dengan beragam
usaha atau bisnis. Saya yakin, pasar yang segmented
ini mendatangkan peluang bisnis berskala besar. Catatannya hanya satu: bisnis
untuk pasar yang sangat segmented ini tetap harus ramah publik dan
lingkungan. Jadi, bisnis transportasi boleh saja mengalami globalisasi dan
liberalisasi.
Tapi, semua pemangku kepentingan di sektor
ini, termasuk para pelaku bisnisnya, harus berorientasi pada publik secara
luas. Inilah menurut saya cara berpikir pengusaha-pejuang yang akan membuat
sektor yang menantang ini dapat kita kelola secara layak di masa kini dan
masa datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar