Rabu, 24 September 2014

Liberalisasi Transportasi dan Penguasa-Pejuang

Liberalisasi Transportasi dan Penguasa-Pejuang

Bayu Priawan Djokosoetono ;   Chairman BlueBird Group Holdings, Bendahara Umum Badan Pengurus Pusat HIPMI, Bendahara Umum Kwartir Nasional Pramuka
KORAN SINDO, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Perdebatan publik tentang Uber Taxi beberapa waktu belakangan ini menjadi semacam alarm bagi industri transportasi publik kita. Sebagai alarm ia membuat kita siuman berhadapan dengan datangnya era baru transportasi yang ditandai globalisasi dan liberalisasi.

Era Baru Transportasi

Era baru sektor transportasi dicirikan sejumlah gejala pokok. Pertama, Uber bukan pemain lokal, melainkan pemain global yang sebelumnya sudah berkiprah di sejumlah negara. Kehadirannya di tengah kita menandai berkembangnya layanan publik sekaligus bisnis transportasi sebagai arena yang tak lagi memiliki tapal batas negara. Globalisasi sekaligus liberalisasi transportasi sudah datang dan mau tak mau harus dikelola.

Kedua, sebagai konsekuensinya, pebisnis transportasi domestik mau tak mau harus berbaur dan berkompetisi dengan sengit bukan hanya dengan pemain lokal, tetapi juga pelaku global. Opsi yang tersedia boleh jadi hanya ”siap bersaing atau mati”. Ketiga, globalisasi dan liberalisasi transportasi serta intensifikasi dan ekstensifikasi kompetisi yang diidapnya membuat masalah-masalah layanan transportasi publik semakin rumit dan tak sederhana. Kebijakankebijakan yang cepat dan tepat di bidang layanan transportasi dibutuhkan.

Pelibatan semua pemangku kepentingan di dalam pengelolaan sektor ini, baik dari kalangan publik atau negara, swasta atau korporasi maupun civil society, sangat dibutuhkan. Bagi kita di Indonesia, alarm itu terasa lebih nyaring karena sudah di depan mata pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA mempercepat dan mengonkretkan liberalisasi di berbagai bidang kehidupan. Sektor transportasi tentu saja bukan pengecualian. Inilah yang membuat banyak pihak beranggapan bahwa liberalisasi sektor transportasi menjadi keharusan yang tak tertawarkan. Benarkah demikian? Benarkah kita tak bisa ”menawar”?

Pengusaha-Pejuang

Menurut saya, liberalisasi transportasi memang akan menjadi gejala zaman sekarang. Tapi, sebagai pelaku bisnis transportasi sekaligus warga negara dari tanah air yang saya cintai, Indonesia, saya menilai bahwa liberalisasi transportasi ”harus ditawar” untuk tidak mengorbankan kepentingan publik secara luas dalam manajemen transportasi yang sudah mengglobal itu. Sebagai pengusaha saya percaya bahwa ”sang penawar”-nya antara lain para pengusaha yang berkarakter sesuai dengan dicita-citakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), tempat saya berkiprah saat ini, yaitu para pejuang-pengusaha dan pengusaha-pejuang.

Berhadapan dengan peliknya masalah transportasi, para pengusahapejuang adalah mereka yang berbisnis sambil mengatasi trilema kebijakan transportasi . Trilema kebijakan transportasi adalah situasi serbasulit dan serbarumit dalam mendamaikan tiga kepentingan: membangun transportasi publik yang massal, mengelola tumbuhnya kelas menengah perkotaan dengan daya beli alat transportasi yang terus meningkat, dan melayani pasar segmented yang membutuhkan layanan transportasi eksklusif.

Menurut saya, yang harus jadi prioritas pertama dan utama yang dilayani oleh kebijakan transportasi di Indonesia adalah kepentingan publik yang luas terhadap adanya moda transportasi yang mudah, murah, senantiasa ada, dan massal. Maka penyeimbangan, bahkan pembatasan, kepemilikan kendaraan di kalangan kelas menengah menjadi kebijakan tak tertawarkan. Masalahnya, kita tak boleh mencederai hak kelas menengah untuk memiliki kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat.

Saya menyarankan agar sebagai bangsa kita memperbaiki cara berpikir kita tentang soal ini. Selama ini kita memandang kebutuhan akan kendaraan pribadi dalam perspektif ”memenuhi gaya hidup” dan bukan untuk ”meningkatkan kualitas hidup”. Atas nama ”gaya hidup” kita merasa perlu sesuatu yang orang lain sudah memiliki. Ini keliru. Semestinya, kita punya target untuk ”meningkatkan kualitas hidup” dan kebutuhan akan transportasi yang layak menjadi implikasinya.

Walhasil, persoalan bisa diatasi dengan penyediaan transportasi publik yang massal, senantiasa ada, murah, dan aman. Selain itu, infrastruktur transportasi, termasuk kualitas dan panjang ruas jalan, harus diperbaiki secara sangat serius. Sektor transportasi saat ini membutuhkan langkah konkret dan segera untuk menjawab tantangan serius di berbagai kota di Indonesia. Saat ini, kota-kota ditantang untuk menyeimbangkan volume mobilitas manusia dan barang dengan ketersediaan infrastruktur untuk semua moda transportasi. Tantangan ini harus segera dijawab.

Di tengah langkah-langkah itu, para pebisnis sektor transportasi bisa merespons permintaan pasar yang sangat spesifik, yaitu pengguna transportasi yang makin eksklusif, dengan beragam usaha atau bisnis. Saya yakin, pasar yang segmented ini mendatangkan peluang bisnis berskala besar. Catatannya hanya satu: bisnis untuk pasar yang sangat segmented ini tetap harus ramah publik dan lingkungan. Jadi, bisnis transportasi boleh saja mengalami globalisasi dan liberalisasi.

Tapi, semua pemangku kepentingan di sektor ini, termasuk para pelaku bisnisnya, harus berorientasi pada publik secara luas. Inilah menurut saya cara berpikir pengusaha-pejuang yang akan membuat sektor yang menantang ini dapat kita kelola secara layak di masa kini dan masa datang.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar