Rabu, 24 September 2014

Faktor Intermesik RUU Pilkada

Faktor Intermesik RUU Pilkada

AM Sidqi  ;   Diplomat RI,
Mahasiswa Master of International Relations, Monash University, Australia
REPUBLIKA, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Dewasa ini, kebijakan politik luar negeri tidak hanya diartikan sebatas proyeksi dari dinamika politik dalam negeri. Keduanya telah sedemikian berbaur dan berjalin satu sama lain yang kerap disebut sebagai intermestik (internasional-domestik).

Becermin dari faktor intermestik di mana dinamika politik domestik dapat diproyeksikan ke luar negeri sebagai salah satu modalitas diplomasi dan begitupun sebaliknya, wacana pengembalian kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah melalui RUU Pilkada tidak hanya akan memengaruhi masa depan politik dalam negeri, juga leverage dan kekuatan Indonesia pada level internasional.

Sejak dekade terakhir, nama Indonesia menguat di aras internasional sebagai contoh terbaik transisi menuju demokrasi, kemajuan ekonomi, sekaligus kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. Padahal, jika kita lihat 16 tahun lalu saat Presiden Soeharto lengser, nasib masa depan Indonesia diramalkan banyak pihak akan remuk redam layaknya negara-negara di kawasan Balkan.

Namun, bangsa kita membuktikannya, Indonesia bukan hanya bertahan dari krisis, tapi juga tegak sebagai negara full-fledged democracy ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat, tanpa meninggalkan identitas sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Bedanya, jika India butuh lima pekan untuk menyelenggarakan pemilu dan di Amerika partisipasi pemilu hanya berkisar 57 persen, di Indonesia pada Pilpres 9 Juli 2014 lebih dari 70 persen total penduduk atau 194 juta pemilih mendatangi hampir setengah juta TPS di seantero kepulauan serentak pada hari yang sama.

Bersamaan dengan percobaan demokrasi (Arab Spring) menemui jalan buntu di banyak negara Timur Tengah dan Afrika Utara, asumsi bahwa demokrasi mustahil ditumbuhkembangkan di tengah masyarakat Muslim semakin menguat. Namun, meskipun Arab merupakan tempat kelahiran Islam, sebanyak 80 persen Muslim kini tidak tinggal di Arab, melainkan terbesar di Indonesia (12 persen), Pakistan (11 persen), dan India (10,9 persen). Ketika transisi demokrasi Indonesia dinilai terkonsolidasi dengan cukup baik setelah melewati dua pemilu nasional terakhir dengan relatif damai, meskipun dengan catatan kekurangan, pengalaman Indonesia menjadi bukti kepada dunia tentang kompatibilitas antara Islam dan demokrasi.

Maka dari itu, Bali Democracy Forum (BDF) yang diselenggarakan 10 tahun terakhir tanpa terputus telah diakui luas sebagai bagian sangat penting dari arsitektur regional di kawasan Asia Pasifik untuk saling berbagi pengalaman tentang demokrasi. Sebagai tindak nyata, sejak 2011, Institute for Peace and Democracy, badan pelaksana BDF, menyelenggarakan program komprehensif untuk mendukung transisi demokrasi Mesir yang dihadiri oleh perwakilan parpol, KPU, hakim, dan LSM dari Mesir.

Bertepatan dengan pemilihan Gubernur Banten pada Mei 2011, para peserta dari Mesir mengaku terkesan menyaksikan langsung suasana penghitungan suara di TPS setempat yang penuh keakraban. Bahkan, sistem penghitungan yang serupa juga diadopsi dalam Pilpres Mesir 2012.

Ketika Jokowi resmi dilantik sebagai Presiden RI pada 20 Oktober, maka ia juga akan memimpin negara dengan kekuatan ekonomi ke-10 dunia berdasarkan purchasing power parities (PPP) menurut Bank Dunia. Ranking Indonesia di atas Spanyol, Kanada, Korea Selatan, dan jauh di atas Belanda. Bahkan, sebagai perbandingan, ekonomi Australia yang bertengger pada ranking ke-19, hanya kurang dari separuh ekonomi Indonesia. Hari ini, masyarakat internasional mendapati fenomena menarik di mana demokrasi, Islam, dan ekonomi terjalin dalam satu nama: Indonesia.

Di tengah pengalaman Indonesia berdemokrasi, baik keburukan dan kebaikannya, dijadikan model bagi banyak negara. Di sisi lain, demokrasi kita kembali menghadapi persimpangan jalan. Tarik-menarik opsi antara kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD masih terus terjadi. Padahal, semua pencapaian dan leverage internasional yang dimiliki Indonesia pada forum internasional dibangun atas dasar pengalaman berdemokrasi yang kian matang. Salah satu capaian terpentingnya adalah pilkada secara langsung. Jika format pilkada dikembalikan pada bentuk sebelum reformasi, maka sama dengan melucuti sendiri leverage internasional yang telah kita bangun 16 tahun terakhir.

Transisi Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman otoritarian menuju demokrasi tidak pernah mudah dan berjalan di lintasan lurus. Mencermati perjalanan 16 tahun terakhir serta pengorbanan yang diberikan bangsa ini untuk kemajuan demokrasi di Tanah Air, tampak jelas bahwa bangsa Indonesia telah mencapai tahapan point of no return dalam memantapkan pilihan pada sistem demokrasi.

Meskipun demikian, demokrasi Indonesia belum sempurna, sebagaimana juga tidak ada satu pun bangsa di dunia yang berhak mengklaim demokrasinya telah paripurna. Tentu saja, demokrasi kita sangat butuh proses perbaikan tanpa henti seumur bangsa. Perlu ada perbaikan agar UU Pilkada yang baru dapat menyeimbangkan antara kedaulatan rakyat, meritokrasi, dan efisiensi anggaran tanpa menghentikan proses yang telah dimulai sejak reformasi apalagi mengembalikannya pada bentuk sebelum reformasi.

Sepanjang sejarah republik, Indonesia tidak pernah menduduki posisi paling disegani dalam hampir segala bidang di mata dunia selain hari ini. Satu hal yang perlu kita waspadai, segala kebaikan pencapaian bangsa kita bukan mustahil akan berbalik mundur. Tugas kita bersama-sama adalah memastikan lokomotif Indonesia ini terus berjalan di lintasan sejarahnya, tidak berhenti apalagi berbalik mundur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar