Faktor
Intermesik RUU Pilkada
AM Sidqi ;
Diplomat
RI,
Mahasiswa Master of International Relations, Monash
University, Australia
|
REPUBLIKA,
23 September 2014
Dewasa ini, kebijakan
politik luar negeri tidak hanya diartikan sebatas proyeksi dari dinamika
politik dalam negeri. Keduanya telah sedemikian berbaur dan berjalin satu
sama lain yang kerap disebut sebagai intermestik (internasional-domestik).
Becermin dari
faktor intermestik di mana dinamika politik domestik dapat diproyeksikan ke
luar negeri sebagai salah satu modalitas diplomasi dan begitupun sebaliknya,
wacana pengembalian kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah melalui RUU
Pilkada tidak hanya akan memengaruhi masa depan politik dalam negeri, juga
leverage dan kekuatan Indonesia pada level internasional.
Sejak dekade
terakhir, nama Indonesia menguat di aras internasional sebagai contoh terbaik
transisi menuju demokrasi, kemajuan ekonomi, sekaligus kompatibilitas antara
Islam dan demokrasi. Padahal, jika kita lihat 16 tahun lalu saat Presiden
Soeharto lengser, nasib masa depan Indonesia diramalkan banyak pihak akan
remuk redam layaknya negara-negara di kawasan Balkan.
Namun, bangsa
kita membuktikannya, Indonesia bukan hanya bertahan dari krisis, tapi juga
tegak sebagai negara full-fledged
democracy ketiga di dunia, setelah India dan Amerika Serikat, tanpa
meninggalkan identitas sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Bedanya, jika
India butuh lima pekan untuk menyelenggarakan pemilu dan di Amerika
partisipasi pemilu hanya berkisar 57 persen, di Indonesia pada Pilpres 9 Juli
2014 lebih dari 70 persen total penduduk atau 194 juta pemilih mendatangi
hampir setengah juta TPS di seantero kepulauan serentak pada hari yang sama.
Bersamaan
dengan percobaan demokrasi (Arab Spring)
menemui jalan buntu di banyak negara Timur Tengah dan Afrika Utara, asumsi
bahwa demokrasi mustahil ditumbuhkembangkan di tengah masyarakat Muslim
semakin menguat. Namun, meskipun Arab merupakan tempat kelahiran Islam,
sebanyak 80 persen Muslim kini tidak tinggal di Arab, melainkan terbesar di
Indonesia (12 persen), Pakistan (11 persen), dan India (10,9 persen). Ketika
transisi demokrasi Indonesia dinilai terkonsolidasi dengan cukup baik setelah
melewati dua pemilu nasional terakhir dengan relatif damai, meskipun dengan
catatan kekurangan, pengalaman Indonesia menjadi bukti kepada dunia tentang
kompatibilitas antara Islam dan demokrasi.
Maka dari itu,
Bali Democracy Forum (BDF) yang
diselenggarakan 10 tahun terakhir tanpa terputus telah diakui luas sebagai
bagian sangat penting dari arsitektur regional di kawasan Asia Pasifik untuk
saling berbagi pengalaman tentang demokrasi. Sebagai tindak nyata, sejak
2011, Institute for Peace and Democracy,
badan pelaksana BDF, menyelenggarakan program komprehensif untuk mendukung
transisi demokrasi Mesir yang dihadiri oleh perwakilan parpol, KPU, hakim,
dan LSM dari Mesir.
Bertepatan
dengan pemilihan Gubernur Banten pada Mei 2011, para peserta dari Mesir mengaku
terkesan menyaksikan langsung suasana penghitungan suara di TPS setempat yang
penuh keakraban. Bahkan, sistem penghitungan yang serupa juga diadopsi dalam
Pilpres Mesir 2012.
Ketika Jokowi
resmi dilantik sebagai Presiden RI pada 20 Oktober, maka ia juga akan
memimpin negara dengan kekuatan ekonomi ke-10 dunia berdasarkan purchasing
power parities (PPP) menurut Bank Dunia. Ranking Indonesia di atas Spanyol,
Kanada, Korea Selatan, dan jauh di atas Belanda. Bahkan, sebagai
perbandingan, ekonomi Australia yang bertengger pada ranking ke-19, hanya
kurang dari separuh ekonomi Indonesia. Hari ini, masyarakat internasional
mendapati fenomena menarik di mana demokrasi, Islam, dan ekonomi terjalin
dalam satu nama: Indonesia.
Di tengah
pengalaman Indonesia berdemokrasi, baik keburukan dan kebaikannya, dijadikan
model bagi banyak negara. Di sisi lain, demokrasi kita kembali menghadapi
persimpangan jalan. Tarik-menarik opsi antara kepala daerah yang dipilih
langsung oleh rakyat atau dipilih DPRD masih terus terjadi. Padahal, semua
pencapaian dan leverage internasional yang dimiliki Indonesia pada forum
internasional dibangun atas dasar pengalaman berdemokrasi yang kian matang.
Salah satu capaian terpentingnya adalah pilkada secara langsung. Jika format
pilkada dikembalikan pada bentuk sebelum reformasi, maka sama dengan melucuti
sendiri leverage internasional yang
telah kita bangun 16 tahun terakhir.
Transisi
Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman otoritarian menuju demokrasi tidak
pernah mudah dan berjalan di lintasan lurus. Mencermati perjalanan 16 tahun
terakhir serta pengorbanan yang diberikan bangsa ini untuk kemajuan demokrasi
di Tanah Air, tampak jelas bahwa bangsa Indonesia telah mencapai tahapan point of no return dalam memantapkan
pilihan pada sistem demokrasi.
Meskipun
demikian, demokrasi Indonesia belum sempurna, sebagaimana juga tidak ada satu
pun bangsa di dunia yang berhak mengklaim demokrasinya telah paripurna. Tentu
saja, demokrasi kita sangat butuh proses perbaikan tanpa henti seumur bangsa.
Perlu ada perbaikan agar UU Pilkada yang baru dapat menyeimbangkan antara
kedaulatan rakyat, meritokrasi, dan efisiensi anggaran tanpa menghentikan
proses yang telah dimulai sejak reformasi apalagi mengembalikannya pada
bentuk sebelum reformasi.
Sepanjang
sejarah republik, Indonesia tidak pernah menduduki posisi paling disegani
dalam hampir segala bidang di mata dunia selain hari ini. Satu hal yang perlu
kita waspadai, segala kebaikan pencapaian bangsa kita bukan mustahil akan
berbalik mundur. Tugas kita bersama-sama adalah memastikan lokomotif
Indonesia ini terus berjalan di lintasan sejarahnya, tidak berhenti apalagi
berbalik mundur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar