Akomodasi
Jemaah Haji
Rahmat Hidayat ; Pemerhati Haji
|
REPUBLIKA,
23 September 2014
Salah satu
masalah krusial dalam pelayanan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi adalah akomodasi.
Menyiapkan akomodasi yang ideal bagi jamaah haji Indonesia yang jumlahnya
sangat besar dan heterogen tidaklah mudah.
Idealnya,
seluruh akomodasi jamaah haji Indonesia semuanya bagus, berlokasi di satu
tempat, serta berdekatan dengan Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Tapi, itu
sulit karena akomodasi yang bagus dan dekat terutama dengan Masjidil Haram
harganya mahal, di atas plafon biaya jamaah haji Indonesia.
Namun,
Kementerian Agama sebagai penanggung jawab utama penyelenggara haji Indonesia
bertekad meningkatkan kualitas pengadaan akomodasi jamaah haji selama di Arab
Saudi, baik di Makkah, Madinah, maupun Jeddah.
Sesuai
Keputusan Dirjen PHU No D Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyiapan Akomodasi
Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi, penyediaan akomodasi jamaah haji
dilaksanakan dengan memerhatikan prinsip ekonomis, efisien, efektif,
transparan, akuntabel, serta sekurang-kurangnya memenuhi lima standar.
Kelimanya mencakup: kualitas, wilayah, jarak, administrasi, dan harga.
Misalnya,
hotel harus bagus, punya lobi, ada fasilitas tempat shalat, liftnya cukup,
kamar mandinya cukup, lokasinya secara umum mudah dikenali oleh jamaah haji
Indonesia di Makkah, Madinah, maupun Jeddah, memiliki kemudahan akses ke
Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah dan Bandara King Abdul Aziz International Airport
(KAAIA) di Jeddah, memungkinkan tersedianya kendaraan umum, serta tidak
melebihi jarak yang telah ditentukan, yaitu di Makkah berjarak maksimal 4.000
meter dari Masjidil Haram dan di Madinah berada di wilayah Markaziyah dengan
jarak maksimal 650 meter dari Masjid Nabawi, memenuhi persyaratan
administrasi, tidak di-black list, dan harganya sesuai plafon.
Di Makkah,
pengadaan akomodasi dilakukan dengan sistem kontrak langsung kepada pemilik
rumah/penyewa/wakil syar’i atau melalui Maktab Aqari (biro jasa sewa
perumahan resmi), serta dilakukan dengan sistem kontrak satu musim dan/atau
kontrak jangka panjang. Di Madinah dilakukan melalui Majmu’ah (sejenis EO
atau biro jasa) dengan sistem sewa pelayanan. Sedangkan, di Jeddah dilakukan
dengan kontrak langsung kepada pemilik hotel dan/atau perusahaan perhotelan
dengan sistem sewa pelayanan.
Sebelum
dilakukan kontrak, seluruh hotel yang akan dijadikan akomodasi jamaah haji di
Makkah, Madinah, maupun Jeddah diverifikasi (kasyfiyah) kelayakannya, diukur
(tamtir) luas kamarnya, dihitung (taksir) kapasitasnya, dicek (tasrih) surat
izin kelayakan akomodasi, dan kelayakan hotelnya.
Untuk musim
haji 2014 lebih dari 100 tempat akomodasi di Makkah sebagian besar hotel setara
bintang tiga hingga empat dengan kapasitas hampir 160 ribu jamaah diverifikasi, diperiksa, dinegosiasi, dan
dikontrak selama satu musim untuk menjadi tempat akomodasi jamaah haji
Indonesia di Makkah. Tempat akomodasi itu dilengkapi fasilitas pelayanan
ibadah, pelayanan sektor, kesehatan, dan pelayanan ruang makan yang memadai.
Sebagian dari
tempat akomodasi itu berlokasi kurang dari dua kilometer persegi dari
Masjidil Haram dan sebagian berlokasi lebih dari 2-4 km dari Masjidil Haram.
Untuk hotel yang lokasinya jauh (lebih dari dua km), jamaah dilayani dengan
bus salawat untuk menuju ke Masjidil Haram dan kembali ke hotel dengan sistem
shuttle.
Seluruh hotel
yang dikelola majmuah dan akan menjadi tempat akomodasi jamaah haji di
Madinah juga diperiksa kelayakannya serta harus memiliki fasilitas yang
dipersyaratkan. Seluruh hotel di Madinah yang dikelola majmuah yang
dinyatakan lolos oleh Tim Akomodasi Jamaah Haji Indonesia 2014 semua
kualitasnya bagus setara hotel bintang tiga dan empat serta berada di wilayah
Markaziyah dan berjarak paling jauh 650 meter dari Masjid Nabawi.
Dengan
mekanisme pengadaan seperti itu, Kemenag berkeyakinan bahwa penyediaan
akomodasi jamaah haji akan lebih baik. Tapi apa yang terjadi sekarang
khususnya di Madinah ternyata di luar dugaan.
Berdasarkan
informasi, ada sekitar 13 ribu jamaah haji Indonesia dari 42 kloter menempati
hotel di luar wilayah Markaziyah, berjarak lebih satu km dari Masjid Nabawi
dan kondisi pemondokannya sangat memprihatinkan. Sembilan dari 10 ( 90 persen)
majmuah yang sudah menandatangani kontrak tidak memenuhi komitmennya
menyediakan akomodasi sebagaimana disepakati (Republika, 15 dan 17 September
2014).
Masalah ini
harus mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia, perlu
investigasi mendalam apa yang sebenarnya terjadi, apa penyebabnya, apakah
sekadar masalah teknis atau ada faktor lain sehingga mereka kompak tidak
memenuhi komitmennya, atau apakah para majmuah itu sepakat mengalihkan
akomodasi bagi rombongan jamaah haji negara lain yang membayar lebih mahal
dibanding Indonesia.
Untuk itu,
perlu segera langkah antisipasi dan solusi agar jamaah haji tidak menjadi
korban. Kemenag dan PPIH harus berusaha keras agar para majmuah memenuhi
komitmennya sehingga jamaah haji tetap mendapatkan akomodasi di wilayah
Markaziyah dengan kualitas hotel standar. Jika tidak mungkin dan terpaksa
ditempatkan di luar Markaziyah, jamaah haji harus ditempatkan di hotel yang
bagus serta disiapkan moda transportasi dari hotel ke Masjid Nabawi pulang
pergi atau diberi biaya pengganti transportasi.
Untuk
akomodasi haji di Makkah yang berjarak di atas 2.000 meter ke Masjidil Haram
dan disiapkan shuttle bus juga harus diantisipasi. Misalnya, jika busnya
mogok, terjadi macet total terutama menjelang puncak haji, apa yang harus
dilakukan, apakah perlu disiapkan bus kecil, rekayasa lalu lintas seperti apa
yang akan dilakukan sehingga jamaah haji tetap dapat memperbanyak ibadah di
Masjidil Haram.
Untuk musim
haji tahun mendatang, perlu dipertimbangkan pengadaan akomodasi di Madinah
dilakukan seperti di Makkah, yaitu sewa hotel selama musim haji atau kontrak
jangka panjang karena akan lebih memberikan kepastian akomodasi bagi jamaah
haji Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar