Daulat
Rakyat Vs Daulat Partai
Agung SS Widodo ; Peneliti
Pusat Studi Pancasila UGM
dan Institute For Research and
Indonesian Studies (IRIS)
|
SATU
HARAPAN, 22 September 2014
Bangsa
Indonesia tampaknya sedang diuji
kedewasaan dan kematangan demokrasinya. Baru saja selesai dari sengketa
Pemilihan Presiden (Pilpres) Agustus kemarin, saat ini kita sudah dihadapkan
dengan polemik RUU Pilkada. Pro kontra persoalan tersebut akhirnya kembali
mengerucut pada dua kubu, yakni koalisi partai politik pendukung Joko Widodo
dan koalisi merah putih yang merapat ke Prabowo Subianto. Tampaknya arena
pertarungan politik tidak serta merta berhenti pada hasil sengketa Pilpres
pasca Putusan MK.
Banyak
kalangan, terutama akademisi dan
pengamat politik, menyayangkan kemunculan RUU Pilkada. Bahkan tidak
sedikit yang menyatakan bahwa jika sampai RUU itu disahkan maka bangsa ini
telah mengalami kemunduran demokrasi, atau memasuki apa yang bisa diistilahkan
sebagai ‘darurat demokrasi’. Sebab RUU ini mengembalikan mekanisme pemilihan
Kepala Daerah oleh anggota legislatif seperti di masa Orde Baru dulu, tidak
lagi dipilih langsung oleh rakyat.
Wacana RUU
Pilkada disadari atau tidak telah mengantar kita pada perdebatan atas
eksistensi kedaulatan rakyat. Ini pada akhirnya memunculkan suatu diskursus
politik kenegaraan di mana ‘daulat rakyat’ bertarung dengan ‘daulat partai’.
Belum lama ini
sebenarnya kita mendapat pelajaran yang sangat berharga dalam proses
pendewasaan demokrasi. Perhelatan Pilpres pada tanggal 9 Juli lalu telah
mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat, sehingga kita melihat adanya
perubahan manuver identitas politik (partisipasi dan party identity) yang begitu luar biasa di akar rumput. Pun dengan
peristiwa tersebut indeks demokrasi kita beranjak ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia
(IDI) yang di rilis oleh Badan Pusat Statistik (2014) dijelaskan bahwa
pada tahun 2012 Indeks Demokrasi berada pada angka 62,63 (skala 0-100) dan
tahun 2013 Indek sDemokrasi naik di angka 63,72. Capaian tersebut tentunya
sangat positif mengingat kenaikan angka indeks naik 1.09 point.
Adanya
perbaikan indeks demokrasi tersebut tentu saja tidak bisa dilepaskan dari
tiga hal yang merupakan representasi dari prinsip daulat rakyat, yakni
kebebasan sipil (civil liberty),
hak-hak politik (politic right),
dan partisipasi lembaga-lembaga demokrasi (institution of democracy). Jika ketiga bangunan demokrasi di atas
diberangus dengan kemunculan RUU Pilkada, maka sangat dimungkinkan ke depan
bangsa ini akan mengalami kemunduran bahkan stagnansi demokrasi. Bangsa ini
tidak akan menjadi bangsa yang berdaulat dan memberikan kebebasan politik
kepada masyarakat sehingga prinsip vox
populi vox Dei (suara rakyat suara Tuhan) akan terkubur hidup-hidup dalam
wacana politik vox populi vox argentum
(suara rakyat suara uang receh)
Prof. Sri-Edi
Swasono pernah melakukan kritik tajam bahwa praktik demokrasi kita belum
lepas dari apa yang namanya demokrasi prabayar, suatu demokrasi yang
cenderung melegalkan praktik transaksi atau jual beli suara. Pertanyannnya kemudian, akankah dengan RUU Pilkada yang saat ini sedang
diproses akan memberikan jaminan hilangnya keculasan dan kecurangan dalam
demokrasi? Ataukah justru akan menjadi pintu masuk yang memuluskan praktik
demokrasi prabayar yang jauh dari makna kedaulatan rakyat.
Dalam harian
Daulat Ra’jat tanggal 20 September 1931, Mohammad Hatta mengingatkan “dengan ra’jat kita akan naik dan dengan
ra’jat kita akan toeroen. Hidoep matinja Indonesia merdeka, semoeanja itoe
tergantoeng kepada semangat ra’jat”. Hal ini setidaknya menjadi pertanda
bahwa arah demokrasi ke depan ialah melibatkan rakyat dalam proses
demokratisasi politik kenegaraan. Pun, dengan pemahaman tersebut tidak
mengindahkan adanya prinsip perwakilan permusyawaratan. Primus utama dari
daulat rakyat ialah pemerintahan negara dijalankan atas kehendak dan
kepentingan rakyat, dan itulah ‘Tahta
untuk Rakyat”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar