Selasa, 02 September 2014

Boikot dan Kemenangan Gaza

Boikot dan Kemenangan Gaza

Siti Susanto  Mahasiswa S-3 Hubungan Internasional, Universitas Münster, Jerman
REPUBLIKA, 01 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kesepakatan genjatan senjata antara Pemerintah Israel dan gerakan perlawanan Palestina, Hamas (26/8), akhirnya berhasil menghentikan eskalasi konflik di Gaza yang berlangsung sejak Juli 2014 dan memakan korban tewas lebih 2.000 jiwa di kalangan sipil Palestina. Selain berpeluang mengakhiri konflik dalam jangka panjang, gencatan senjata tersebut menandai "diakuinya" beberapa tuntutan politik rakyat Palestina, di antaranya pembukaan perbatasan dengan Mesir demi masuknya bantuan kemanusian internasional ke Gaza dan dilebarkannya akses wilayah laut bagi nelayan Palestina.

Terlepas dari aspek perlawanan militer Palestina, konflik Israel-Palestina kali ini mencatat perkembangan baru yang menyebabkan Israel bersedia melakukan gencatan senjata. Menguatnya peranan norma masyarakat sipil global, yang tergabung dalam kampanye Boikot, Divestasi, dan Sanksi (Boycott, Divestment, and Sanction/BDS) atas produk barang/jasa pendukung Israel menjadi faktor. Sejauh mana gerakan ini berhasil menekan pemerintah Netanyahu menghentikan operasi militernya di Gaza?     

Berdasar perspektif konstruktivisme dalam studi hubungan internasional (HI), pengaruh kekuatan norma internasional adalah relatif sama atau bahkan bisa melampaui kekuatan militer dan ekonomi (Reus-Smith 2009). Berpegang pada aspek kepatutan/kepantasan dan kesadaran kognitif, norma internasional perlahan menggeser dominasi perspektif liberal yang lebih mengacu pada aspek kepatuhan/konsekuensi dan reward/punishment yang selama ini mendominasi arena politik global.

Kampanye BDS sendiri merupakan bentuk kesadaran normatif masyarakat global untuk tidak mengonsumsi produk/jasa yang mendukung operasi militer Israel di Palestina. Dengan kata lain, BDS sesungguhnya merupakan salah satu bentuk norma masyarakat sipil global, yang menitikberatkan pada aspek kepatutan atas nilai kemanusiaan. Oleh karenanya, kampanye BDS seakan menjadi kekuatan global baru menghentikan konflik tidak berimbang antara kedua pihak, di saat aktor-aktor internasional besar sangat lambat merespons konflik tersebut.

Salah satu strategi kampanye yang dilakukan adalah memublikasi resmi daftar barang/jasa yang dimaksud. Alhasil, BDS perlahan mengubah profil konflik Gaza bukan lagi menjadi isu agama atau sektarian lain, namun ia bergerak progresif menjadi isu kemanusian mengingat besarnya jumlah korban sipil yang jatuh, khususnya anak-anak. Maka kampanye BDS dinilai mengalami momentum terbesar pada eskalasi konflik Palestina-Israel tahun 2014, meski gerakan itu sudah muncul di tahun 2005 (The New York Times, 28/8). 

Meskipun tidak mudah ditemukan, peranan norma internasional dalam memengaruhi politik global adalah valid. Ini dibuktikan, pertama, fenomena runtuhnya politik apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1994 (Klotz 1995). Apartheid jatuh karena besarnya desakan dari aktivis hak asasi manusia (HAM) kulit hitam di Amerika Serikat, yang menekan Pemerintah AS merevisi kembali kebijakan internasional negara tersebut terhadap Afrika Selatan tanpa melibatkan kekuatan militer. 

Kedua, gerakan Swadesi Gandhi dalam memperjuangkan kemerdekaan India dari Pemerintah Inggris pada tahun 1947. Termasuk dalam manifesto Satyagraha, Swadesi merupakan gerakan memproduksi barang secara mandiri yang diinisiasi Mahatma Gandhi dalam melakukan pembangkangan sipil terhadap Inggris.

Belajar dari Afsel dan India, peluang menguatnya pengaruh norma BDS mengubah konstelasi konflik Palestina-Israel adalah sangat besar. Di saat kekuatan negara-negara besar dinilai lambat menghentikan agresi militer Israel di Gaza, tenyata masyarakat sipil bergerak bersama memberikan dukungannya pada Palestina dalam bentuk kesadaran kognitif ekonomi melalui BDS.

Tidak bisa dimungkiri jika kampanye BDS berdampak negatif terhadap stabilitas politik dan ekonomi Israel, terutama selama berlangsungnya konflik. Sebelum eskalasi konflik terjadi, Menteri Perdagangan Israel Yair Lapid menyatakan bahwa potensi penurunan jumlah ekspor Israel ke Eropa akibat BDS diperkirakan mencapai 6 miliar dolar AS (Deutsche Welle, 14/2). Sangat logis jika kerugian ekonomi Israel dan perusahan pendukungnya semakin besar seiring meningkatnya eskalasi konflik di Gaza. 

Dukungan modernitas

Tidak dimungkiri jika menguatnya kesadaran normatif global atas gerakan BDS sangat dipengaruhi aspek modernitas saat ini. Selain internet, keberadaan fasilitas komunikasi nonkonvensional yang dimiliki masyarakat sipil global, seperti media sosial, smartphone beserta aplikasinya menjadi faktor penentu tersebarnya kampanye BDS secara cepat.

Fasilitas tersebut tidak hanya membuat teknologi dan informasi bukan lagi barang langka, namun juga menyediakan arus dan wacana alternatif yang dinilai lebih valid dan up-to date, dibandingkan media mainstream seperti koran, televisi, dan radio. Tidak heran jika norma BDS menguat seiring dengan gencarnya pemberitaan jatuhnya korban sipil Gaza kepada publik.

Dengan demikian, BDS merupakan kekuatan global baru yang secara signifikan akan mengubah konflik Palestina-Israel di masa datang, terlebih dikombinasi dengan kecepatan dan kecanggihan perkembangan teknologi informasi. Bukan tidak mungkin, bahwa dengan dukungan tersebut Palestina akan meraih kemerdekaannya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar