Rabu, 16 Juli 2014

Survei Juga Ijtihad

                                                   Survei Juga Ijtihad

Teuku Kemal Fasya  ;   Dosen Antropologi, Beberapa kali sempat terlibat dalam survei lingkungan dan demokrasi lokal
SINAR HARAPAN,  14 Juli 2014
                                                                                                                       


Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli telah usai, tapi tidak semuanya usai. Hasil hitung cepat (quick count) menunjukkan keterbelahan. Delapan dari 12 lembaga survei menyimpulkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang dalam pilpres ketiga di era Reformasi ini.

Delapan lembaga survei itu adalah Populi Center, Center for Strategic and International Studies (CSIS), Litbang Kompas, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Radio Republik Indonesia (RRI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dan Pol-Tracking Institute. Kedelapan lembaga survei ini menunjukkan kemenangan Jokowi-JK berada pada kisaran 52-53 persen.

Empat lembaga survei yang “memenangkan” pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa adalah Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Jaringan Suara Indonesia (JSI), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Indonesia Research Centre (IRC) dengan variasi kemenangan 50-52 persen.

Tiga lembaga survei itu berafiliasi dengan TV One yang menjadi media politik Prabowo-Hatta. Sebenarnya juga bukan tiga, tapi empat, yaitu Pol-Tracking. Ironisnya di menit-menit akhir Pol-Tracking memutuskan menolak “menyesuaikan hasil” dengan tiga lembaga survei lain sehingga memutuskan kontrak dengan televisi berjaringan nasional itu. Satu lembaga lagi, IRC milik Hary Tanoesoedibjo disiarkan di jaringan grup MNC.

Bukan kebetulan jika akhirnya tiga lembaga survei “menyimpang” itu menolak undangan klarifikasi dari Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) sebagai induk lembaga survei di Indonesia. Klarifikasi terpaksa dilakukan karena kasus ini ikut mencoreng martabat survei dan kredibilitas lembaga-lembaga survei politik di Indonesia.

Ilmiah Statistik

Keterbelahan itu menjadi preseden bagi dunia survei Indonesia. Jika khilafiyah atau perbedaan pendapat terjadi pada survei persepsi atau opini, tentu masih dapat dimaklumi.

Namun, jika hasilnya berbeda secara ekstrem antara satu lembaga survei dengan lembaga survei lain untuk sebuah informasi post-pactum seperti hasil hitung pemilu maka patut dipertanyakan. Logika aristotelian menyebutkan, “hanya ada kemungkinan semua fakta salah atau hanya ada satu fakta benar dan lainnya salah”. Tidak mungkin semuanya benar.

Secara sederhana saya ingin mengambarkan seperti ini. Survei atau hitung cepat adalah bagian dari metodologi penelitian kuantitatif yang tidak sekompleks penelitian kualitatif. Data yang masuk dalam penelitian kuantitatif ditabulasi dan kemudian dipersentasi untuk diambil kesimpulan rata-rata (average conclusion).

Okelah jika survei persepsi sedikit lebih rumit, karena harus menabulasi pikiran orang, namun tidak demikian dengan hitung cepat. Jika semua teknik dilakukan dengan benar seperti menggunakan sampel secara acak bertahap (multistage random sampling), hasilnya tidak akan berbeda antara satu lembaga survei dengan yang lain.

Kalaupun batas kekeliruan atau margin error terjadi, disebabkan berapa banyak sampel yang digunakan. Seperti disampaikan Prof Hamdi Muluk, guru besar psikologi politik Universitas Indonesia, jika sampelnya 2.000, margin error yang bisa ditoleransi sekitar 1,2 persen. Jika sampelnya 4.000, margin error antara 0,6-0,7 persen.

Lembaga survei abal-abal tentu tidak memberlakukan prinsip ini secara benar. Sejak awal pikiran tidak objektif sudah melaroni pilihan sampel. Contohnya begini, penduduk Aceh yang sekitar 5 juta jiwa diberikan sampel yang sama dengan penduduk Jawa Barat yang berpenduduk 45 juta jiwa maka kesimpulan rata-ratanya tentu bias dan “pedas”.

Contoh lain, populasi sampel sudah tendensius jika sengaja memilih wilayah pendukung tertentu dan mengabaikan yang lain. Bisa dipastikan datanya memiliki tingkat kepercayaan (reliability) yang buruk. Fenomena penelitian kuantitatif dikumpulkan sebagai data numerik dan dianalisis secara matematis (lebih khusus lagi secara statistik) sehingga melahirkan kebenaran empiris (Aliaga and Anderson, 2000).

Dengan penjelasan serbahemat ini, hanya ada dua kesimpulan. Pertama, delapan lembaga survei pertama yang benar dan empat lainnya salah atau sebaliknya. Kalau menilik kredibilitas delapan lembaga survei pertama, patut dicurigai empat lembaga survei kedua keliru atau sengaja mengelirukan hasil hitung cepatnya.

Ijtihad

Tentu karena hasil penelitian hitung cepat ini adalah proses sampel dan bukan sensus atau real count, hasilnya tentu memiliki efek “kesalahan”. Namun, hal itu masih bisa ditoleransi sebagai proses ilmiah. Hal yang tidak dapat ditoleransi jika prosesnya mengabaikan prinsip keilmiahan yaitu kehati-hatian (al ihthiyaat) dan kejujuran.

Kejujuran menjadi basis dari seluruh pemikiran mengacu kepada kebenaran. Dalam Islam diistilahkan al ijtihaad. Kehati-hatian berhubungan dengan operasionalisasi metode ilmiah yang dipilih. Kehati-hatian akan berdampak pada integritas dan profesionalisme. Karena itu, orang yang menguasai ilmu statistik harus dikedepankan untuk melakukan survei.

Kesalahan setelah menunaikan prinsip keilmiahan itulah yang dibenarkan dalam Islam, seperti disebutkan dalam sebuah hadis nabi, “Jika menetapkan hukum dan benar maka ia mendapatkan dua pahala. Jika menetapkan dengan proses yang sungguh-sungguh (ijtihad) dan keliru maka baginya satu pahala”.

Jika kini muncul pemahaman untuk menolak semua data survei, secara tidak langsung kita sudah mengabaikan kecanggihan perkembangan ilmu penelitian kuantitatif dengan basis statistik itu. Secara tidak langsung akan mengarah kepada sakit nalar dan menjadi delusif dalam menilai semua proses ilmiah survei.

Para ilmuwan statistik dan lembaga otoritas survei harus menjadikan momentum ini sebagai proses menegakkan benang basah survei yang loyo akibat politik praktis yang propagandis. Biarkan lembaga survei abal-abal berlalu dan kita yang berhasrat kepada kebenaran ijtihadiyah melanjutkan kerja-kerja kebaikan survei. Bukanlah dalam perkembangan demokrasi modern, keberadaan lembaga survei sudah menjadi keperluan primer, bukan lagi tersier? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar