Perbedaan
dalam Polarisasi Narsistik
Yoyok Sri Nurcahyo ; Komisaris besar polisi di Mabes Polri,
Sedang belajar di Lemhanas RI
|
JAWA
POS, 12 Juli 2014
SEJAK reformasi, ”ritual” kebangsaan pileg, pilpres, dan pilkada lima
tahunan, baik di tingkat daerah maupun nasional, sangat menyita konsentrasi
dan kadang mengusik harmoni masyarakat. Polarisasi menegangkan antar-kelompok
pendukung hampir selalu terjadi. Polarisasi itu bisa bersifat sementara,
tetapi tidak sedikit juga yang ternyata menjadi polarisasi lebih permanen.
Ini berpotensi memicu konflik horizontal maupun vertikal dan, tentu saja,
mengganggu produktivitas masyarakat.
Terjadinya polarisasi, baik yang sementara maupun permanen, bergantung
pada tingkat militansi terhadap partai atau pasangan calon yang didukungnya.
Selain itu juga bergantung pada pemahaman pendukung dalam memandang
perbedaan. Oleh karena itu, peran partai, pasangan calon, akademisi, tokoh
masyarakat, maupun komponen bangsa lainnya agar tidak terjadi polarisasi
dalam masyarakat, apalagi polarisasi permanen, menjadi sangat sentral. Mereka
berkewajiban memberikan pencerahan kepada pendukungnya terhadap filosofi
tentang politik maupun perbedaan.
Kita coba renungi tingkat pemahaman masyarakat terhadap perbedaan yang
menjadi lahan subur terjadinya polarisasi dalam masyarakat. Sampai saat ini,
terutama kini di zaman reformasi, menurut penulis, pemahaman masyarakat dalam
melihat suatu perbedaan terkesan menurun dibanding pada era sebelumnya.
Indikatornya, antara lain, perbedaan saat ini sangat diwarnai semangat
egosentrisme, superioritas dari kelompok yang satu terhadap yang lain,
primordialisme, dan yang paling memprihatinkan: munculnya narsisme (sikap
membanggakan diri secara berlebihan dan merendahkan orang lain).
Sikap-sikap narsistik itu mempertajam polarisasi masyarakat. Contoh
yang paling hangat adalah terjadinya polarisasi dukungan terhadap
capres/cawapres saat ini. Lebih memprihatinkan lagi, polarisasi masyarakat
tidak hanya terjadi dalam kalangan masyarakat awam. Bahkan, kalangan elite
bangsa dan beberapa media sudah terjebak head-to-head
untuk saling menjatuhkan dengan segala cara. Bisa dibayangkan apa yang akan
terjadi bila polarisasi dukungan terhadap capres/cawapres ini menjadi
permanen, tentu akan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang merupakan
substansi pemilu.
Berdasar kesejarahan, bangsa Indonesia terbentuk dari kebulatan tekad
dan kehendak dari segenap komponen bangsa untuk bersatu dalam wadah suatu
negara dan bangsa. Kita semua menyadari, dengan wilayah yang membentang dari
Sabang sampai Merauke yang menunjukkan keberagaman, baik suku, bangsa,
bahasa, agama, maupun budaya, para pendiri bangsa (founding fathers) sepakat
untuk menyusun ikatan pemersatu bangsa dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang dibangun dari prinsip-prinsip
multikulturalisme.
Multikulturalisme merupakan suatu konsep untuk melihat perbedaan dalam
kesederajatan melalui dialog yang egaliter dan toleransi. Artinya, adanya
perbedaan melahirkan sebuah mozaik yang membuat kehidupan menjadi indah.
Menurut agama Islam, perbedaan itu malah dilihat sebagai suatu keniscayaan
dan sunatullah. Hal ini dipertegas dalam Surat Al Hujurat ayat 13 yang telah
memberikan pengertian mengapa Tuhan menciptakan umat berbeda-beda. Bahwa
Tuhan menciptakan manusia itu terdiri atas laki-laki dan perempuan dan menjadi
bersuku-suku serta berbangsa-bangsa agar dapat saling mengenal.
Kemudian pertanyaan berikutnya, bagaimana sebaiknya kita melihat dan
menyikapi suatu perbedaan? Memahami hal ini memang tidak mudah. Sebab,
pemahaman terhadap perbedaan perlu diinternalisasikan sejak dini sebagai
kerangka untuk saling mengenal antar sesama dan saling memahami akan indahnya
perbedaan sebagai suatu proses yang alamiah. Dua hal yang pokok menjadi pilar
untuk memahami perbedaan adalah membiasakan dialog egaliter dengan semangat
toleransi.
Dialog yang egaliter sangat penting untuk menanamkan wawasan perbedaan
dalam kesederajatan. Fakta-fakta perbedaan berupa sikap pro dan kontra,
laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, dan sebagainya harus dijembatani
dengan dialog yang egaliter. Sedangkan toleransi merupakan suatu sikap untuk
menerima bahwa manusia atau makhluk itu diciptakan Tuhan memang berbeda.
Sehingga kesadaran akan kesetaraan dalam perbedaan dapat tecermin dalam pola
sikap dan pola tindak masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama. Dengan
toleransi tersebut, akan hilang superioritas yang satu atas lainnya, suatu
situasi yang sangat baik untuk meningkatkan produktivitas.
Kembali pada kondisi kekinian, menguatnya polarisasi kelompok pendukung
pasangan capres-cawapres yang telah terjadi selama masa kampanye yang lalu
harus kita hentikan. Sikap ini merupakan bentuk rekonsiliasi untuk membangun
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju terwujudnya masyarakat yang
adil dan makmur di bawah presiden baru. Kita menunggu penetapan hasil pilpres
pada 22 Juli 2014 oleh KPU. Sebab, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau,
presiden terpilih nanti sudah diputuskan dalam proses yang telah disepakati
bersama melalui pemilu tersebut yang akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Semoga tulisan ini dapat menjadi wacana untuk membangun bangsa
Indonesia dalam keberagaman yang lebih baik. Hidup harus berlanjut, jangan
terus berkutat dengan perbedaan hari ini. Selamat
datang perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar