Paradigma
Pemberdayaan Rakyat
Satryo Soemantri Brodjonegoro ; Guru Besar ITB;
Dirjen Dikti (1999-2007); Wakil Ketua AIPI
|
KOMPAS,
12 Juli 2014
DALAM waktu dekat, Indonesia akan mempunyai presiden dan wakil presiden
baru. Rakyat pun menumpukan harapan yang tinggi kepada mereka agar
kesejahteraan rakyat segera terwujud. Sejalan dengan butir kampanye para
calon selama ini, kesejahteraan rakyat selalu menjadi agenda utama mereka
dalam rangka meraih simpati rakyat. Bahkan, dalam pemilihan presiden dan
wakil presiden sebelumnya selama ini, agenda menyejahterakan rakyat selalu
mengemuka.
Pada kenyataannya, para presiden dan wakil presiden sampai saat ini
belum mampu menyejahterakan rakyatnya secara hakiki. Artinya, upaya dan kerja
keras telah mereka tempuh selama ini meskipun hasilnya belum sesuai harapan
rakyat. Penghargaan perlu diberikan kepada para pemimpin negara selama ini
karena kerja keras mereka. Namun, rakyat juga perlu diapresiasi karena sangat
sabar dalam berjuang untuk meraih kesejahteraan.
Sinergi
pemerintah-rakyat
Mencermati kondisi di atas, tampaknya ada sesuatu yang salah dalam tata
kelola negara ini. Artinya, belum terjadi sinergi antara kebijakan pemerintah
untuk kesejahteraan rakyat dan perjuangan rakyat untuk mencapai
kesejahteraan. Tema yang sama digunakan oleh kedua pihak, tetapi tidak
terjadi sinergi, bahkan terkadang saling bertentangan arahnya.
Sebagai contoh adalah indikator pertumbuhan ekonomi yang selalu dikaitkan
dengan tingkat kesejahteraan rakyat ternyata keduanya tidak selalu sinkron,
di mana pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tetapi rakyat tetap miskin, bahkan
terjadi kesenjangan ekonomi yang makin lebar. Contoh lain adalah indikator
pendidikan yang selalu dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia ternyata
belum sepenuhnya benar. Sebab, anggaran yang cukup besar belum mampu
mendongkrak mutu secara signifikan, yang tampak adalah jumlah peserta didik
yang meningkat drastis. Ada kekhawatiran bahwa banyaknya peserta didik jika
tidak diimbangi oleh mutu yang hakiki justru akan menimbulkan masalah baru,
yaitu para penganggur, dan mereka akan menjadi beban berat bagi rakyat dan
negara.
Tampaknya diperlukan paradigma baru dalam mengelola negara agar mampu
menyejahterakan rakyatnya, yaitu paradigma pemberdayaan rakyat. Pemerintah
sebagai pihak yang diberi amanah oleh konstitusi harus paham makna
kesejahteraan rakyat, yaitu keberdayaan rakyat. Rakyat akan sejahtera jika
mereka berdaya; mereka mampu menyejahterakan dirinya sesuai kapasitas yang
dimilikinya.
Oleh karena itu, bukan pemerintah yang memberi kesejahteraan kepada
rakyatnya, melainkan rakyat yang harus diberdayakan oleh pemerintah melalui
berbagai kebijakan. Selama ini sistem pemerintahan menganut pola pengaturan
dan pengendalian. Artinya, pemerintah berperan sebagai penguasa, pengatur,
dan pengendali, di mana tolok ukur keberhasilan pemerintah ditentukan oleh
banyaknya peraturan yang ditetapkan. Sama halnya dengan DPR, di mana tolok
ukur keberhasilan ditentukan oleh banyaknya UU yang dibuat.
Pada saat ini, rakyat merasakan sudah terlalu banyak UU dan terlalu
banyak peraturan yang berlaku sehingga ruang gerak rakyat menjadi sangat
sempit dan menjadi tidak berdaya. Tolok ukur kebenaran seolah hanya ada pada
pemerintah sehingga pemerintahlah yang mengatur pola hidup seluruh rakyat.
Dari
penguasa jadi pelayan
Dengan paradigma yang baru, pemerintah bukan lagi sebagai penguasa dan
pengatur, melainkan sebagai pemberdaya rakyat. Artinya, pemerintah membuat
kebijakan dan insentif agar rakyatnya berdaya. Pemerintah harus ikhlas bahwa
dia bukan lagi penguasa negara, melainkan justru menjadi pelayan rakyat.
Dengan wisdom-nya pemerintah
justru mendorong agar rakyatnya berdaya, mandiri, dan akhirnya sejahtera.
Rakyat mendambakan pemimpin yang amanah dan bukan penguasa, yang dapat
membimbing dan mendorong mereka untuk mencapai kesejahteraan.
Dalam budaya Jawa dikenal prinsip mengorangkan orang. Alangkah baiknya
jika pemerintah menerapkan prinsip tersebut sehingga rakyat merasa diorangkan
agar rakyat tidak sekadar dianggap sebagai pelengkap penderita. Memang tak
mudah bagi pemerintah mengubah pola pikirnya ke arah paradigma baru ini
karena sudah terlalu lama berkutat dalam sistem pemerintahan yang berpola
penguasa.
Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem pemerintahan dari pola
penguasa menjadi pola melayani untuk memberdayakan rakyatnya. Rakyat sudah
harus berubah statusnya dari pelengkap penderita menjadi subjek pembangunan.
Berbagai UU dan peraturan yang ada saat ini harus direformasi ke arah yang
mampu memberdayakan rakyat.
Saat ini terkesan bahwa berbagai UU dan peraturan justru mengebiri
rakyat sehingga tidak berdaya. Artinya, perlu ada reformasi sistem hukum di
Indonesia ke arah hukum yang mampu memberdayakan rakyat dan tidak membuat
rakyat takut berbuat sesuatu.
Kunci keberhasilan pemberdayaan rakyat adalah adanya kepercayaan
pemerintah terhadap rakyat untuk dapat melaksanakan kiprahnya sesuai
kapasitas dan minatnya. Hak prerogatif rakyat untuk menentukan nasibnya harus
dihargai, bahkan pemerintah berkewajiban mengedukasi rakyatnya agar mampu
membuat keputusan.
Keberdayaan rakyat tidak hanya untuk kesejahteraan, tetapi juga untuk
kemandirian dalam rangka mengangkat wibawa dan jati diri bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar