Sabtu, 12 Juli 2014

Paradigma Pemberdayaan Rakyat

                             Paradigma Pemberdayaan Rakyat

Satryo Soemantri Brodjonegoro  ;   Guru Besar ITB;
Dirjen Dikti (1999-2007); Wakil Ketua AIPI
KOMPAS, 12 Juli 2014
                                                


DALAM waktu dekat, Indonesia akan mempunyai presiden dan wakil presiden baru. Rakyat pun menumpukan harapan yang tinggi kepada mereka agar kesejahteraan rakyat segera terwujud. Sejalan dengan butir kampanye para calon selama ini, kesejahteraan rakyat selalu menjadi agenda utama mereka dalam rangka meraih simpati rakyat. Bahkan, dalam pemilihan presiden dan wakil presiden sebelumnya selama ini, agenda menyejahterakan rakyat selalu mengemuka.

Pada kenyataannya, para presiden dan wakil presiden sampai saat ini belum mampu menyejahterakan rakyatnya secara hakiki. Artinya, upaya dan kerja keras telah mereka tempuh selama ini meskipun hasilnya belum sesuai harapan rakyat. Penghargaan perlu diberikan kepada para pemimpin negara selama ini karena kerja keras mereka. Namun, rakyat juga perlu diapresiasi karena sangat sabar dalam berjuang untuk meraih kesejahteraan.

Sinergi pemerintah-rakyat

Mencermati kondisi di atas, tampaknya ada sesuatu yang salah dalam tata kelola negara ini. Artinya, belum terjadi sinergi antara kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat dan perjuangan rakyat untuk mencapai kesejahteraan. Tema yang sama digunakan oleh kedua pihak, tetapi tidak terjadi sinergi, bahkan terkadang saling bertentangan arahnya.

Sebagai contoh adalah indikator pertumbuhan ekonomi yang selalu dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan rakyat ternyata keduanya tidak selalu sinkron, di mana pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tetapi rakyat tetap miskin, bahkan terjadi kesenjangan ekonomi yang makin lebar. Contoh lain adalah indikator pendidikan yang selalu dikaitkan dengan kualitas sumber daya manusia ternyata belum sepenuhnya benar. Sebab, anggaran yang cukup besar belum mampu mendongkrak mutu secara signifikan, yang tampak adalah jumlah peserta didik yang meningkat drastis. Ada kekhawatiran bahwa banyaknya peserta didik jika tidak diimbangi oleh mutu yang hakiki justru akan menimbulkan masalah baru, yaitu para penganggur, dan mereka akan menjadi beban berat bagi rakyat dan negara.

Tampaknya diperlukan paradigma baru dalam mengelola negara agar mampu menyejahterakan rakyatnya, yaitu paradigma pemberdayaan rakyat. Pemerintah sebagai pihak yang diberi amanah oleh konstitusi harus paham makna kesejahteraan rakyat, yaitu keberdayaan rakyat. Rakyat akan sejahtera jika mereka berdaya; mereka mampu menyejahterakan dirinya sesuai kapasitas yang dimilikinya.

Oleh karena itu, bukan pemerintah yang memberi kesejahteraan kepada rakyatnya, melainkan rakyat yang harus diberdayakan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan. Selama ini sistem pemerintahan menganut pola pengaturan dan pengendalian. Artinya, pemerintah berperan sebagai penguasa, pengatur, dan pengendali, di mana tolok ukur keberhasilan pemerintah ditentukan oleh banyaknya peraturan yang ditetapkan. Sama halnya dengan DPR, di mana tolok ukur keberhasilan ditentukan oleh banyaknya UU yang dibuat.

Pada saat ini, rakyat merasakan sudah terlalu banyak UU dan terlalu banyak peraturan yang berlaku sehingga ruang gerak rakyat menjadi sangat sempit dan menjadi tidak berdaya. Tolok ukur kebenaran seolah hanya ada pada pemerintah sehingga pemerintahlah yang mengatur pola hidup seluruh rakyat.

Dari penguasa jadi pelayan

Dengan paradigma yang baru, pemerintah bukan lagi sebagai penguasa dan pengatur, melainkan sebagai pemberdaya rakyat. Artinya, pemerintah membuat kebijakan dan insentif agar rakyatnya berdaya. Pemerintah harus ikhlas bahwa dia bukan lagi penguasa negara, melainkan justru menjadi pelayan rakyat.

Dengan wisdom-nya pemerintah justru mendorong agar rakyatnya berdaya, mandiri, dan akhirnya sejahtera. Rakyat mendambakan pemimpin yang amanah dan bukan penguasa, yang dapat membimbing dan mendorong mereka untuk mencapai kesejahteraan.

Dalam budaya Jawa dikenal prinsip mengorangkan orang. Alangkah baiknya jika pemerintah menerapkan prinsip tersebut sehingga rakyat merasa diorangkan agar rakyat tidak sekadar dianggap sebagai pelengkap penderita. Memang tak mudah bagi pemerintah mengubah pola pikirnya ke arah paradigma baru ini karena sudah terlalu lama berkutat dalam sistem pemerintahan yang berpola penguasa.

Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem pemerintahan dari pola penguasa menjadi pola melayani untuk memberdayakan rakyatnya. Rakyat sudah harus berubah statusnya dari pelengkap penderita menjadi subjek pembangunan. Berbagai UU dan peraturan yang ada saat ini harus direformasi ke arah yang mampu memberdayakan rakyat.

Saat ini terkesan bahwa berbagai UU dan peraturan justru mengebiri rakyat sehingga tidak berdaya. Artinya, perlu ada reformasi sistem hukum di Indonesia ke arah hukum yang mampu memberdayakan rakyat dan tidak membuat rakyat takut berbuat sesuatu.

Kunci keberhasilan pemberdayaan rakyat adalah adanya kepercayaan pemerintah terhadap rakyat untuk dapat melaksanakan kiprahnya sesuai kapasitas dan minatnya. Hak prerogatif rakyat untuk menentukan nasibnya harus dihargai, bahkan pemerintah berkewajiban mengedukasi rakyatnya agar mampu membuat keputusan.

Keberdayaan rakyat tidak hanya untuk kesejahteraan, tetapi juga untuk kemandirian dalam rangka mengangkat wibawa dan jati diri bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar