Senin, 14 Juli 2014

Moralitas Profesional

                                               Moralitas Profesional

Abu Su’ud  ;   Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Sosial (FIS)
Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA,  14 Juli 2014
                                                


PARA profesional bidang apa pun, dalam proses pengembangan diri selalu mengikuti arahan moralitas yang mendasari. Mereka menggunakan kebenaran sebagai ukuran dalam menentukan kesesuaian dengan moralitas. Dalam dunia olahraga profesional, kebenaran tersebut ditentukan oleh aturan main (rule of the game), sesuai dengan kesepakatan dalam organisasi profesi mereka.

Moralitas yang berlaku di kalangan mereka adalah sportivitas. Artinya, ketaatan pada ketentuan aturan main, melebihi segala kepentingan harga diri ataupun kebanggaan kelompok sebagai pemenang misalnya.

Godaan terbesar olahragawan profesional dalam mempertahankan sportivitas adalah doping guna meningkatkan stamina dan vitalitas. Misalnya memakai obat perangsang tertentu yang sebenarnya terlarang. Modus lain untuk mendapatkan kemenangan dengan cara tidak sportif adalah ’’main sabun’’.

Praktik itu memberikan iming-iming sesuatu supaya sebuah tim atau atlet tidak perlu tampil maksimal, bahkan sebaliknya memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk mencapai prestasi yang diskenariokan. Cara itu biasa dilakukan oleh mafia untuk mengatur kalah menang skor pertandingan atau kejuaraan. Bidang politik ataupun keilmuan juga mendasarkan pada moralitas profesional dalam proses pengembangan diri.

Pada kalangan politikus profesional, yang dimaksud dengan kebenaran adalah cara bagaimana mendapatkan posisi kepemimpinan di dalam masyarakat. Peraihan sukses itu bila perlu lewat cara berbohong. Istilahnya boleh curang asalkan menang. Kalau perlu dengan berganti pasangan kerja sama atau koalisi. Mereka tidak mengenal prinsip teman abadi ataupun musuh abadi, mengingat yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Karena itu, kita bisa melihat berbagai gejala selama pilpres semisal perilaku seperti”kutu loncat” berganti dukungan, melancarkan kampanye hitam ataupun kampanye negatif. Itulah moralitas yang mendasari mereka selama ini. Perilaku lain yang termasuk moralitas yang”diterima” adalah semua upaya untuk meningkatkan tingkat keberhasilan dengan menerapkan praktik politik uang.

Dari yang paling sederhana dan berjumlah kecil, yang biasa diberikan dalam serangan fajar, sampai berupa pemberian yang amat besar. Contohnya seperti sesuatu yang diberikan kepada Akil Mochtar ketika ia menjabat ketua Mahkamah Konstitusi dan menangani kasus-kasus sengketa pilkada.

Dalam skala amat besar, bahkan berukuran global, sering terjadi pada proses suksesi di suatu negara merdeka yang mendapat intervensi dari negara adikuasa. Invansi militer AS dan sekutunya ke Irak untuk menggulingkan Saddam Hussien, penguasa yang tidak dikehendaki penguasa Barat dan menggantikannya secara”lebih demokratis”. Peristiwa itu merupakan contoh dari moralitas kekuatan politik profesional dalam kiprah politik.

Kondisi Berbeda

Sementara itu, para ilmuan dalam melaksanakan misinya untuk mencari kebenaran tetap mengikuti moralitas profesional. Bagi mereka, kebenaran ilmu adalah upaya memberi penjelasan terhadap berbagai kejadian ataupun gejala yang terjadi dalam kehidupan. Termasuk meramalkan apa yang bisa terjadi pada masa depan.

Bisa saja upaya memberi penjelasan ataupun meramalkan yang dikehendaki itu salah atau tidak berhasil. Mereka tidak berbohong atau memanipulasi. Itulah hakikat moralitas profesional ilmuwan. Yang menarik adalah bila kita memperhatikan perubahan sikap dan perilaku kaum intelektual ketika berada pada kondisi berbeda.

Semasa perjuangan melawan penjajah, sering terjadi kasus pelacuran intelektual. Ketika itu beberapa intelektual Indonesia bekerja untuk penjajah Belanda. Ini berlawanan dari sikap Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir dan sebagainya yang tak mau kompromi dan emoh menerima tawaran bekerja sama dengan Belanda. Mereka sebaliknya siap menghadapi tantangan penjara atau dibuang. Pada masa Orba kita menyaksikan sejumlah intelektual menentang kebijakan rezim Soeharto.

Kita bisa menyebut sedikit contoh seperti Arief Budiman, Sri-Bintang Pamungkas, dan tokoh penanda tangan Petisi 50. Sementara sebagian yang lain bekerja sama dalam rezim Orba. Dalam kondisi lain, sebagai ilmuan para intelektual yang bekerja sebagai akedemisi pada lembaga perguruan tinggi senantiasa menunjukkan sikap sesuai moralitas profesional keilmuan ketika melaksanakan tugas-tugas Tri Darma Perguruan Tinggi.

Mereka nyaris sempurna tampil sebagai ilmuwan profesional dalam mencari kebenaran dan objektivitas. Namun jangan kaget ketika ilmuwan tampil sebagai perseorangan dengan berbagai kepentingan, terlibat dalam proses suksesi kelembagaan, seperti pemilihan rektor dan sebagainya. Tiba-tiba saja mereka mengubah diri jadi insan politik dengan berbagai karakteristik. Misal membentuk kelompok-kelompok kepentingan untuk memenangkan tujuan politik. Nyaris sefasih politikus yang bekerja dalam lembaga politik.

Mereka juga kasak-kusuk ke atas dalam rangka menemukan legalitas ataupun legitimasi . Tak lupa membangun kedekatan dengan kelompok mahasiswa sebagai pressure group. Selain itu membangun citra negatif rival. Bahkan kalau perlu menempuh upaya hukum atau mengadu kepada pejabat hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar