Kamis, 17 Juli 2014

Minggirlah, Jangan Menghalangi Matahari

Minggirlah, Jangan Menghalangi Matahari

Tatang Mahardika  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS,  16 Juli 2014
                                                


SIAPA pemain terbaik yang pernah membela tim nasional (timnas) Jerman? Pertanyaan itu pernah diajukan kepada Mario Goetze dalam sebuah kesempatan tanya jawab dengan fans yang diorganisasi DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) melalui Facebook dan Twitter menjelang Euro 2012.

Goetze pun mantap menyebut Lothar Matthaeus. ’’Tapi, sebentar, Franz Beckenbauer. Tidak, tidak, keduanya. Saya terkesan dengan mobilitas Matthaeus dan kepiawaian dia membaca pertandingan. Saya juga mengagumi keeleganan dan kecerdasan Beckenbauer,’’ jelas Goetze.

Dalam kesempatan yang berbeda, bisa jadi jawaban yang dilontarkan Goetze bakal tidak sama. Mungkin dia akan menyebut Stefan Effenberg, bisa juga Andreas Moeller, atau mungkin Thomas Haessler.

Begitu banyak kemungkinan. Begitu banyak pula pilihan. Maklum, Goetze yang baru berusia 22 tahun itu lahir dan besar di sebuah negara dengan sejarah sepak bola yang hebat. Jerman adalah negara yang paling sering lolos ke final Piala Dunia dan koleksi gelar Piala Eropa-nya terbanyak di Benua Biru bersama Spanyol.

Jadilah, narasi mereka tentang kepahlawanan lapangan hijau tercecer di setiap ceruk zaman. Nyaris tidak ada satu dekade pun, sejak lebih dari setengah abad silam, yang berlalu tanpa satu nama menonjol dari Jerman.

Dalam era ketika Mighty Magyars Hungaria dikagumi di mana-mana pada 1950-an, Jerman sudah punya Fritz Walter. Beckenbauer telah melambung saat Pele mempersembahkan gelar juara dunia ketiga bagi Brasil pada 1970. Juergen Klinsmann telah pula menjadi andalan skuad Die Mannschaft –julukan timnas Jerman– di Piala Dunia 1990 yang menghentikan Argentina-nya Diego Maradona pada final.

Daftar itu masih bisa berderet panjang, sangat panjang: Gerd Mueller, Paul Breitner, Karl-Heinz Rummenigge, Pierre Litbarski, Rudi Voeller, Matthias Sammer, Stefan Reuter, Michael Ballack....

Tetapi, bersamaan dengan nama besar dan reputasi hebat tersebut, datanglah tanggung jawab yang berat. Masa lalu Jerman di lapangan hijau itu tidak ubahnya Aleksander Agung yang membuat orang-orang di sekitar terlihat kecil. Di bawah bayang-bayang kebesaran penguasa yang di nisannya tertulis ’’Luasnya dunia tak pernah cukup baginya’’ tersebut, siapa saja bakal mengalami kesulitan untuk sekadar melihat matahari.

Setiap generasi pemain Jerman dan pelatih yang menangani mereka menanggung beban seperti itu. Mereka tahu, sekadar lolos ke final dalam sebuah major tournament tidak cukup.

Pasukan Rudi Voeller disambut dingin sepulang mereka dari Korea-Jepang 2002 dengan status runner-up. Menjadi finalis di Euro 2008 dan peringkat ketiga Piala Dunia 2010 juga hanya memberikan perpanjangan waktu kontrak kepada Joachim Loew.

Padahal, Loew sejak masih menjadi asisten Klinsmann termasuk pionir yang menggagas ’’Schland’’ di lapangan hijau. Schland, diambil dari Deutschland, adalah simbol Jerman baru. Jerman yang memeluk erat multiralisme, Jerman yang tidak lagi semata-mata tentang ’’efisiensi’’.

Dengan Schland, tulis Christian Thiele di Foreign Policy, Jerman tidak ingin lagi diidentikan sebagai negara yang hanya berisi barikade panser. Melainkan, negara yang orang-orangnya bisa ramah dan siap bersenang-senang setiap saat. Entah untuk sekadar makan pasta Italia atau mencicipi anggur Prancis.

Di lapangan hijau, Schland itu bisa diterjemahkan sebagai Die Mannschaft yang bangga menurunkan pemain-pemain bernama belakang Klose, Khedira, Mustafi, atau Boateng. Die Mannschaft yang berani mengambil inisiatif dan risiko untuk menyerang, tidak sekadar memegang teguh mantra ’’yang penting tak kebobolan’’.

Tetapi, betapa tidak mudah. Yang terdengar di sana-sini adalah Franz Beckenbauer yang tidak puas dengan pemain ini; Paul Breitner yang mengkritik gaya permainan itu; Karl-Heinz Rummenigge yang menyarankan ini; atau Gerd Mueller yang memprotes itu.

Nama-nama besar yang suaranya tidak mungkin ditampik begitu saja. Para ’’Aleksander Agung’’ yang memiliki semacam privilege untuk berbicara kapan saja mereka mau karena terbukti sudah ’’menaklukkan sekian luas wilayah’’.

Beban makin berat bagi Loew lantaran generasi yang ditangani merupakan hasil perombakan pembinaan muda oleh DFB pasca-Euro 2000. Sebuah proyek raksasa yang menelan biaya sampai 1 miliar euro (sekitar Rp 15,9 triliun).

Karena itulah, Loew memilih menepikan pasukannya di Santo Andre, Bahia, yang hanya bisa dicapai dengan menaiki feri. Dia membatasi kontak dan komunikasi dengan dunia luar. Sebab, Loew ingin Philipp Lahm dkk berkonsentrasi penuh kepada alasan utama mereka berada di Negeri Samba: merebut gelar.

Karena itu pula, tidak ada selebrasi yang berlebihan dari Loew dan para penggawanya setelah membantai Brasil 7-1 dalam semifinal. Kerja belum selesai. Mereka belum ’’melihat matahari’’.

Baru di Maracana pada Senin dini hari (14/7) lalu, perjuangan panjang yang melelahkan itu mencapai garis finis. Argentina ditaklukkan di partai puncak. Schland, si Jerman baru, tegak di hadapan Deutschland, si Jerman lama.

Loew dan pasukannya kini bisa dengan santai menempatkan diri mereka sebagai Diogenes, filsuf fakir di Korintha, Yunani. Syahdan, sebagaimana dikutip dalam salah satu Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, Aleksander Agung suatu hari menghampiri Diogenes yang tengah berbaring di pinggir jalan.

’’Aku Aleksander Agung,’’ ujar si raja diraja memperkenalkan diri. ’’Ada sesuatu yang ingin kau minta?’’

Diogenes, sembari tetap berbaring, dengan santai menjawab, ’’Minggirlah, jangan menghalangi matahari’’. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar