Minggirlah,
Jangan Menghalangi Matahari
Tatang Mahardika ;
Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 16 Juli 2014
SIAPA
pemain terbaik yang pernah membela tim nasional (timnas) Jerman? Pertanyaan
itu pernah diajukan kepada Mario Goetze dalam sebuah kesempatan tanya jawab
dengan fans yang diorganisasi DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) melalui
Facebook dan Twitter menjelang Euro 2012.
Goetze
pun mantap menyebut Lothar Matthaeus. ’’Tapi, sebentar, Franz Beckenbauer.
Tidak, tidak, keduanya. Saya terkesan dengan mobilitas Matthaeus dan
kepiawaian dia membaca pertandingan. Saya juga mengagumi keeleganan dan
kecerdasan Beckenbauer,’’ jelas Goetze.
Dalam
kesempatan yang berbeda, bisa jadi jawaban yang dilontarkan Goetze bakal
tidak sama. Mungkin dia akan menyebut Stefan Effenberg, bisa juga Andreas
Moeller, atau mungkin Thomas Haessler.
Begitu
banyak kemungkinan. Begitu banyak pula pilihan. Maklum, Goetze yang baru
berusia 22 tahun itu lahir dan besar di sebuah negara dengan sejarah sepak
bola yang hebat. Jerman adalah negara yang paling sering lolos ke final Piala
Dunia dan koleksi gelar Piala Eropa-nya terbanyak di Benua Biru bersama
Spanyol.
Jadilah,
narasi mereka tentang kepahlawanan lapangan hijau tercecer di setiap ceruk
zaman. Nyaris tidak ada satu dekade pun, sejak lebih dari setengah abad
silam, yang berlalu tanpa satu nama menonjol dari Jerman.
Dalam
era ketika Mighty Magyars Hungaria dikagumi di mana-mana pada 1950-an, Jerman
sudah punya Fritz Walter. Beckenbauer telah melambung saat Pele
mempersembahkan gelar juara dunia ketiga bagi Brasil pada 1970. Juergen
Klinsmann telah pula menjadi andalan skuad Die Mannschaft –julukan timnas
Jerman– di Piala Dunia 1990 yang menghentikan Argentina-nya Diego Maradona
pada final.
Daftar
itu masih bisa berderet panjang, sangat panjang: Gerd Mueller, Paul Breitner,
Karl-Heinz Rummenigge, Pierre Litbarski, Rudi Voeller, Matthias Sammer,
Stefan Reuter, Michael Ballack....
Tetapi,
bersamaan dengan nama besar dan reputasi hebat tersebut, datanglah tanggung
jawab yang berat. Masa lalu Jerman di lapangan hijau itu tidak ubahnya
Aleksander Agung yang membuat orang-orang di sekitar terlihat kecil. Di bawah
bayang-bayang kebesaran penguasa yang di nisannya tertulis ’’Luasnya dunia
tak pernah cukup baginya’’ tersebut, siapa saja bakal mengalami kesulitan
untuk sekadar melihat matahari.
Setiap
generasi pemain Jerman dan pelatih yang menangani mereka menanggung beban
seperti itu. Mereka tahu, sekadar lolos ke final dalam sebuah major
tournament tidak cukup.
Pasukan
Rudi Voeller disambut dingin sepulang mereka dari Korea-Jepang 2002 dengan
status runner-up. Menjadi finalis di Euro 2008 dan peringkat ketiga Piala
Dunia 2010 juga hanya memberikan perpanjangan waktu kontrak kepada Joachim
Loew.
Padahal,
Loew sejak masih menjadi asisten Klinsmann termasuk pionir yang menggagas
’’Schland’’ di lapangan hijau. Schland, diambil dari Deutschland, adalah
simbol Jerman baru. Jerman yang memeluk erat multiralisme, Jerman yang tidak
lagi semata-mata tentang ’’efisiensi’’.
Dengan
Schland, tulis Christian Thiele di Foreign
Policy, Jerman tidak ingin lagi diidentikan sebagai negara yang hanya
berisi barikade panser. Melainkan, negara yang orang-orangnya bisa ramah dan
siap bersenang-senang setiap saat. Entah untuk sekadar makan pasta Italia
atau mencicipi anggur Prancis.
Di
lapangan hijau, Schland itu bisa diterjemahkan sebagai Die Mannschaft yang bangga menurunkan pemain-pemain bernama
belakang Klose, Khedira, Mustafi, atau Boateng. Die Mannschaft yang berani mengambil inisiatif dan risiko untuk
menyerang, tidak sekadar memegang teguh mantra ’’yang penting tak
kebobolan’’.
Tetapi,
betapa tidak mudah. Yang terdengar di sana-sini adalah Franz Beckenbauer yang
tidak puas dengan pemain ini; Paul Breitner yang mengkritik gaya permainan
itu; Karl-Heinz Rummenigge yang menyarankan ini; atau Gerd Mueller yang
memprotes itu.
Nama-nama
besar yang suaranya tidak mungkin ditampik begitu saja. Para ’’Aleksander
Agung’’ yang memiliki semacam privilege untuk berbicara kapan saja mereka mau
karena terbukti sudah ’’menaklukkan sekian luas wilayah’’.
Beban
makin berat bagi Loew lantaran generasi yang ditangani merupakan hasil
perombakan pembinaan muda oleh DFB pasca-Euro 2000. Sebuah proyek raksasa
yang menelan biaya sampai 1 miliar euro (sekitar Rp 15,9 triliun).
Karena
itulah, Loew memilih menepikan pasukannya di Santo Andre, Bahia, yang hanya
bisa dicapai dengan menaiki feri. Dia membatasi kontak dan komunikasi dengan
dunia luar. Sebab, Loew ingin Philipp Lahm dkk berkonsentrasi penuh kepada
alasan utama mereka berada di Negeri Samba: merebut gelar.
Karena
itu pula, tidak ada selebrasi yang berlebihan dari Loew dan para penggawanya
setelah membantai Brasil 7-1 dalam semifinal. Kerja belum selesai. Mereka
belum ’’melihat matahari’’.
Baru
di Maracana pada Senin dini hari (14/7) lalu, perjuangan panjang yang
melelahkan itu mencapai garis finis. Argentina ditaklukkan di partai puncak.
Schland, si Jerman baru, tegak di hadapan Deutschland, si Jerman lama.
Loew
dan pasukannya kini bisa dengan santai menempatkan diri mereka sebagai
Diogenes, filsuf fakir di Korintha, Yunani. Syahdan, sebagaimana dikutip
dalam salah satu Catatan Pinggir Goenawan Mohamad, Aleksander Agung suatu
hari menghampiri Diogenes yang tengah berbaring di pinggir jalan.
’’Aku
Aleksander Agung,’’ ujar si raja diraja memperkenalkan diri. ’’Ada sesuatu
yang ingin kau minta?’’
Diogenes,
sembari tetap berbaring, dengan santai menjawab, ’’Minggirlah, jangan
menghalangi matahari’’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar