Sabtu, 12 Juli 2014

Menimbang Investasi Asing Pasca-Pilpres 2014

          Menimbang Investasi Asing Pasca-Pilpres 2014

Ivan A Hadar  ;   Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe);
Ketua Badan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ )
KORAN SINDO, 10 Juli 2014
                                                


Saat ini penanaman modal di Indonesia diatur dengan UU Nomor 25 Tahun 2007, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya atau berpatungan dengan modal dalam negeri.

Selain investasi portofolio melalui pasar modal dengan instrumen surat berharga seperti saham dan obligasi, terdapat pula apa yang disebut foreign direct investment (FDI) dengan cara membangun, membeli total, atau mengakuisisi perusahaan. Ketika diwawancara Larry King dari CNN dalam acara konferensi global yang diselenggarakan Miken Institute di Los Angeles, 28 April-1 Mei 2013, orang terkaya dunia versi Forbes, Carlos Slim, menyatakan investasi paling menarik di dunia saat ini adalah Amerika Latin dan Indonesia.

Menurutnya, ”Bagi investor asing, Indonesia adalah surga bagi sektor portofolio dan FDI.” Bagi Indonesia, investasi dalam bentuk FDI umumnya dianggap memiliki dampak positif. Sejak dua-tiga dekade terakhir, berbarengan dengan penurunan jumlah overseas development assistance (ODA) yaitu utang berbunga rendah yang menjadi sumber utama dana pembangunan di banyak negara berkembang, terjadi peningkatan drastis FDI.

Ketika dana publik untuk pembiayaan pembangunan tidak mencukupi menjadi perlu untuk mencarikan alternatif pendanaan dari sumber lain. Dalam kaitan ini, oleh banyak pihak, FDI dianggap paling bermanfaat dari segi kebijakan pembangunan. Dalam kondisi ideal sebuah perusahaan asing yang melakukan investasi di negara berkembang memuluskan transfer teknologi, membuka lapangan kerja, menstimulasi industri, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Diyakini bahwa FDI, selain tidak meningkatkan utang luar negeri, juga tidak mudah hengkang saat krisis. Dalam New Horizons for Foreign Direct Investment (OECD, 2002) Michael Klein dari Bank Dunia bahkan menyebut FDI adalah alat terampuh memerangi kemiskinan. Karena itu, aturan yang mensyaratkan investor asing agar bekerja sama dengan pemasok dalam negeri dianjurkan dihapus.

Hal yang sama terkait regulasi yang mensyaratkan sebanyak mungkin menggunakan produk lokal, menghindari impor bahan baku untuk produksi. Penghapusan berbagai aturan tersebut konon telah meningkatkan pertumbuhan ekspor perusahaan mobil asing yang beroperasi secara tajam. Namun, suara yang tidak sependapat dan bertanya siapa yang diuntungkan dari pertumbuhan tersebut perlu menjadi pertimbangan. Investor asing biasanya lebih tertarik di sektor perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur.

 Selain padat modal, dampak lingkungannya juga terbilang berat. Begitu pula dengan dampak pemutusan hubungan kerja dengan pemasok dan perusahaan lokal. Lalu, apa pula pengaruhnya terhadap lapangan kerja dalam negeri. Semua pertanyaan yang jawabannya diperlukan sebagai bahan analisis bagi kebijakan pembangunan.

Bob Woodword dalam bukunya, The Next Crisis? Direct and Equity Investment in Developing Countries (2001), mengingatkan bahwa FDI jarang membawa berkah. Seringkali arus modal yang masuk bersamaan dengan FDI jauh lebih kecil dibandingkan arus ke luar.

Kondisi tersebut terkait erat dengan transfer keuntungan ke luar negeri dan pengeluaran impor yang dibutuhkan untuk produksi. Bagi Woodword, FDI bahkan bisa menyebabkan defisitnya neraca anggaran belanja sebuah negara dan dengan demikian sebenarnya ikut mempertajam krisis utang luar negeri.

Liberalisasi dan FDI di Indonesia

Dalam UU Penanaman Modal pertama (No 1/1967), beberapa bidang usaha dilarang dimasuki oleh modal asing. Pelabuhan, pembangkitan dan transmisi listrik, telekomunikasi, pendidikan, penerbangan, air minum, KA, tenaga nuklir, dan media massa dikategorikan sebagai bidang usaha yang bernilai strategis bagi negara dan kehidupan sehari-hari rakyat banyak yang seharusnya tidak boleh dipengaruhi pihak asing (Pasal 6 ayat 1).

Setahun kemudian, UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUNo 6/1968) menyebut:”Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51% daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara dan/atau, swasta nasional” (Pasal 3 ayat 1). Dengan kata lain, pemodal asing hanya boleh memiliki modal sebanyak- banyaknya 49% dalam sebuah perusahaan.

Namun, pada 1994 Pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan pemerintah yang menjamin investor asing bisa memiliki hingga 95% saham perusahaan yang bergerak dalam bidang ”... pelabuhan; produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi; penerbangan, pelayaran, KA; air minum, pembangkit tenaga nuklir; dan media masa” (PP No 20/1994 Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1).

Pada International Infrastructure Summit (17/1/2005) dan BUMN Summit (25-26/1/ 2005) diputuskan secara eksplisit bahwa seluruh proyek infrastruktur dibuka bagi investor asing untuk mendapatkan keuntungan tanpa perkecualian. Pembatasan hanya akan tercipta dari kompetisi antarperusahaan. Pemerintah juga menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing yang beroperasi di Indonesia.

BUMN Summitmenyatakan dengan jelas bahwa seluruh BUMN bisa dijual pada sektor privat. Dengan kata lain, tak akan ada lagi barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Pada masa depan seluruh barang dan jasa bagi publik akan menjadi barang dan jasa yang bersifat komersial yang penyediaannya murni karena motif untuk mendapatkan laba.

National Summit atau Rembuk Nasional yang digelar pada 29-31 Oktober 2009 antara lain bermaksud ”menyapu bersih” berbagai peraturan yang dianggap menghambat tercapai target pertumbuhan ekonomi 7- 8% pada 2014 (Kompas, 29/10/2009). Di satu sisi, demi efisiensi dan good governance, banyak pihak yang mendukung maksud tersebut.

Namun di sisi lain, suara kritis mencemaskan bahwa semua kebijakan dan keputusan dari beberapa pertemuan puncak tersebut menunjukkan bahwa proses liberalisasi sedang berlangsung di semua sektor di Indonesia. Dorongan untuk meningkatkan FDI di Indonesia dirasa telah menyingkirkan berbagai ayat dalam UUD 1945 yang bermaksud melindungi barang dan jasa publik yang bersifat strategis.

Ketika menerapkan demokrasi terpimpin, Bung Karno pernah menolak masuknya modal asing dan bantuan luar negeri sebelum Indonesia membuka diri lewat UU Nomor 1 Tahun 1967 pada zaman Orde Baru. Dua calon presiden saat ini terlihat mengidolakan Bung Karno meski mencermati perkembangan yang ada tidak mungkin mengikuti kebijakan drastis Bung Karno tersebut.

Namun, setidaknya siapa pun yang terpilih sebagai presiden perlu mengembalikan semangat kemandirian ekonomi yang termaktub dalam ayat-ayat UUD 1945 yang telah diamendemen. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar