Menimbang Investasi
Asing Pasca-Pilpres 2014
Ivan A Hadar ; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe);
Ketua Badan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ )
|
KORAN
SINDO, 10 Juli 2014
Saat ini penanaman modal di Indonesia diatur dengan UU Nomor 25 Tahun
2007, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya atau berpatungan dengan
modal dalam negeri.
Selain investasi portofolio melalui pasar modal dengan instrumen surat
berharga seperti saham dan obligasi, terdapat pula apa yang disebut foreign
direct investment (FDI) dengan cara membangun, membeli total, atau
mengakuisisi perusahaan. Ketika diwawancara Larry King dari CNN dalam acara
konferensi global yang diselenggarakan Miken Institute di Los Angeles, 28
April-1 Mei 2013, orang terkaya dunia versi Forbes, Carlos Slim, menyatakan
investasi paling menarik di dunia saat ini adalah Amerika Latin dan Indonesia.
Menurutnya, ”Bagi investor asing,
Indonesia adalah surga bagi sektor portofolio dan FDI.” Bagi Indonesia,
investasi dalam bentuk FDI umumnya dianggap memiliki dampak positif. Sejak
dua-tiga dekade terakhir, berbarengan dengan penurunan jumlah overseas development assistance (ODA)
yaitu utang berbunga rendah yang menjadi sumber utama dana pembangunan di
banyak negara berkembang, terjadi peningkatan drastis FDI.
Ketika dana publik untuk pembiayaan pembangunan tidak mencukupi menjadi
perlu untuk mencarikan alternatif pendanaan dari sumber lain. Dalam kaitan
ini, oleh banyak pihak, FDI dianggap paling bermanfaat dari segi kebijakan
pembangunan. Dalam kondisi ideal sebuah perusahaan asing yang melakukan
investasi di negara berkembang memuluskan transfer teknologi, membuka
lapangan kerja, menstimulasi industri, serta meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Diyakini bahwa FDI, selain tidak meningkatkan utang luar negeri, juga
tidak mudah hengkang saat krisis. Dalam New
Horizons for Foreign Direct Investment (OECD, 2002) Michael Klein dari Bank Dunia bahkan menyebut FDI
adalah alat terampuh memerangi kemiskinan. Karena itu, aturan yang
mensyaratkan investor asing agar bekerja sama dengan pemasok dalam negeri
dianjurkan dihapus.
Hal yang sama terkait regulasi yang mensyaratkan sebanyak mungkin
menggunakan produk lokal, menghindari impor bahan baku untuk produksi.
Penghapusan berbagai aturan tersebut konon telah meningkatkan pertumbuhan
ekspor perusahaan mobil asing yang beroperasi secara tajam. Namun, suara yang
tidak sependapat dan bertanya siapa yang diuntungkan dari pertumbuhan
tersebut perlu menjadi pertimbangan. Investor asing biasanya lebih tertarik
di sektor perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur.
Selain padat modal, dampak
lingkungannya juga terbilang berat. Begitu pula dengan dampak pemutusan
hubungan kerja dengan pemasok dan perusahaan lokal. Lalu, apa pula
pengaruhnya terhadap lapangan kerja dalam negeri. Semua pertanyaan yang
jawabannya diperlukan sebagai bahan analisis bagi kebijakan pembangunan.
Bob Woodword dalam bukunya, The
Next Crisis? Direct and Equity Investment in Developing Countries (2001),
mengingatkan bahwa FDI jarang membawa berkah. Seringkali arus modal yang
masuk bersamaan dengan FDI jauh lebih kecil dibandingkan arus ke luar.
Kondisi tersebut terkait erat dengan transfer keuntungan ke luar negeri
dan pengeluaran impor yang dibutuhkan untuk produksi. Bagi Woodword, FDI
bahkan bisa menyebabkan defisitnya neraca anggaran belanja sebuah negara dan
dengan demikian sebenarnya ikut mempertajam krisis utang luar negeri.
Liberalisasi
dan FDI di Indonesia
Dalam UU Penanaman Modal pertama (No 1/1967), beberapa bidang usaha
dilarang dimasuki oleh modal asing. Pelabuhan, pembangkitan dan transmisi
listrik, telekomunikasi, pendidikan, penerbangan, air minum, KA, tenaga
nuklir, dan media massa dikategorikan sebagai bidang usaha yang bernilai
strategis bagi negara dan kehidupan sehari-hari rakyat banyak yang seharusnya
tidak boleh dipengaruhi pihak asing (Pasal 6 ayat 1).
Setahun kemudian, UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUNo 6/1968)
menyebut:”Perusahaan nasional adalah perusahaan yang sekurang-kurangnya 51%
daripada modal dalam negeri yang ditanam di dalamnya dimiliki oleh negara
dan/atau, swasta nasional” (Pasal 3 ayat 1). Dengan kata lain, pemodal asing
hanya boleh memiliki modal sebanyak- banyaknya 49% dalam sebuah perusahaan.
Namun, pada 1994 Pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan pemerintah
yang menjamin investor asing bisa memiliki hingga 95% saham perusahaan yang
bergerak dalam bidang ”... pelabuhan;
produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum; telekomunikasi;
penerbangan, pelayaran, KA; air minum, pembangkit tenaga nuklir; dan media
masa” (PP No 20/1994 Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 5 ayat 1).
Pada International Infrastructure
Summit (17/1/2005) dan BUMN Summit
(25-26/1/ 2005) diputuskan secara eksplisit bahwa seluruh proyek
infrastruktur dibuka bagi investor asing untuk mendapatkan keuntungan tanpa
perkecualian. Pembatasan hanya akan tercipta dari kompetisi antarperusahaan.
Pemerintah juga menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada perbedaan
perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing yang beroperasi di
Indonesia.
BUMN Summitmenyatakan dengan jelas bahwa seluruh BUMN bisa dijual pada
sektor privat. Dengan kata lain, tak akan ada lagi barang dan jasa yang
disediakan oleh pemerintah dengan biaya murah yang disubsidi dari pajak. Pada
masa depan seluruh barang dan jasa bagi publik akan menjadi barang dan jasa
yang bersifat komersial yang penyediaannya murni karena motif untuk
mendapatkan laba.
National Summit atau Rembuk Nasional yang digelar pada 29-31 Oktober
2009 antara lain bermaksud ”menyapu bersih” berbagai peraturan yang dianggap
menghambat tercapai target pertumbuhan ekonomi 7- 8% pada 2014 (Kompas, 29/10/2009). Di satu sisi,
demi efisiensi dan good governance,
banyak pihak yang mendukung maksud tersebut.
Namun di sisi lain, suara kritis mencemaskan bahwa semua kebijakan dan
keputusan dari beberapa pertemuan puncak tersebut menunjukkan bahwa proses
liberalisasi sedang berlangsung di semua sektor di Indonesia. Dorongan untuk
meningkatkan FDI di Indonesia dirasa telah menyingkirkan berbagai ayat dalam
UUD 1945 yang bermaksud melindungi barang dan jasa publik yang bersifat
strategis.
Ketika menerapkan demokrasi terpimpin, Bung Karno pernah menolak
masuknya modal asing dan bantuan luar negeri sebelum Indonesia membuka diri
lewat UU Nomor 1 Tahun 1967 pada zaman Orde Baru. Dua calon presiden saat ini
terlihat mengidolakan Bung Karno meski mencermati perkembangan yang ada tidak
mungkin mengikuti kebijakan drastis Bung Karno tersebut.
Namun, setidaknya siapa pun yang terpilih sebagai presiden perlu
mengembalikan semangat kemandirian ekonomi yang termaktub dalam ayat-ayat UUD
1945 yang telah diamendemen. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar