Bangsa
Indonesia Bangsa Besar
Hajriyanto Y Thohari ; Wakil Ketua MPR RI
|
KORAN
SINDO, 10 Juli 2014
KOLOM ini dimulai dengan pertanyaan mengapa bangsa-bangsa jajahan tertinggal dan bangsa-bangsa pewaris imperium besar tetap saja menjadi bangsa yang paling maju dan berkuasa di dunia baik politik, militer, ekonomi, maupun peradaban?
Bangsa-bangsa Barat de facto tetap menjadi penguasa dunia sampai
sekarang ini. Dulu mereka menguasai dunia dengan kolonialisme dan
imperialisme, sekarang tetap juga "menguasai” dunia melalui modus lain
yang lebih canggih. Penguasaan tentu hanya bisa dilakukan oleh bangsa-bangsa
yang kuat (strong nation), percaya
diri, dan selalu punya pemimpin dengan mental penakluk (conqueror).
Jika tidak dengan kualifikasi demikian, rasanya mustahil mereka
berhasil memosisikan negara-negara lain di bawah kendali kekuasaannya selama
berabad-abad. Bangsa-bangsa jajahan sebaliknya dikenal, meminjam istilah
Gunnar Myrdal dalam Asian Drama, sebagai soft nation, bangsa yang lembek!
Sebagai bangsa yang mengalami penjajahan -mitos atau realitas- 350 tahun,
bangsa Indonesia ditengarai oleh banyak pihak sebagai mengidap mentalitas
inlander.
Novel-novel Pramudya Ananta Toer rasanya banyak mengangkat tema-tema
ini: bangsa yang dituding -dan menuding dirinya– sebagai bangsa yang tanpa
rasa kepercayaan diri yang kuat, inlander, dan bermental kalah. Anehnya,
setelah satu setengah dasawarsa reformasi pun ternyata kita masih berjalan di
tempat. Rasa percaya diri kita sebagai bangsa terus merosot. Buktinya, kita
malah semakin suka memperolok diri sendiri ketika bicara tentang kemajuan
bangsa lain.
Kita
Mestinya Bisa
Tetapi, apakah benar kita tidak bisa menjadi bangsa yang besar? Dulu kita
memang negara jajahan dan menjadi bangsa pecundang. Tetapi, kini kita
meyakini bahwa negara kita ini benar-benar negara besar alias gede banget.
Karena itu, kita mestinya bisa menjadi bangsa yang maju dan kuat. Bangsa ini
hanya memerlukan pemimpin yang hebat dengan mentalitas conqueror.
Pemimpin yang percaya diri dan mampu membuat bangsa ini percaya diri
pula. Quails rex talis grex, demikian rajanya atau pemimpinnya, demikian pula
rakyatnya! Jika pemimpinnya lembek, madek mangu, dan pecundang, demikianlah
pula rakyatnya. Regis ed exemplar,
melalui teladan pemimpin masyarakat diarahkan! Para founding fathers kita
mewariskan marwah bangsa yang kuat dan bermartabat.
Mereka mewarisi darma cinta, ilmu pengetahuan, dan militansi–tiga darma
yang oleh Alain Badiou disebut sebagai syarat mutlak bagi setiap individu
dalam memajukan sebuah peradaban. Mereka adalah figur-figur saleh yang penuh
cinta terhadap bangsa, ilmu pengetahuan, dan militansi demi tegaknya Merah
Putih di Kepulauan Nusantara. Mereka mengenal bangsa ini, sebagaimana mereka
mengenal dan mencintai diri mereka sendiri.
Dengan pengetahuan, mereka merasa sederajat dengan bangsa lain, pun
dengan seorang kolonial! Spirit mereka bagaikan pasukan Sparta yang berperang
melawan tentara Persia. Militansi yang tak lekang oleh zaman. Sikap mental
begitu penting bagi republik ini sehingga proyek kebangsaan pertama yang
digemakan oleh Presiden Soekarno adalah nation and character building.
Soekarno jeli melihat, kemerdekaan politik dan ekonomi hanyalah
prasyarat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Tetapi, dua hal
itu tidak akan berarti jika bangsa Indonesia yang tergerus mentalitas jajahan
selama tiga setengah abad tidak memiliki karakter dan jati diri bangsa yang
kuat. Kecemasan Soekarno dan para pendahulu bangsa ini mengenai perlunya
karakter dan jati diri bangsa juga kita rasakan.
Kita sesungguhnya adalah bangsa besar yang mempunya watak kuat. Kita
mempunyai tradisi politik, ekonomi, dan sosial yang besar. Kita pernah
mempunyai sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara yang disegani dan
dikagumi dunia karena memiliki peran strategis dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, agama, dan keamanan. Kita juga mewarisi peradaban Atlantis jika kita
bersetuju dengan tesis dan temuan Prof Aryos Santos dari Brasil itu. Singkat
kata, kita tak boleh merasa rendah diri, minder, malu, dan merasa tak
sederajat dengan bangsa-bangsa lain.
Kita tak boleh mengutuk diri dalam kesendirian dan kebodohan. Kita
adalah bangsa berperadaban besar dan berkemajuan. Nenek moyang kita
mewariskan keteladanan berupa rasa percaya diri (self confidence) dan percaya pada orang lain (trust) yang notabene adalah dua
karakter dasar bagi suatu bangsa untuk menuju kejayaan peradaban. Dua hal
inilah yang harus kita raih dan miliki kembali. Sejarah modern bangsa
Indonesia sebenarnya juga bergelimang prestasi.
Kita tengok anak-anak SMA kita yang meraih penghargaan dan medali
internasional dalam bidang sains dan teknologi, menyabet emas olimpiade
fisika mengalahkan Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Prancis, dan
negara-negara maju lain. Anak-anak Indonesia banyak pula yang berprestasi di
kampus-kampus bergengsi di seluruh dunia. Mereka membuktikan bahwa bangsa
kita bangsa besar yang mempunyai prestasi.
Hidupkan
Cahaya Peradaban
Kita harus melawan stigma yang tertempel di jidat kita bahwa bangsa
Indonesia berkelas sudra yang tak piawai mencapai peradaban dan keadaban
tinggi. Kishore Mahbubani dalam bukunya Can
Asians Think? secara tegas mengatakan bahwa bangsa Asia termasuk
Indonesia memiliki asian values yang membantah mitos jika bangsa Asia itu
pemalas.
Kita ini, sebaliknya, adalah bangsa yang giat dan rajin bekerja, biasa
berkorban untuk sebuah mimpi dan cita-cita, tak pernah putus asa meski
kegagalan kadang menyapa. Selain itu, bangsa Indonesia juga bangsa muslim
terbesar di dunia yang dipengaruhi etos kerja Islam yang rasional, menghargai
waktu, dan berkeinginan untuk maju. Etos Islam pada dasarnya mirip dengan
spirit Protestantisme dan Calvinisme yang menjadi spirit kemajuan bangsa
Barat.
Pada dasarnya agama (Islam) mengajarkan kepada umatnya untuk menggapai ”kampung dunia" dan ”kampung akhirat” secara bersamaan.
Islam mengajarkan tauhid, keyakinan pada satu Tuhan, sekaligus amal saleh.
Seorang muslim yang beriman adalah seseorang yang menerjemahkan keyakinannya
pada pencapaian amal saleh melalui sedekah, zakat, dan infak. Itulah etos
Islam yang berkemajuan dan itulah subkultur sebagian besar rakyat Indonesia
yang bersifat dinamis dan gandrung pada kemajuan dunia untuk meraih surga di
akhirat kelak.
Penelitian Clifford Geertz di Mojokuto (Pare, Kediri) membuktikan bahwa
spirit dan etos kerja muslim pada hakikatnya adalah etos berkemajuan mirip
temuan Max Weber tentang etika Protestan di Eropa Barat. Dalam konteks dan
perspektif ini, yang mendesak untuk dilakukan adalah perubahan mentalitas
budaya masyarakat Indonesia yang tampaknya masih jauh dari –meminjam istilah
Plato– cahaya peradaban.
Bangsa Indonesia pada sejatinya memiliki semua prasyarat untuk maju dan
berkemajuan: pengalaman yang sangat kaya, sejarah bangsa yang besar, dan
berkali-kali jatuh bangun melakukan perubahan sistem politik dan ekonomi. Ini
semua seharusnya cukup untuk mendorong bangsa ini bergerak maju dengan
dinamis.
Hambatan kemajuan adalah dan hanyalah mentalitas feodalistik, minder,
serta hilangnya konfidensi dan trust.
Ini harus segera dipungkasi. Kita berharap demokrasi yang kini tengah mekar
dan memasuki era konsolidasi dapat mentransformasi mentalitas kebudayaan
bangsa yang kokoh dan berkarakter kuat yakni mentalitas rasional, tekun, dan
giat bekerja dalam mencapai kemajuan yang dilandasi prinsip cinta bangsa.
Kita selalu berdoa semoga presiden baru yang janji-janjinya luar biasa
hebat itu akan benar-benar mampu membawa bangsa Indonesia yang tengah berubah
ini menuju sebuah perubahan transformatif, berkemajuan, dan berkeadaban. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar