Senin, 14 Juli 2014

Kekuasaan, Anonimitas, Perasaan

                             Kekuasaan, Anonimitas, Perasaan

Donny Gahral Adian  ;   Dosen Filsafat Universitas Indonesia
KOMPAS, 14 Juli 2014
                                                


KEKUASAAN memiliki absurditasnya sendiri. Dia dikejar sekaligus dilecehkan. Dia kejahatan dan kebaikan dalam setarikan napas. Dia menggoda sekaligus menolak. Kendati demikian, pengejaran kekuasaan sudah seumur peradaban.

Di tengah hiruk-pikuk pengejaran terhadap dirinya, kekuasaan tidak pernah membuka sungguh-sungguh kedok yang menutupinya. Kita mendengar berbagai cerita mengenai kekuasaan, mulai dari yang membahagiakan sampai yang memilukan. Kita mendengar kisah seorang Musolini, Hitler, Mandela, Castro, dan Vaclav Havel. Artikel ini adalah salah satu upaya menyingkap kedok kekuasaan.

Kodrat kekuasaan

Konsep kekuasaan pada awalnya sangat bercorak teologis. Muasal kekuasaan adalah yang Ilahi sendiri. Kekuasaan duniawi bersumber pada adi-duniawi. Muasal adi-duniawi tersebut menjadi legitimasi politik dan moral sekaligus. Filsuf Augustinus, misalnya, menegaskan betapa keberlangsungan negara sangat bergantung pada pemerintahan yang bersandar pada ajaran Kristiani. Tersirat, Augustinus hendak mengatakan bahwa sumber atau muasal kekuasaan selain yang adi-duniawi niscaya a-moral.

Persoalannya, perang acap kali terjadi di antara negara-negara teokratis. Bukan hanya itu, negara-negara teokratis pun sering kali melakukan kejahatan terstruktur terhadap kemanusiaan. Di sini tampak jelas betapa batas teologis terhadap kekuasaan tidak selalu berarti batas moral.

Muasal teologis terhadap kekuasaan pun mendapatkan tantangan dari beberapa filsuf politik modern yang menyaksikan betapa kekuasaan macam itu sangat mudah diselewengkan. Niccolo Machiavelli, misalnya, justru menegaskan betapa muasal teologis dari kekuasaan justru membahayakan keselamatan negara.

Ketika seorang penguasa dibatasi kekuasaannya secara teologis, maka dia harus memerintah berdasarkan hukum Ilahi. Padahal, realitas politik yang ganas membutuhkan penguasa yang dapat mengesampingkan hukum Ilahi demi keselamatan negaranya. Di dalam dunia politik yang sarat pengkhianatan dan pemberontakan, hukum Ilahi tidak berlaku sama sekali. Seorang penguasa harus mampu menangkap peluang yang ada dengan memakai kecerdikan dan keberaniannya sendiri. Dengan demikian, bagi Machiavelli, kekuasaan harus disandarkan pada fondasi yang bercorak politis, bukan teologis.

Pikiran lain tentang kekuasaan dikemukakan filsuf Jean Bodin. Bodin merumuskan gagasannya tentang kekuasaan di tengah pertikaian berdarah antara kaum Protestan dan Katolik di Eropa. Sebab itu, bagi Bodin, kekuasaan adalah sebuah keniscayaan bagi ketertiban sosial. Bodin mengambil analogi kekuasaan di dalam keluarga. Dalam keluarga, kekuasaan bersemayam di satu orang saja, yakni ayah. Ayah berkuasa secara absolut atas istri dan anak-anaknya. Jika ada lebih dari satu penguasa dalam keluarga, maka tak ada ketertiban. Satu penguasa melarang, sementara yang lain memperbolehkan. Absennya kekuasaan tunggal dalam keluarga hanya akan menghasilkan disorder.

Kekuasaan yang tunggal sama artinya dengan kekuasaan yang absolut. Tidak
ada kekuasaan lain selain yang dimiliki sang penguasa. Kekuasaan diartikan sebagai kekuasaan terhadap bawahan. Kekuasaan yang dimiliki penguasa lebih besar dari rakyat yang dikuasainya. Kekuasaan adalah garis vertikal yang tegas dan tajam.

Penguasa yang berdaulat berdiri di atas dan di luar mereka yang dikuasainya. Kekuasaan yang dimiliki penguasa memungkinkannya membuat hukum bagi mereka yang dikuasainya tanpa persetujuan. Keputusan penguasa dalam membuat hukum tidak disandarkan pada patokan eksternal apa pun kecuali akal sehat dan niat baiknya sendiri.

Kekuasaan dan anonimitas

Pertanyaannya, dari mana kekuasaan yang begitu paripurna tersebut bermuasal? Bodin tidak menjelaskannya secara persis, bahkan terkesan kontradiktif. Sesekali dia menunjuk yang Ilahi sebagai sumber kekuasaan, tetapi tak jarang pula dia menyebut rakyat (people). Jika yang Ilahi adalah sumber kekuasaan, maka itu bertolak belakang dengan prinsip sekularisasi kekuasaan yang dikehendaki Bodin sendiri. Sementara, jika Bodin berkeras bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan, maka kekuasaan tidak mungkin absolut. Kekuasaan qua rakyat bercorak kontraktarian yang sekaligus berarti akuntabilitas. Penguasa yang berdaulat harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya pada rakyat sebagai sumber kekuasaannya.

Pikiran Bodin tentang muasal kekuasaan menyiratkan kontradiksi. Namun, saya menemukan sesuatu yang lain. Demokrasi tak senantiasa berbeda jalan dengan otoritarianisme. Kita kerap bertanya, ”Mengapa kekuasaan yang direbut secara demokratis dapat sewaktu-waktu menjelma otoriter sehingga kehilangan ’rasa iba’ terhadap orang banyak?” Kekuasaan dapat jadi sedemikian teknis dan konseptual sehingga tidak menyisakan ruang bagi ”keramahtamahan” atau solidaritas. Kekuasaan dapat sedemikian tertutup dan dingin sehingga memperlakukan manusia layaknya ”benda keras”, bukan ”kompleksitas”.

Kekuasaan dapat mengidap simtom ”hilangnya perasaan”. Itu disebabkan tak lain dan tak bukan oleh muasal kekuasaan itu sendiri, yakni ”orang banyak”. Kekuasaan bersumber dari sesuatu yang anonim. Sesuatu yang tak bernama, beralamat, dan berperasaan. Survei hanya menangkap pilihan bukan perasaan orang per orang. Akibatnya, kekuasaan pun kehilangan perasaan sebab bersibuk dengan angka dan bukan manusia. Kekuasaan yang bersumber pada anonimitas kehilangan apa yang saya sebut sebagai emotional objective. Dia yang berasal dari anonimitas akhirnya tak bertanggung jawab kepada siapa pun. Sebab, semua orang sama artinya dengan bukan siapa-siapa.

Kekuasaan dapat berubah total menjadi banal dan tak berperasaan. Dia kehilangan rasa iba. Ketika itu terjadi, kekuasaan memandang rakyat sebagai kerusakan kolateral belaka. Mereka yang tergusur akibat pembangunan jalan tol tak ubahnya muatan yang harus dibuang agar kapal dapat terus berlayar. Ini dapat menjangkiti siapa saja. Pemimpin yang baik tak terkecuali. Kebaikan adalah karakter personal. Dia tidak melekat pada kekuasaan sebagai organisasi. Kebaikan seorang pemimpin dapat sewaktu-waktu tergerus oleh banalitas kekuasaan.

Melawan banalitas

Penggenggam kekuasaan harus mampu melawan anonimitas dan banalitas kekuasaan. Sebab, keduanya mampu membuat seorang pemimpin kehilangan perasaan terhadap orang banyak. Begitu pemimpin berkuasa, dia segera menghadapi bahaya ”manajerialisasi”. Dia akan dibekuk oleh perkara administrasi dan birokrasi yang mampu membutakan mata hatinya terhadap kesukaran orang lain. Dia dipaksa untuk mengesampingkan perasaannya oleh kerja teknokrasi yang mirip mesin. Pemimpin akan menghadapi rakyatnya sebagai ”statistika”, bukan ”manusia”. Padahal, kerja pemimpin menurut hemat saya tak lain adalah ngopeni atine wong liyo (merawat hati orang lain).

Sebab itu, emotional objective perlu terus dihidupkan dalam setiap langkah kepemimpinan. Anonimitas kekuasaan perlu dilawan dengan mengubah rakyat jadi suatu yang konkret. Di depan pengurus Front Nasional, Bung Karno berpidato: ”Kita tuangkan suatu masyarakat yang mana tiap-tiap manusia Indonesia merasa bahagia, suatu masyarakat yang tiada seorang ibu menangis karena tidak dapat memberi air susu kepada anaknya.”

Bagi saya pribadi, ucapan Bung Karno itu lebih dari sekadar retorika panggung belaka. Ucapan beliau adalah perlawanan terhadap anonimitas kekuasaan yang mengasingkan. Semoga pemimpin baru mau belajar dari Bung Karno dan mengembalikan kodrat kekuasaan sebagai ngopeni atine wong liyo. Pemimpin orang-orang hidup, bukan benda mati. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar