Senin, 14 Juli 2014

Potret Pendapatan Petani

                                         Potret Pendapatan Petani

Iswadi  ;   Pemerhati Ketahanan Pangan Indonesia;
Alumnus University of Queensland, Australia
KOMPAS, 14 Juli 2014
                                                


BADAN Pusat Statistik baru saja merilis gambaran pendapatan petani terbaru yang dikumpulkan lewat Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013.

Dengan sampel 418.000 rumah tangga, diperoleh rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian sebesar Rp 2,2 juta per bulan atau Rp 550.000 per kapita per bulan (asumsi rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang). Rata-rata pendapatan tersebut dua kali lebih tinggi dibandingkan garis kemiskinan pedesaan sebesar Rp 286.000 (BPS, kondisi Maret 2014). Lalu, mengapa atribut miskin masih saja melekat pada profesi petani?

Jawabannya ada pada struktur pendapatan rumah tangga usaha pertanian yang belum sepenuhnya ditopang pendapatan dari usaha pertanian. Hanya Rp 1 juta per bulan atau Rp 250.000 per kapita per bulan saja yang berasal dari usaha pertanian. Artinya, petani Indonesia memang miskin jika hanya mengandalkan pendapatan dari usaha pertanian. Faktual, 63 persen petani mengandalkan hidupnya dari usaha pertanian.

Kian tak menarik

Akan tetapi, fenomena tersebut tidak terjadi pada semua petani. Petani usaha ikan hias, misalnya, dapat memperoleh penghasilan Rp 1 juta per kapita per bulan. Pendapatan yang sangat jauh dari garis kemiskinan. Secara umum, usaha budidaya ikan dan penangkapan ikan memang menjanjikan pendapatan yang cukup menarik.

Perlu diingat, yang memperoleh pendapatan menarik adalah nelayan usaha, bukan nelayan buruh. Usaha tanaman perkebunan terbilang cukup menarik, rata-rata pendapatan yang dapat diperoleh lebih dari Rp 400.000 per kapita per bulan.

Celakanya, rumah tangga usaha perikanan merupakan minoritas, hanya 4 persen dari total rumah tangga usaha pertanian. Sebagian besar (52 persen) rumah tangga pertanian di Indonesia mempunyai pendapatan utama dari usaha tanaman padi dan palawija dengan pendapatan Rp 228.000 per kapita per bulan. Artinya, sebagian besar petani hidup dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan.

Kurang menariknya pendapatan yang diperoleh dari usaha padi dan palawija telah memacu penurunan jumlah rumah tangga usaha produksi bahan makanan pokok tersebut. Dalam 10 tahun terakhir, rumah tangga usaha padi berkurang sebanyak 58.400 rumah tangga (0,41 persen). Begitu pula dengan jumlah rumah tangga usaha jagung dan kedelai yang berkurang masing-masing sebanyak 1,3 juta rumah tangga (20,40 persen) dan 314.800 rumah tangga (31,91 persen).

Fenomena yang sama terjadi pada usaha peternakan dan hortikultura. Dengan pendapatan yang dapat diperoleh rata-rata kurang dari Rp 400.000 per kapita per bulan, mendorong rumah tangga usaha peternakan dan hortikultura beralih ke usaha lain, penurunan masing-masing sebanyak 5,6 juta rumah tangga (30,26 persen) dan 6,3 juta rumah tangga (37,4 persen) selama dekade terakhir.

Usaha tanaman kelapa sawit dan karet masih menyimpan daya tarik dengan rata-rata pendapatan yang bisa diperoleh Rp 425.000 per kapita per bulan. Karena itu, jumlah rumah tangga usaha kelapa sawit dan karet bertambah masing-masing 779.900 (114,96 persen) dan 1,2 juta rumah tangga (71,67 persen).

Mencermati fenomena pendapatan usaha pertanian yang lemah daya tarik, ada bahaya mengancam ketahanan pangan Indonesia dalam bentuk coping strategy yang terpaksa harus dipilih petani. Lima strategi untuk menambah pendapatan petani dapat berupa intensifikasi, diversifikasi, ekstensifikasi, peningkatan off-farm income, dan migrasi atau keluar dari usaha pertanian. Dua strategi terakhir sangat berbahaya bagi kedaulatan pangan negeri ini.

Perlu dikampanyekan

Intensifikasi dan diversifikasi merupakan dua strategi yang harus dikampanyekan ke petani. Intensifikasi merupakan peningkatan produktivitas usaha pertanian yang sudah ada, baik secara fisik maupun finansial. Dalam hal ini mencakup produksi pangan, peternakan, dan kegiatan produktif lainnya. Sementara itu, diversifikasi merupakan upaya mengubah pola usaha yang sudah ada untuk meningkatkan pendapatan atau mengurangi ketakpastian pendapatan. Diversifikasi tak hanya berupa beralih pada usaha pertanian lain, tetapi juga peningkatan pendapatan dari on-farm processing dan usaha mendapatkan penghasilan tambahan dari lahan pertanian.

Ekstensifikasi pertanian melibatkan perluasan lahan usaha. Dalam konteks ini, luas lahan lebih mengacu pada penguasaan lahan, bukan kepemilikan. Di Indonesia, hal ini masih dapat dilakukan dengan usaha pemanfaatan lahan-lahan kering, lahan tidur, ataupun lahan dengan sistem pengairan yang rusak. Ide lain adalah melakukan konsolidasi lahan. Petani-petani dengan penguasaan lahan kecil berkonsolidasi dengan menggabungkan lahannya jadi lahan usaha yang lebih luas. 
Dengan demikian, skala usaha jauh lebih besar, biaya mengecil, dan keuntungan serta pendapatan bisa lebih stabil. Dalam hal ini dibutuhkan keseriusan pemerintah daerah untuk selalu menjadi koordinator.

Jurus petani yang harus diwaspadai adalah peningkatan pendapatan dengan bekerja pada sektor informal, seperti jasa dan perdagangan. Banyak petani melakukan ini secara musiman saat usaha pertanian tak banyak memerlukan tenaga manusia. Seyogianya hal ini dihindari. Tenaga yang ada lebih baik dikerahkan untuk peningkatan produktivitas usaha pertanian, misalnya, dengan menggalakkan usaha pengolahan hasil pertanian produksi sendiri.

Jurus pamungkas yang sangat berbahaya adalah meninggalkan usaha pertanian sebagai reaksi petani yang putus asa, dengan menjual lahan atau ternaknya untuk kemudian berusaha di sektor lain. Jika ini terjadi, ancaman nyata terhadap ketahanan pangan sudah di depan mata.

Fenomena ini sudah mulai terlihat. Data hasil Sensus Pertanian 2013 menyiratkan pengurangan jumlah rumah tangga pertanian sebesar 5,10 juta rumah tangga dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sekali lagi, gagasan mengenai konsolidasi lahan dapat juga menjadi solusi masalah ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar