Demokrasi
adalah Mendengar
Boni Hargens ; Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
KOMPAS,
02 Juli 2014
DALAM debat capres dan cawapres ronde awal (8/6), kelihatan karakter kepemimpinan
dua kubu. Prabowo-Hatta banyak berbicara pembenahan sistem, sayangnya cukup
abstrak dalam implementasi. Jokowi-JK merujuk langsung pada kesejahteraan
manusia sebagai teologi dasar politik dan caranya pun realistis.
Bisa dibilang, Prabowo-Hatta menganut pandangan institusionalisme dalam
teori politik bahwa perubahan dimulai dari sistem. Sebaliknya, Jokowi-JK
menganut behavioralisme, sedikit banyak mengarah pada post-behavioralisme,
bahwa perubahan harus dimulai dari manusia melalui ”revolusi mental”. Pembenahan sistem adalah konsekuensi mutlak
dari itu.
”Demokrasi
adalah mendengar suara rakyat,” ungkap Jokowi di awal debat.
Substansinya, demokrasi itu memang rakyat (F Bauer, 2012). Maka,
mendengar rakyat adalah aktivasi dari
energi dasar demokrasi. Apa pun teori dan formulanya, politik demokrasi harus
menempatkan rakyat sebagai dasar dan orientasi. Implikasinya, persaingan politik dalam
demokrasi adalah kompetisi ide, bukan pertarungan uang dan instrumen
konvensional, seperti dukungan militer, mesin partai, dan birokrasi.
Pendekatan konflik seharusnya ditinggalkan supaya tak ada lagi kampanye hitam, politisasi
sentimen primordial, pengerahan aparat keamanan, atau mobilisasi birokrasi
dalam pemilu.
Belum lama, kita dihebohkan insiden oknum Bintara Pembina Desa
(Babinsa) yang diduga mengintimidasi warga desa untuk kandidat presiden
tertentu. TNI Angkatan Darat (AD) merespons begitu cepat. Koptu Rusfandi dan
Kapten Inf Saliman dijatuhkan hukuman. Sebagai tamtama, Rusfandi diduga
bersikap partisan dan Saliman selaku Danramil Gambir, Jakarta, dianggap
bertanggung jawab atas tindakan Rusfandi. Meski Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) tak menemukan bukti, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menilai
perlunya hukuman terhadap oknum tentara yang berpolitik.
Langkah Moeldoko sebuah kemajuan besar. Tentara profesional yang
menjadi salah satu agenda utama Reformasi 1998 sudah kasatmata. Watak pretorian sudah
terkikis walau masih ada pada sebagian oknum.
Sudah jelas bahwa isu Babinsa ini tidak sepele. Masalahnya bukan pada jumlah pelaku dan luasnya
wilayah intimidasi, melainkan pada hakikat intimidasi sebagai instrumen
politik lama. Tiga puluh dua tahun Suhartoisme bertahan karena model politik
demikian. Intimidasi menghidupkan lagi memoria passionis, ingatan
penderitaan, ketika kebebasan kita
dirampas.
Reformasi dimaksudkan untuk mengakhiri formula lama itu. Maka,
segregasi sipil-militer sudah seharusnya ditinggalkan. Politik demokrasi
adalah penegakan supremasi sipil dengan tetap menghargai militer sebagai
kekuatan profesional di ranah pertahanan dan keamanan.
Idealnya, dalam pemilu keempat sesudah 1998, yang utama adalah ideologi
dan gagasan konkret untuk perubahan. Sudah semestinya determinisme
klasik—yang mengerdilkan politik pada dikotomi sipil-militer, suku, agama,
ras, dan golongan—ditinggalkan. Kepemimpinan politik pun harus dilihat dari
sudut pandang baru, bukan dari sudut pandang lama yang cenderung
mengedepankan aspek visual.
Seorang pemimpin disebut tegas bukan karena badannya tegap, bicaranya keras,
dan raut wajahnya tegang. Dalam demokrasi sipil, ketegasan mengacu pada
prinsip. Seperti adagium lama Latin, fortite
in re, suaviter in modo—tegas dalam
prinsip, lembut dalam cara.
Kita tak bisa mengukur ketegasan Prabowo atau Jokowi hanya dengan penampilan
material. Prinsip dan tindakan politik adalah ukuran mendasarnya. Maka,
determinasi sipil-militer tidak relevan dalam konteks ini.
Pertemuan Shimon Peres dan Mahmoud Abbas di Vatikan (8/6) adalah contoh bahwa upaya perdamaian
tidak harus melibatkan kekuatan militer, tetapi cukup dengan komitmen
perdamaian seperti yang diperlihatkan Paus Fransiskus. Ketegasan memperoleh
pengertian yang sesungguhnya dalam komitmen, kesederhanaan, dan asketisme,
bukan dalam penampilan, elitisme, dan pengerahan pasukan.
Saat ini, ada kekuatan bermain dalam pemilu ingin membalikkan gelombang
demokratisasi. Muncul wacana ”Perang
Badar”, hidupnya sentimen primordial, dan pereduksian keberagaman pada
kepentingan politik temporal adalah preseden kembali ke masa lalu. Ini bahaya
bagi peradaban. Mereka memakai konstruksi demokrasi untuk tujuan-tujuan yang
tidak demokratis. Inilah ”jebakan demokrasi”
menurut Graham Fuller (1992).
Jebakan demokrasi melahirkan kontradiksi. Orang bisa bicara penegakan
HAM saat membunuh hak asasi. Berbicara kebebasan pers saat mengancam
kebebasan sipil. Berbicara rakyat saat memperalat rakyat.
Tidak mudah memang membuat keputusan. Namun, dalam pemilu, preferensi
politik tak cukup ditentukan kecerdasan nalar. Kecerdasan moral dibutuhkan.
Untuk bisa memilah, mana yang sekadar beretorika dan mana yang bisa bekerja.
Mana yang mampu mendengar suara rakyat
dan mana yang mengkuda-troyakan rakyat untuk maksud parsial. Rakyat bukan sekadar pelanggan yang bisa
dirupiahkan, melainkan manusia yang harus didengar dan dimanusiakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar