Puasa
dan Kepemimpinan
Asep Salahudin ; Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
|
KOMPAS,
02 Juli 2014
DALAM konteks kebangsaan, Ramadhan 2014 memiliki makna tersendiri. Di bulan yang disucikan umat Islam ini kita
akan memilih pimpinan nasional, presiden dan wakilnya. Di bulan ini, di masa
hari tenang, ada ruang untuk melakukan renungan tentang siapa yang harus
dipilih dari kedua capres itu.
Diharapkan tentu yang lahir bukan sekadar presiden, melainkan ”menjadi”
presiden yang dapat mempercepat negeri kepulauan ini menemukan adabnya.
Presiden yang bukan hanya pandai beretorika meyakinkan massa untuk
memilihnya, melainkan juga ”menciptakan” massa selamanya berada bersama-sama
mendampingi mewujudkan cita-cita luhurnya. Meminjam istilah Martin Haidegger,
semacam presiden yang ”ada” saat krisis dan damai.
Setelah Bung Karno mengantarkan bangsa ke pintu gerbang kemerdekaan, problem
utama kemudian adalah bagaimana memasuki gerbang itu dengan meraih hakikat
kemerdekaan: menemukan kebebasan, meresapkan rasa keadilan merata, dan
mengalami kemajemukan lewat perayaan keragaman yang lapang. Kita tak lagi
menghajatkan presiden terpilih yang sibuk dengan dirinya sendiri, sibuk membagi rata kursi kabinet untuk
menyenangkan ikhwan koalisi, sibuk bikin hujjah sekadar meneguhkan bahwa
seluruh tindakan politiknya adalah kebaikan bersama, sementara sejarah pengalaman hariannya adalah hikayat
ihwal korupsi yang tak khatam dituntaskan, kekerasan yang dibiarkan negara,
pendidikan yang semakin terpelanting dalam sistem tidak jelas.
Setelah 68 tahun revolusi fisik yang dengan gemilang telah sukses
mengusir Hindia Belanda dan Jepang ke tanah asalnya, kolonialisasi berakhir
dengan ikrar proklamasi, maka hari ini yang dibutuhkan bukan lagi gelora
”Bung Besar” dengan kecerdikan berorasi di atas podium menawarkan janji,
melainkan pemimpin yang bisa menerjemahkan alam pikiran masyarakat untuk
ditransformasikan dalam wujud kebijakan yang memihak mereka. Pemimpin yang
dapat memberikan keteladanan selarasnya kata dengan tindakan.
Kita butuh pemimpin yang melanjutkan revolusi fisik, sebut saja
proklamasi jilid dua berupa revolusi mental. Sebab, di titik didih yang kedua
inilah masalah pokok kita terletak.
Masalah bangsa bukan absennya kaum cerdik pandai atau hilangnya
bangsawan pemikir, melainkan defisit moralitas. Korupsi yang mengisap dana
miliaran hingga triliunan rupiah tidaklah dilakukan kaum jelata, tetapi oleh
mereka yang menikmati pendidikan hatta ke jenjang paling tinggi. Jika revolusi mental ini tidak lekas
diterapkan, sesungguhnya kita telah keluar dari mulut buaya dan masuk mulut
harimau. Keluar dari kolonialisasi asing dan tersekap perbudakan, yang
tragisnya dilakukan bangsanya sendiri!
Revolusi mental itu tidaklah gampang. Sebab, bisa jadi kita tengah
berhadapan dengan sekawanan partai yang
terbiasa dalam habitus mencuri, berhadapan dengan keberingasan ormas
yang tabiatnya berpikir monolitik, berhadapan dengan perilaku birokrasi
bermental kolonial, berhadapan dengan teman koalisi yang masih berpikir bahwa
jabatan kabinet adalah mesin ATM untuk menjalankan partai dan memakmurkan
puaknya.
Riwayat mengokang senjata, menghunus bambu runcing, melempar granat,
menyelipkan sangkur telah selesai dalam narasi pekik revolusi fisik. Revolusi
mental atau apa pun istilahnya hanya
membutuhkan orang-orang yang bisa berpikir jernih, bertindak jujur,
berkata tulus, dan berwawasan luas.
Tentu kita bersepakat, politik adalah ideologi, identitas, dan
identifikasi. Namun, semuanya akan berhenti menjadi utopia kalau sekadar
retorika, kalau hanya berhenti sebatas tampilan muka ala Bung Karno, mirip
Soedirman, Tan, atau Syahrir tanpa memasuki ”roh”-nya. Hasrat utopis itu semacam politik yang
dijangkarkan pada kepentingan sekelompok pihak, membidahkan pengetahuan yang
berbeda seperti diteguhkan Karl
Mannheim dalam Ideology and Utopia: An
Introduction to the Sociology of Knowledge.
Tapabrata
Puasa ternyata memiliki interaksi simbolik bukan hanya dengan kesalehan
personal, juga dengan ihwal kepemimpinan kebangsaan. Puasa jadi sebuah
tapabrata agar bisa melihat persoalan secara tajam. Ini juga mungkin secara
metafisis yang menjadi alasan Soekarno-Hatta memproklamasikan bangsa ini di
bulan puasa.
Kalau membuka ajaran agama-agama besar, selalu menjadikan puasa sebagai
ritus utamanya. Yang membedakan hanya sisi nomos-nya (syariat), sementara
hakikat yang hendak diraih tidaklah jauh berbeda. Bahkan, jauh ke belakang,
bukankah para filsuf Yunani ketika berpikir mereka terbiasa dalam kondisi
lapar. Socrates, Plato, Aristoteles atau dalam jalur filsuf Muslim semacam
Ibnu Arabi, Mulla Sadra, Suhrawardi,
Ibnu Rusydi adalah orang-orang yang mencapai akal menjulang salah satunya
dengan merawat sensitivitas akal budi lewat puasa.
Dengan sangat heroik, Sidarta Gautama menanggalkan jubah kekuasaannya
menyingkir untuk berpuasa di bawah pohon bodhis meraih terang. Setelah
terang itu didapatkan, Sang Buddha
memasuki gelanggang ”dunia” dengan visi baru. Kuasa dan puasa menjadi
berkelindan. Yang hendak berkuasa harus ”berpuasa”, yang memburu kursi wajib
”bermeditasi”.
Maryam di mihrab dalam waktu lama berpuasa, dia tidak pernah melepaskan
kata-kata bertaburan dusta, fitnah, dan kampanye hitam. Jadi, firman Tuhan
mencatat, kelak lahir Isa yang dari sentuhan tangannya mengalir kelembutan. Isa yang risalahnya menawarkan
hidup menjunjung daulat kasih sayang.
Musa menyingkir ke Thurisin berpuasa, kemudian meraih 10 perintah
Tuhan. Dicatat pula dalam sejarah pertempuran tidak seimbang dua pasukan,
antara David dan Goliath. Ternyata kemenangan David melawan pasukan Goliath
yang tangguh kuncinya karena sang David rajin berpuasa. Suku-suku pedalaman
Indian, Mesir Kuno, Persia, dan Babilonia sebelum berperang, sang komandan
menyerukan maklumat kepada seluruh pasukannya untuk berpuasa.
Kepemimpinan
tanpa pamrih
Puasa ternyata mengajarkan asketisme. Sikap hidup menanggalkan pamrih
dan luruh mengabdi kepada khalayak. Suatu politik kepemimpinan yang
dijangkarkan pada (istilah Hannah Arendt) pikir, kerja, dan tindakan. Pada
nalar waras yang menjadikan segala bentuk kekerasan sebagai musuh
bersama. Pada sikap bijak melihat
realitas kebangsaan yang heterogen.
Puasa tidak sekadar bagaimana tubuh mampu menahan lapar dan syahwat
kelamin diberhentikan pada siang hari, tetapi sejauh mana rasa ”lapar” itu
jadi etos hospitalitas kepada liyan dengan segala etik imperatifnya melihat liyan itu: sebagai modus
eksistensial kehadiran setiap kita.
Sudah saatnya tafsir kudus puasa ditarik dari kebaktian yang
sifatnya individual ke takhta sosial
dan ditautkan dengan persoalan peralihan kepemimpinan nasional. Dengan
begitu, puasa pada akhirnya dapat menghentikan berkecambahnya perilaku ternak
yang ternyata diam-diam telah menjadi bagian integral dari hikayat politik
harian kita, seperti dirumuskan dalam ungkapan: ”dagang sapi”, ”kutu loncat”, dan ”muka badak”!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar