Kamis, 03 Juli 2014

Puasa dan Kepemimpinan

                                        Puasa dan Kepemimpinan

Asep Salahudin  ;   Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat;
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
KOMPAS,  02 Juli 2014
                                                


DALAM konteks kebangsaan, Ramadhan 2014 memiliki makna tersendiri.  Di bulan yang disucikan umat Islam ini kita akan memilih pimpinan nasional, presiden dan wakilnya. Di bulan ini, di masa hari tenang, ada ruang untuk melakukan renungan tentang siapa yang harus dipilih dari kedua capres itu.

Diharapkan tentu yang lahir bukan sekadar presiden, melainkan ”menjadi” presiden yang dapat mempercepat negeri kepulauan ini menemukan adabnya. Presiden yang bukan hanya pandai beretorika meyakinkan massa untuk memilihnya, melainkan juga ”menciptakan” massa selamanya berada bersama-sama mendampingi mewujudkan cita-cita luhurnya. Meminjam istilah Martin Haidegger, semacam presiden yang ”ada” saat krisis dan damai.

Setelah Bung Karno mengantarkan bangsa ke pintu gerbang kemerdekaan, problem utama kemudian adalah bagaimana memasuki gerbang itu dengan meraih hakikat kemerdekaan: menemukan kebebasan, meresapkan rasa keadilan merata, dan mengalami kemajemukan lewat perayaan keragaman yang lapang. Kita tak lagi menghajatkan presiden terpilih yang sibuk dengan dirinya sendiri,  sibuk membagi rata kursi kabinet untuk menyenangkan ikhwan koalisi, sibuk bikin hujjah sekadar meneguhkan bahwa seluruh tindakan politiknya adalah kebaikan bersama, sementara  sejarah pengalaman hariannya adalah hikayat ihwal korupsi yang tak khatam dituntaskan, kekerasan yang dibiarkan negara, pendidikan yang semakin terpelanting dalam sistem tidak jelas.

Setelah 68 tahun revolusi fisik yang dengan gemilang telah sukses mengusir Hindia Belanda dan Jepang ke tanah asalnya, kolonialisasi berakhir dengan ikrar proklamasi, maka hari ini yang dibutuhkan bukan lagi gelora ”Bung Besar” dengan kecerdikan berorasi di atas podium menawarkan janji, melainkan pemimpin yang bisa menerjemahkan alam pikiran masyarakat untuk ditransformasikan dalam wujud kebijakan yang memihak mereka. Pemimpin yang dapat memberikan keteladanan selarasnya kata dengan tindakan.

Kita butuh pemimpin yang melanjutkan revolusi fisik, sebut saja proklamasi jilid dua berupa revolusi mental. Sebab, di titik didih yang kedua inilah masalah pokok kita terletak.

Masalah bangsa bukan absennya kaum cerdik pandai atau hilangnya bangsawan pemikir, melainkan defisit moralitas. Korupsi yang mengisap dana miliaran hingga triliunan rupiah tidaklah dilakukan kaum jelata, tetapi oleh mereka yang menikmati pendidikan hatta ke jenjang paling tinggi.  Jika revolusi mental ini tidak lekas diterapkan, sesungguhnya kita telah keluar dari mulut buaya dan masuk mulut harimau. Keluar dari kolonialisasi asing dan tersekap perbudakan, yang tragisnya dilakukan bangsanya sendiri!

Revolusi mental itu tidaklah gampang. Sebab, bisa jadi kita tengah berhadapan dengan sekawanan partai yang  terbiasa dalam habitus mencuri, berhadapan dengan keberingasan ormas yang tabiatnya berpikir monolitik, berhadapan dengan perilaku birokrasi bermental kolonial, berhadapan dengan teman koalisi yang masih berpikir bahwa jabatan kabinet adalah mesin ATM untuk menjalankan partai dan memakmurkan puaknya.

Riwayat mengokang senjata, menghunus bambu runcing, melempar granat, menyelipkan sangkur telah selesai dalam narasi pekik revolusi fisik. Revolusi mental atau apa pun istilahnya hanya  membutuhkan orang-orang yang bisa berpikir jernih, bertindak jujur, berkata tulus,  dan berwawasan luas.

Tentu kita bersepakat, politik adalah ideologi, identitas, dan identifikasi. Namun, semuanya akan berhenti menjadi utopia kalau sekadar retorika, kalau hanya berhenti sebatas tampilan muka ala Bung Karno, mirip Soedirman, Tan, atau Syahrir tanpa memasuki ”roh”-nya.  Hasrat utopis itu semacam politik yang dijangkarkan pada kepentingan sekelompok pihak, membidahkan pengetahuan yang berbeda seperti diteguhkan  Karl Mannheim dalam Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge.

Tapabrata

Puasa ternyata memiliki interaksi simbolik bukan hanya dengan kesalehan personal, juga dengan ihwal kepemimpinan kebangsaan. Puasa jadi sebuah tapabrata agar bisa melihat persoalan secara tajam. Ini juga mungkin secara metafisis yang menjadi alasan Soekarno-Hatta memproklamasikan bangsa ini di bulan puasa.

Kalau membuka ajaran agama-agama besar, selalu menjadikan puasa sebagai ritus utamanya. Yang membedakan hanya sisi nomos-nya (syariat), sementara hakikat yang hendak diraih tidaklah jauh berbeda. Bahkan, jauh ke belakang, bukankah para filsuf Yunani ketika berpikir mereka terbiasa dalam kondisi lapar. Socrates, Plato, Aristoteles atau dalam jalur filsuf Muslim semacam Ibnu Arabi, Mulla Sadra,  Suhrawardi, Ibnu Rusydi adalah orang-orang yang mencapai akal menjulang salah satunya dengan merawat sensitivitas akal budi lewat puasa.

Dengan sangat heroik, Sidarta Gautama menanggalkan jubah kekuasaannya menyingkir untuk berpuasa di bawah pohon bodhis meraih terang. Setelah terang  itu didapatkan, Sang Buddha memasuki gelanggang ”dunia” dengan visi baru. Kuasa dan puasa menjadi berkelindan. Yang hendak berkuasa harus ”berpuasa”, yang memburu kursi wajib ”bermeditasi”.

Maryam di mihrab dalam waktu lama berpuasa, dia tidak pernah melepaskan kata-kata bertaburan dusta, fitnah, dan kampanye hitam. Jadi, firman Tuhan mencatat, kelak lahir Isa yang dari sentuhan tangannya mengalir   kelembutan. Isa yang risalahnya menawarkan hidup menjunjung daulat  kasih sayang.

Musa menyingkir ke Thurisin berpuasa, kemudian meraih 10 perintah Tuhan. Dicatat pula dalam  sejarah  pertempuran tidak seimbang dua pasukan, antara David dan Goliath. Ternyata kemenangan David melawan pasukan Goliath yang tangguh kuncinya karena sang David rajin berpuasa. Suku-suku pedalaman Indian, Mesir Kuno, Persia, dan Babilonia sebelum berperang, sang komandan menyerukan maklumat kepada seluruh pasukannya untuk berpuasa.

Kepemimpinan tanpa pamrih

Puasa ternyata mengajarkan asketisme. Sikap hidup menanggalkan pamrih dan luruh mengabdi kepada khalayak. Suatu politik kepemimpinan yang dijangkarkan pada (istilah Hannah Arendt) pikir, kerja, dan tindakan. Pada nalar waras yang menjadikan segala bentuk kekerasan sebagai musuh bersama.  Pada sikap bijak melihat realitas kebangsaan yang heterogen.

Puasa tidak sekadar bagaimana tubuh mampu menahan lapar dan syahwat kelamin diberhentikan pada siang hari, tetapi sejauh mana rasa ”lapar” itu jadi etos hospitalitas kepada liyan dengan segala etik imperatifnya  melihat liyan itu: sebagai modus eksistensial kehadiran setiap kita.

Sudah saatnya tafsir kudus puasa ditarik dari kebaktian yang sifatnya  individual ke takhta sosial dan ditautkan dengan persoalan peralihan kepemimpinan nasional. Dengan begitu, puasa pada akhirnya dapat menghentikan berkecambahnya perilaku ternak yang ternyata diam-diam telah menjadi bagian integral dari hikayat politik harian kita, seperti dirumuskan dalam ungkapan: ”dagang sapi”, ”kutu loncat”, dan ”muka badak”!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar