Selasa, 10 November 2015

TPP, Perlukah Kita Bergabung?

TPP, Perlukah Kita Bergabung?

Ginandjar Kartasasmita ;  Mantan Menteri Koordinator Ekonomi,
Keuangan, dan Industri
                                                     KOMPAS, 09 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan ini muncul perdebatan di masyarakat tentang tepat tidaknya Indonesia masuk ke dalam Kemitraan Trans-Pasifik. Perdebatan ini dipicu oleh pernyataan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke AS bahwa Indonesia bermaksud masuk TPP.

Saya menyambut gembira adanya perdebatan terbuka ini karena masalah ini berdampak jauh dan berjangka panjang sehingga sepatutnya menjadi bahan bahasan masyarakat secara luas sebelum pemerintah memutuskan. Tulisan ini merupakan sumbangan terhadap diskusi terbuka mengenai masalah ini.

TPP adalah perjanjian kerja sama ekonomi yang diikuti oleh 12 negara, yaitu Brunei, Singapura, Cile, Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Peru, Malaysia, Kanada, Meksiko, dan Jepang. Walaupun pengambil inisiatif pertama TPP bukan AS, tetapi proses perundingan banyak dipengaruhi oleh AS.

Komitmen liberalisasi TPP sangat tinggi, melebihi kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bagi Indonesia dapat berpengaruh pada sektor-sektor penting, seperti pertanian, BUMN, dan investasi. Hal itu terutama dalam penyelesaian sengketa investasi (ISDS), pengadaan pemerintah, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan usaha kecil menengah (UKM).

Perundingan TPP telah mencapai tahap akhir. Apabila masuk TPP sekarang, Indonesia tidak dapat memperjuangkan kepentingannya karena kalau mau masuk harus memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Yang patut kita catat di sini, sebuah negara besar di Asia dengan ekonomi kedua terbesar di dunia, yakni Tiongkok, tidak masuk di dalamnya. Bahkan, dari sumber-sumber bacaan luar negeri, TPP justru dirancang untuk memojokkan Tiongkok.

Kerja sama bilateral dan regional

Sebenarnya Indonesia telah mengikat berbagai perjanjian dagang bebas (FTA), baik bilateral maupun regional, seperti Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), ASEAN-Australia dan Selandia Baru, ASEAN-Tiongkok, ASEAN-India, ASEAN-Jepang, ASEAN-Korea, dan CEPA-Uni Eropa serta perjanjian bilateral Indonesia-Jepang (IJ-EPA) dan Indonesia-Pakistan. Mulai Desember 2015, dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN telah menjadi wilayah perdagangan bebas.

Selain itu, Indonesia juga cukup aktif dalam pembentukan perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Pembentukan RCEP bermula dari kesepakatan para pemimpin dari 16 negara yang bergabung dalam East Asia Summit 2012. RCEP berkembang dari studi mengenai perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan tiga mitranya, Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, yang dikenal sebagai ASEAN+3.

Secara paralel kajian ini dilengkapi dengan kajian untuk ASEAN+6, yaitu ASEAN+3 ditambah Australia, India, dan Selandia Baru. Sampai saat ini proses pembentukan RCEP masih berjalan, tetapi perkembangan perundingannya cukup menjanjikan. Dengan melihat komposisinya, RCEP dapat dilihat sebagai perluasan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas yang saat ini sudah ada antara ke-10 negara ASEAN dan enam mitranya seperti diutarakan di atas.

Cakupan perjanjian dalam RCEP tidak sekaku TPP karena proses liberalisasi disesuaikan dengan kemampuan setiap negara. Lebih jauh dari itu, kesepakatan dalam RCEP lebih fleksibel karena masih memungkinkan perlindungan terhadap produk-produk sensitif, seperti sektor pertanian. Masalah sensitif lain, seperti hak milik (intelektual), dalam RCEP masih dapat disesuaikan dengan kemampuan anggota ASEAN. Berbeda dengan TPP, sejauh ini RCEP tidak mengatur masalah pengadaan pemerintah, juga tidak mengancam keberadaan dan fungsi BUMN. Ini karena di beberapa negara yang tergabung dalam RCEP, peran BUMN cukup besar dalam perekonomian. Bahkan, di Indonesia, peranan BUMN diamanatkan dalam UUD.

Namun, yang jauh lebih penting, RCEP mempertimbangkan kesetaraan pembangunan ekonomi dan berupaya keras mengurangi kesenjangan di antara anggotanya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya perlakuan khusus bagi negara-negara dengan ekonomi belum terlalu maju, seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar. RCEP juga memberikan tempat bagi UKM agar dapat menerima manfaat dari perdagangan bebas ini.

Cakupan ekonomi RCEP juga lebih besar karena melibatkan Tiongkok dan India. Jumlah penduduk yang tergabung dalam RCEP pada 2014 sebesar 3,4 miliar jiwa(48 persen penduduk dunia), sementara TPP 808,7 juta jiwa (11 persen penduduk dunia). Total ekspor sesama anggota RCEP pada 2013 mencapai 5,1 triliun dollar AS (29 persen ekspor dunia), sementara TPP 4,4 triliun dollar AS (25 persen ekspor dunia).

APEC

Yang lebih luas dan lebih dahulu proses pembahasannya adalah Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Indonesia sudah bergabung dengan APEC sejak 1989. Anggota APEC terdiri atas 12 negara pendiri, yaitu AS, Australia, Brunei, Filipina, Indonesia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, dan Thailand, lalu menyusul Tiongkok, Hongkong, Taiwan, Meksiko, Papua Niugini, Cile, Peru, Rusia, dan Vietnam.

Ada tujuh negara ASEAN yang tergabung dalam APEC dan 12 negara RCEP yang juga anggota APEC. Semua ekonomi besar di wilayah ini bergabung dalam APEC, seperti AS, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Rusia. Dari komposisi ini saja sebetulnya sudah dapat dilihat, APEC memiliki kepentingan strategis yang lebih besar bagi Indonesia. Sebab, tanpa bergabung dengan TPP saja Indonesia sudah dapat melakukan perdagangan dengan negara-negara ekonomi kuat.

Dalam sejarahnya, Indonesia berperan besar dalam APEC. Pada 1994, sewaktu Indonesia menjadi tuan rumah, berhasil dirumuskan Deklarasi Bogor. Ini momentum penting karena menjadi kesepakatan pertama APEC untuk melakukan perdagangan dan investasi bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik dengan sasaran pada 2010 bagi negara-negara maju dan 2020 untuk ekonomi berkembang.

Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas, jelaslah bahwa arah mewujudkan perdagangan bebas dunia untuk meningkatkan daya saing, lapangan kerja, dan peluang usaha sudah sejak lama kita yakini. Kita tidak perlu diajari lagi bahwa perdagangan bebas akan memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi karena itu semua kita sudah tahu.

Yang utama harus dipertimbangkan adalah urgensi dan prioritasnya. Jelas perhatian harus kita berikan kepada yang telah kita sepakati dan akan segera jalankan, yaitu MEA. Kita masih harus bekerja keras agar MEA dapat betul-betul membawa keuntungan ekonomi dan kesejahteraan kepada masyarakat. Itu hanya dapat diraih melalui kekuatan daya saing yang diperoleh dari peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi.

Kita juga harus menyegerakan proses ke arah kesepakatan regional dan multilateral yang sudah kita jalani selama ini, yakni kerja sama ASEAN dengan negara-negara mitranya dan dalam APEC. Memang negosiasinya tidak mudah karena harus menampung semua kepentingan, dari negara yang paling maju sampai yang paling terbelakang. Akan tetapi, di situlah  letak kekuatan dan keindahannya.

Dengan bergabung dalam berbagai kerja sama tersebut, ekonomi kita sudah cukup terbuka lebar dan pasar terbuka luas. Tidak perlu kita menambah-nambah lagi dengan TPP, tanpa keuntungan yang jelas, bahkan mengandung risiko kerugian yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar