TPP, Perlukah Kita Bergabung?
Ginandjar Kartasasmita ; Mantan Menteri Koordinator Ekonomi,
Keuangan, dan Industri
|
KOMPAS,
09 November 2015
Belakangan ini muncul
perdebatan di masyarakat tentang tepat tidaknya Indonesia masuk ke dalam Kemitraan
Trans-Pasifik. Perdebatan ini dipicu oleh pernyataan Presiden Joko Widodo
dalam kunjungan ke AS bahwa Indonesia bermaksud masuk TPP.
Saya menyambut gembira
adanya perdebatan terbuka ini karena masalah ini berdampak jauh dan berjangka
panjang sehingga sepatutnya menjadi bahan bahasan masyarakat secara luas
sebelum pemerintah memutuskan. Tulisan ini merupakan sumbangan terhadap
diskusi terbuka mengenai masalah ini.
TPP adalah perjanjian
kerja sama ekonomi yang diikuti oleh 12 negara, yaitu Brunei, Singapura,
Cile, Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Peru, Malaysia,
Kanada, Meksiko, dan Jepang. Walaupun pengambil inisiatif pertama TPP bukan
AS, tetapi proses perundingan banyak dipengaruhi oleh AS.
Komitmen liberalisasi
TPP sangat tinggi, melebihi kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)
dan bagi Indonesia dapat berpengaruh pada sektor-sektor penting, seperti
pertanian, BUMN, dan investasi. Hal itu terutama dalam penyelesaian sengketa
investasi (ISDS), pengadaan pemerintah, ketenagakerjaan, lingkungan hidup,
dan usaha kecil menengah (UKM).
Perundingan TPP telah
mencapai tahap akhir. Apabila masuk TPP sekarang, Indonesia tidak dapat
memperjuangkan kepentingannya karena kalau mau masuk harus memenuhi
syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Yang patut kita catat di sini,
sebuah negara besar di Asia dengan ekonomi kedua terbesar di dunia, yakni
Tiongkok, tidak masuk di dalamnya. Bahkan, dari sumber-sumber bacaan luar
negeri, TPP justru dirancang untuk memojokkan Tiongkok.
Kerja sama bilateral dan regional
Sebenarnya Indonesia
telah mengikat berbagai perjanjian dagang bebas (FTA), baik bilateral maupun
regional, seperti Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA), ASEAN-Australia
dan Selandia Baru, ASEAN-Tiongkok, ASEAN-India, ASEAN-Jepang, ASEAN-Korea,
dan CEPA-Uni Eropa serta perjanjian bilateral Indonesia-Jepang (IJ-EPA) dan
Indonesia-Pakistan. Mulai Desember 2015, dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA), ASEAN telah menjadi wilayah perdagangan bebas.
Selain itu, Indonesia
juga cukup aktif dalam pembentukan perjanjian Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP). Pembentukan RCEP bermula dari kesepakatan para pemimpin
dari 16 negara yang bergabung dalam East Asia Summit 2012. RCEP berkembang
dari studi mengenai perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan tiga mitranya,
Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, yang dikenal sebagai ASEAN+3.
Secara paralel kajian
ini dilengkapi dengan kajian untuk ASEAN+6, yaitu ASEAN+3 ditambah Australia,
India, dan Selandia Baru. Sampai saat ini proses pembentukan RCEP masih
berjalan, tetapi perkembangan perundingannya cukup menjanjikan. Dengan
melihat komposisinya, RCEP dapat dilihat sebagai perluasan
perjanjian-perjanjian perdagangan bebas yang saat ini sudah ada antara ke-10
negara ASEAN dan enam mitranya seperti diutarakan di atas.
Cakupan perjanjian
dalam RCEP tidak sekaku TPP karena proses liberalisasi disesuaikan dengan
kemampuan setiap negara. Lebih jauh dari itu, kesepakatan dalam RCEP lebih
fleksibel karena masih memungkinkan perlindungan terhadap produk-produk
sensitif, seperti sektor pertanian. Masalah sensitif lain, seperti hak milik
(intelektual), dalam RCEP masih dapat disesuaikan dengan kemampuan anggota
ASEAN. Berbeda dengan TPP, sejauh ini RCEP tidak mengatur masalah pengadaan pemerintah,
juga tidak mengancam keberadaan dan fungsi BUMN. Ini karena di beberapa
negara yang tergabung dalam RCEP, peran BUMN cukup besar dalam perekonomian.
Bahkan, di Indonesia, peranan BUMN diamanatkan dalam UUD.
Namun, yang jauh lebih
penting, RCEP mempertimbangkan kesetaraan pembangunan ekonomi dan berupaya
keras mengurangi kesenjangan di antara anggotanya. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya perlakuan khusus bagi negara-negara dengan ekonomi belum
terlalu maju, seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar. RCEP juga memberikan tempat
bagi UKM agar dapat menerima manfaat dari perdagangan bebas ini.
Cakupan ekonomi RCEP
juga lebih besar karena melibatkan Tiongkok dan India. Jumlah penduduk yang
tergabung dalam RCEP pada 2014 sebesar 3,4 miliar jiwa(48 persen penduduk
dunia), sementara TPP 808,7 juta jiwa (11 persen penduduk dunia). Total
ekspor sesama anggota RCEP pada 2013 mencapai 5,1 triliun dollar AS (29
persen ekspor dunia), sementara TPP 4,4 triliun dollar AS (25 persen ekspor
dunia).
APEC
Yang lebih luas dan
lebih dahulu proses pembahasannya adalah Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik
(APEC). Indonesia sudah bergabung dengan APEC sejak 1989. Anggota APEC
terdiri atas 12 negara pendiri, yaitu AS, Australia, Brunei, Filipina,
Indonesia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Malaysia, Selandia Baru, Singapura,
dan Thailand, lalu menyusul Tiongkok, Hongkong, Taiwan, Meksiko, Papua
Niugini, Cile, Peru, Rusia, dan Vietnam.
Ada tujuh negara ASEAN
yang tergabung dalam APEC dan 12 negara RCEP yang juga anggota APEC. Semua ekonomi
besar di wilayah ini bergabung dalam APEC, seperti AS, Tiongkok, Jepang,
Korea Selatan, dan bahkan Rusia. Dari komposisi ini saja sebetulnya sudah
dapat dilihat, APEC memiliki kepentingan strategis yang lebih besar bagi
Indonesia. Sebab, tanpa bergabung dengan TPP saja Indonesia sudah dapat
melakukan perdagangan dengan negara-negara ekonomi kuat.
Dalam sejarahnya,
Indonesia berperan besar dalam APEC. Pada 1994, sewaktu Indonesia menjadi
tuan rumah, berhasil dirumuskan Deklarasi Bogor. Ini momentum penting karena
menjadi kesepakatan pertama APEC untuk melakukan perdagangan dan investasi
bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik dengan sasaran pada 2010 bagi
negara-negara maju dan 2020 untuk ekonomi berkembang.
Kesimpulan
Dari berbagai uraian
di atas, jelaslah bahwa arah mewujudkan perdagangan bebas dunia untuk
meningkatkan daya saing, lapangan kerja, dan peluang usaha sudah sejak lama
kita yakini. Kita tidak perlu diajari lagi bahwa perdagangan bebas akan
memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi karena itu semua kita sudah tahu.
Yang utama harus
dipertimbangkan adalah urgensi dan prioritasnya. Jelas perhatian harus kita
berikan kepada yang telah kita sepakati dan akan segera jalankan, yaitu MEA.
Kita masih harus bekerja keras agar MEA dapat betul-betul membawa keuntungan
ekonomi dan kesejahteraan kepada masyarakat. Itu hanya dapat diraih melalui
kekuatan daya saing yang diperoleh dari peningkatan produktivitas,
kreativitas, dan inovasi.
Kita juga harus
menyegerakan proses ke arah kesepakatan regional dan multilateral yang sudah
kita jalani selama ini, yakni kerja sama ASEAN dengan negara-negara mitranya
dan dalam APEC. Memang negosiasinya tidak mudah karena harus menampung semua
kepentingan, dari negara yang paling maju sampai yang paling terbelakang.
Akan tetapi, di situlah letak kekuatan
dan keindahannya.
Dengan bergabung dalam
berbagai kerja sama tersebut, ekonomi kita sudah cukup terbuka lebar dan
pasar terbuka luas. Tidak perlu kita menambah-nambah lagi dengan TPP, tanpa
keuntungan yang jelas, bahkan mengandung risiko kerugian yang tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar