Revaluasi Aset dan Pemulihan Ekonomi
Edy Mulyadi ; Direktur Program Centre for Economic and
Democracy Studies
|
KOMPAS,
23 November 2015
Ada gereget yang beda
pada paket kebijakan ekonomi jilid kelima yang dirilis pemerintah 19 Oktober silam.
Tanpa bermaksud menafikan berbagai insentif pada paket-paket kebijakan ekonomi sebelumnya, tawaran relaksasi perpajakan
bagi perusahaan yang melakukan revaluasi aset benar-benar nendang. Betapa
tidak, ketentuan perpajakan yang selama ini menjadi sandungan serius
revaluasi aset, pada paket kelima ini diamputasi dengan signifikan.
Pada aturan
sebelumnya, jika perusahaan merevaluasi asetnya, maka dikenai pajak selisih
aset pasca revaluasi 10 persen. Misalnya, sebelum revaluasi, aset PT XYZ Rp 1
triliun. Setelah revaluasi, nilainya
naik menjadi Rp 2 triliun. Konsekuensinya, perusahaan wajib membayar pajak 10
persen dari selisihnya. Artinya, 10 persen dari Rp 1 triliun adalah Rp 100
miliar. Setoran 10 persen inilah yang sering jadi penyebab maju-mundurnya
perusahaan melakukan revaluasi aset.
Nah, batu sandungan pajak inilah yang kini kena
pangkas. Berdasarkan kebijakan baru, besarnya relaksasi berlaku sesuai dengan
waktu dilakukannya revaluasi. Perusahaan yang merevaluasi asetnya di semester
II-2015 kena tarif 3 persen. Jika dilakukan di semester I-2016, pajaknya 4
persen. Jika dilakukan pada semester II-2016, pajaknya sebesar 6 persen.
Setelah periode itu, kembali ke tarif normal.
Sebetulnya ada
beberapa "jagoan" lain pada paket kebijakan ekonomi jilid kelima,
yaitu penghapusan pajak berganda terkait kontrak investasi kolektif Dana
Investasi Real Estat dan relaksasi aturan perbankan syariah. Dengan seabrek
insentif itu, paket kebijakan kali ini diyakini bakal mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi. Paling tidak,
begitulah keyakinan Menko Kemaritiman Rizal Ramli. Menurut dia, revaluasi
aset perusahaan, relaksasi pajak revaluasi aset, dan penghapusan pajak
berganda akan memberi dampak luar bisa. Laju pertumbuhan ekonomi bakal
terdongkrak hingga di atas 6 persen tahun depan. Maklum, sekarang ekonomi
hanya tumbuh 5,02 persen, di bawah target 5,5 persen.
Keyakinan Rizal Ramli
didasarkan pada berbagai benefit dari revaluasi. Dengan revaluasi, nilai aset
perusahaan naik hingga berkali lipat. Jika (sebagian dari) selisih aset pasca revaluasi disuntikkan ke modal,
modal perusahaan melonjak. Bonafiditas perusahaan terkerek. Kemampuan
perusahaan menutup risiko juga bertambah.
Kinerja keuangan yang mencorong ini akan memberi leverage perusahaan
dalam menjaring dana secara masif dan murah.
Berbekal modal yang
kuat, perusahaan bisa meraup dana segar lewat penawaran saham perdana (initial public offering/IPO), secondary public offering (SPO) saham,
rights issue, penerbitan obligasi,
juga pinjaman bank.
Sukses revaluasi aset PLN
Rizal Ramli tak sedang
berteori. Pasalnya, dia sendiri pernah melakukan dan mendulang sukses besar.
Pada tahun 2000-an, ketika menjabat Menko Perekonomian, ia pernah
menyelamatkan PLN yang secara teknis sudah bangkrut dengan modalnya minus Rp
9,1 triliun, sementara asetnya Rp 52 triliun.
"Direksi PLN datang ke kantor saya. Mereka minta suntikan
modal Rp 26,9 triliun. Tentu saja saya tolak. Saya minta mereka merevaluasi aset. Hasilnya,
aset PLN meningkat menjadi Rp 202 triliun lebih. Selisih dari hasil revaluasi
aset dimasukkan ke modal sehingga naik menjadi Rp 119,4 triliun. PLN jadi
sehat kembali. Sedangkan kewajiban perpajakan selisih aset setelah revaluasi
dibagi dalam tujuh tahun. Dampaknya luar biasa. Kemampuan PLN dalam menarik
kredit naik sehingga meningkatkan operasi PLN dan menggerakkan ekonomi
nasional," kata Rizal Ramli di sela-sela konferensi pers peluncuran Paket
Kebijakan Ekonomi Tahap V di Istana Negara, Jakarta, Kamis (22/10).
Paket kebijakan
ekonomi tahap kelima ini memang benar-benar gurih. Buktinya, PT PLN (Persero)
buru-buru akan menubruk khususnya terkait insentif pajak untuk revaluasi
aset. Saat ini, aset PLN sekitar Rp 600 triliun. Pasca revaluasi, nilainya
bisa melonjak menjadi Rp 800-an triliun. "Saya berharap insentif pajak
yang didapat dari revaluasi aset ini bisa menjadi tambahan modal bagi PLN
dalam bentuk PMN (penyertaan modal negara). Pajaknya kami akan ajukan menjadi
PMN," ujar Sofyan Basir, Direktur Utama PLN.
BUMN lain yang juga
memastikan ikut program revaluasi aset adalah Bank Mandiri. Memang ada
konsekuensi akibat naiknya nilai aset,
yaitu naik pula iuran/ premi ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mulai tahun
ini, industri keuangan harus membayar penuh (full) iuran tahunan dengan tarif 0,045 persen dari total aset.
Itu artinya, berdasarkan data laporan keuangan Juni 2015, Bank Mandiri harus
menambah iuran OJK sekitar Rp 20 miliar menjadi Rp 430 miliar lebih seusai
merevaluasi asetnya.
Nilai aset naik
Revaluasi aset memang
pasti menaikkan nilainya. Aset berupa tanah, misalnya. Di neraca perusahaan,
nilai tanah biasanya tetap sebesar harga saat dibeli. Padahal, kenyataannya,
harga tanah naik gila-gilaan. Demikian pula gedung, terutama yang berlokasi
strategis dan secara fisik masih kokoh, makin lama makin mahal. Obyek utama
yang perlu direvaluasi biasanya tanah dan gedung atau bangunan lain.
Itulah yang
menjelaskan mengapa Sofyan berani menaksir bakal memperoleh tambahan nilai
sekitar Rp 200 triliun. Bisa dibayangkan berapa kenaikan lahan milik PT Jasa
Marga (Persero) dan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Tanah-tanah kedua BUMN itu
ada yang diperoleh sejak 40-50 tahun lalu. Tentu harganya kini sudah naik
belasan bahkan puluhan kali lipat.
Seperti dikatakan
Rizal Ramli, relaksasi perpajakan terkait revaluasi aset bakal memacu
pertumbuhan ekonomi. Paling tidak, pada tahap awal akan ada banyak profesi
yang kecipratan rezeki. Yang sudah
pasti para appraisal (penilai aset), akuntan publik, notaris, dan konsultan
pajak.
Dengan
menggelembungnya aset dan melonjaknya modal, perusahaan punya leverage untuk mengail dana segar. Di sini sejumlah
profesi lain juga ikut menikmati, di antaranya underwriter, manajer
investasi, bahkan public relations dalam upayanya menaikkan citra positif perusahaan.
Hebatnya lagi, mereka akan rajin mempromosikan ke dalam dan luar negeri
tentang perusahaan bersangkutan khususnya dan Indonesia pada umumnya. Karena
yang berpromosi sesama swasta, tingkat kepercayaan calon investor bisa
dipastikan lebih tinggi.
Sebaiknya perusahaan swasta ataupun BUMN benar-benar
memanfaatkan relaksasi pajak terkait revaluasi aset ini. Makin cepat
dilakukan, makin kecil pajak yang harus dibayar dan makin besar insentifnya.
Pemerintah sendiri berharap bisa meraup pajak sekitar Rp 10 triliun dari
sini. Sejumlah perusahaan besar saat ini tengah melakukan persiapan untuk
merevaluasi aset-asetnya, dengan mulai berburu appraisal, akuntan, notaris,
konsultan pajak, dan sederet profesi terkait. Jika revaluasi bisa selesai
sebelum akhir 2015, mereka cukup
membayar pajak 3 persen saja.
Revaluasi aset juga
bisa menjadi jawaban dari tergerogotinya modal akibat melunglainya rupiah
atas dollar sekarang ini. Dengan revaluasi, perusahaan kecil dan menengah
bisa meningkatkan nilai aset dan mendongkrak permodalan sehingga bisa lebih mudah menggaet dana untuk
menggelindingkan usaha. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar