Kepret
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 22 November 2015
Masih ingat Rizal
Ramli ketika baru ditunjuk oleh Presiden Jokowi jadi menko? Salah satu
ucapannya ketika pertama kali berkonferensi pers adalah dia mau ”kepret” para
koruptor. Pada waktu itu, yang dimaksud adalah korupsi yang terkait kasus
Pelindo II.
Istilah ”kepret” di
sini dimaksudkan oleh Rizal Ramli sebagai ungkapan bahwa kasus korupsi
sebetulnya kecil saja. Dengan satu goyangan tangan (tangan digoyang
keras-keras untuk mengenai wajah atau tubuh lawan dan segera ditarik kembali)
si lawan sudah terpelanting. Maka, selesailah satu musuh! Jadi istilah
”kepret” yang diucapkan Menko Rizal Ramli berkonotasi (mengandung makna)
membuang atau mengusir sesuatu.
Sesuatu itu bisa lawan
yang berdiri sejauh capaian lengan Bapak Menko atau bisa juga sesuatu yang menempel
di ujung jarinya setelah beliau membersihkan hidungnya. Tetapi, untuk seorang
tukang sayur makna ”kepret” itu malah untuk mengundang atau mendatangkan
sesuatu. Ketika saya berolahraga jalan pagi, kebetulan seorang tukang sayur
keliling yang baru menerima uang dari seorang ibu yang baru berbelanja,
mengepretkan uangnya (tiga lembar warna biru) sambil berdoa, ”Laris manis
tanjung kimpul, dagangan abis duit ngumpul!!”.
Saya yang kebetulan
lewat mengamini, ”Amiin!!”, yang disahut oleh tukang sayur, ”Makasih, Pak”.
Jadi, kata-kata yang kita gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari bisa
mempunyai makna ganda. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) daring, arti kata ”kepret” adalah
”memercik” (kalau kita kepretkan jari kita ke air, maka air akan muncrat atau
terpercik). Itu adalah arti yang baku. Atau, dalam istilah ilmu linguistik
disebut ”denotasi”.
Tetapi, selain
denotasi, sebuah kata bisa juga mempunyai makna kontekstual, makna yang
terkait dengan situasi dan kondisi tertentu, yang bisa saja berbeda dari
makna denotasinya. Sebagai contoh, kata ”kepret” yang diucapkan oleh Bapak
Menko tersebut di atas mempunyai konotasi yang berbeda dari aksi mengepret
yang dilakukan oleh bapak tukang sayur. Orang yang paham akan konteks dari
suatu ucapan atau suatu perbuatan akan bisa mengerti arti denotasi dari suatu
kata. Tetapi, kalau tidak, orang tersebut akan bingung menangkap arti suatu
kata.
Sebagai contoh, kata
”Sukabumi” bagi hampir setiap orang berarti nama sebuah kota di Jawa Barat.
Tetapi, untuk sebagian polisi yang bertugas di bidang reserse, ”Sukabumi”
diartikan sebagai ”suka bumi”, yaitu menyukai bumi atau tanah sehingga
seorang residivis yang tertangkap kembali dan tidak ada jeranya sebaiknya
dikebumikan saja atau dengan perkataan lain (yang juga bermakna konotasi)
diselesaikan saja di tempat dan pada waktu itu juga.
Contoh lain, kata
sandi polisi ”Lapan Anam” yang oleh awam diartikan (denotasi) sebagai angka
”86”. Di lingkungan kepolisian kata ”Lapan Anam” diartikan (konotasi) sebagai
”sudah dipahami dan siap dilaksanakan”, tetapi masih bisa diselewengkan arti
konotasinya lebih jauh lagi yaitu ”saling memahami” (biasanya dalam arti
negatif antara petugas dan orang yang berhubungan dengan petugas itu).
Jadi, berbahasa
termasuk dalam kajian Ilmu Psikologi juga. Cabang yang mempelajari bahasa
dari sudut psikologi dinamakan ”Psiko Linguistik”. Masalahnya, seringkali
orang tidak menyadari bahwa bahasa atau kata-kata yang digunakannya tidak
dipahami oleh pihak yang diajak berkomunikasi. Kalangan TNI misalnya sering
menggunakan singkatan seperti menhan (menteri pertahanan), Wanhankamnas
(Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional), Yon (Batalyon), Danyon (Komandan
Batalyon), dan sebagainya.
Di lingkungan Polri
istilah-istilah singkatan antara lain ranmor (kendaraan bermotor), curanmor
(pencurian kendaraan bermotor), curas (pencurian dengan kekerasan), satwil
(kesatuan wilayah), satfung (kesatuan fungsi), dan lainnya. Tentu
istilah-istilah itu membingungkan buat yang tidak terbiasa. Tetapi, bukan
kalangan TNI/Polri saja yang bisa membingungkan orang.
Orang yang baru
pertama kali naik pesawat terbang akan kebingungan dengan terpaan puluhan
istilah baru, mulai dari arrival (kedatangan), departure (keberangkatan),
gate (pintu), aisle (lorong), seat (tempat duduk), kabin, kokpit, dan
lainnya. Bahkan dunia kampus pun bisa membingungkan.
Orang-orang seumur
saya yang kuliahnya pada 1960-an dan sejak lulus tidak pernah berhubungan
dengan kampus lagi, tidak paham apa itu UTS (dulu disebut tantamen), UTA (dulu eksamen atau
ujian), PA (pembimbing akademik, dulu tidak ada), perpus (dulu disebut
lengkap: perpustakaan). Saya pun masih suka kesulitan kalau mendengar
mahasiswa bicara tentang metopen (metode penelitian), atau remed (remedial,
atau ujian ulangan).
Begitu juga kalau saya
mengajak istri saya mencari PSK, maksud saya tentunya adalah pusat sate
kiloan, bukan pekerja seks komersial. Jadi, tidak seperti ilmu pasti, simbol-simbol
dalam bahasa jauh lebih tidak pasti. Dalam Matematika, angka ”2” ya berarti
dua, titik! Lingkaran pasti tidak sama dengan segi empat atau segi tiga, dan
Celcius adalah ukuran suhu. Titik lagi!
Tetapi yang jauh lebih
tidak pasti adalah symbol-simbol sosial. Simbol bulan sabit merah didunia
Arab sama artinya dengan Palang Merah di Indonesia. Wanita berkerudung bisa
seorang muslimah, bisa juga biarawati Katolik, dan lampu merah bisa berarti
lalu lintas harus berhenti, bisa juga berarti daerah lokalisasi.
Ketika seorang suami
mengajak istrinya main (tentu saja bukan main bola), istrinya bisa menjawab,
”Besok saja, Pah, lagi lampu merah, nih” (tentu saja maksud istrinya tidak
ada kaitannya dengan pelacur). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar