Tiga Skenario Konflik Laut Tiongkok Selatan
Makmur Keliat ;
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional
FISIP Universitas Indonesia; Analis di Kenta Institute, Jakarta
|
KOMPAS,
27 November 2015
Bagaimanakah
perkembangan skenario konflik Laut Tiongkok Selatan? Sikap apakah yang harus
diambil? Pertanyaan ini perlu dilontarkan karena perkembangan konflik Laut
Tiongkok Selatan menentukan stabilitas regional Asia Tenggara di tahun-tahun
mendatang.
Ada beberapa alasan
mengapa disebut menentukan. Pertama, Laut Tiongkok Selatan memiliki letak
geografis sangat strategis. Laut Tiongkok Selatan merupakan alur jalur laut
utama yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Timur Jauh. Alasan kedua,
konflik Laut Tiongkok Selatan ini telah berlangsung lama (protracted conflict). Lebih dari dua
dasawarsa ASEAN telah mengambil inisiatif regional untuk mencari terobosan
normatif. Namun, hingga kini formula penyelesaiannya belum sampai pada
tataran efektif-empirik. Alasan ketiga, konflik Laut Tiongkok Selatan
memiliki dimensi beragam.
Disebut memiliki
dimensi beragam karena beberapa alasan berikut. Pertama, konflik Laut
Tiongkok Selatan lebih daripada sekadar penentuan garis batas laut. Substansi
konflik ini menyangkut status kedaulatan. Ia berawal dari sengketa status
kepemilikan sekumpulan pulau-pulau kecil, dikenal dengan nama Spratly.
Mengingat pulau merupakan garis tumpu untuk penarikan garis batas laut,
konflik kedaulatan kepulauan itu kerap disebut dengan konflik Laut Tiongkok
Selatan.
Kedua, di samping
menyangkut kedaulatan, konflik Laut Tiongkok Selatan dapat disebut sebagai
konflik keamanan konvensional. Tercatat lima pelaku utamanya: Vietnam,
Filipina, Malaysia, Tiongkok, dan Taiwan. Karena banyak auktor atau tidak
bilateral, pencapaian konsensus tentang penyelesaian konflik tidaklah mudah
untuk tercapai.
Kesulitan menjadi
lebih besar karena melibatkan auktor luar kawasan (extra-regional power) yang sangat besar. Tiongkok memiliki ukuran
power yang jauh lebih besar dari
auktor-auktor lain. Kesulitan lain terkait dengan tuntutan yang beragam. Jika
Tiongkok, Vietnam, dan Taiwan mengklaim status seluruh kepulauan, Malaysia
dan Filipina mengklaim sebagian saja dari beberapa pulau kecil di Spratly
itu.
Indonesia memang tidak
terlibat secara langsung (non-claimant state).
Namun, Kepulauan Natuna berbatasan langsung dengan Kepulauan Spratly yang
dipersengketakan itu. Karena itu, situasi sengketa di Kepulauan Spratly akan
membawa pengaruh pada wilayah teritorial Indonesia seandainya mengalami
eskalasi yang tidak dapat dikendalikan.
Enam sumber konflik
Identifikasi yang
dilakukan menunjukkan adanya enam sumber konflik yang membuat Laut Tiongkok
Selatan menjadi area konflik berkepanjangan. Pertama, pertimbangan
geostrategis. Kepulauan Spratly di masa lalu telah digunakan oleh Jepang
sebagai salah satu foothold untuk
meluncurkan serangannya ke Asia Tenggara dalam Perang Dunia II.
Ada proyeksi yang
menyebutkan bahwa siapa pun yang menguasai pulau-pulau ini dapat
mengendalikan jalur laut di Laut Tiongkok Selatan. Di luar catatan historis
seperti ini, budaya strategis yang berbeda antarnegara yang bersengketa (claimant state) telah membuat
kepulauan ini menjadi sangat strategis. Bagi Vietnam, misalnya, dengan jarak
sekitar 650 kilometer dari wilayah daratnya, status Kepulauan Spratly tentu
saja sangat strategis karena menyangkut jalur laut yang menghubungkannya ke
dunia luar, terutama setelah tahun 1974 Vietnam kehilangan Paracel yang
diambil alih secara sepihak dengan kekuatan militer oleh Tiongkok. Bagi
Tiongkok sendiri, kehadirannya di Spratly akan menegaskan secara fisik
kehadiran perimeter keamanannya di Asia Tenggara.
Kedua, warisan
historis. San Francisco Treaty, September 1951, hanya menyebutkan bahwa
Jepang menghilangkan status kepemilikannya terhadap Kepulauan Spratly dan
Paracel. Namun, traktat itu tidak menyebutkan kepada siapa status kepemilikan
pulau ini dialihkan. Ini berbeda sekali dengan status pulau-pulau di Pasifik
yang disebutkan akan ditempatkan di bawah sistem Perwalian PBB. Karena itu,
klaim historis dari setiap negara terhadap Kepulauan Spratly secara hukum
selalu menjadi debatable.
Ketiga, sumber daya
kelautan. Wilayah laut di sekitar Laut Tiongkok Selatan diduga memiliki
kandungan sumber daya minyak dan gas yang luar biasa. Mengingat fakta bahwa
pasokan energi yang berkesinambungan merupakan prasyarat untuk menjadi negara
modern, konflik Laut Tiongkok Selatan adalah juga konflik perebutan sumber
energi. Konflik Laut Tiongkok Selatan merupakan arsiran antara konflik
kedaulatan teritorial dan konflik keamanan energi.
Keempat, konflik Laut
Tiongkok Selatan dipandang sebagai bagian dari transisi keseimbangan baru di
tataran internasional. Transisi tengah terjadi sebagai akibat kemunculan
kekuatan baru, yaitu Tiongkok. Tiongkok disebutkan menjadi lebih asertif dan
memiliki kepercayaan lebih tinggi dan anti status quo. Berdasarkan sudut
pandang seperti ini, beberapa menyatakan adanya kebutuhan untuk pelibatan extra-regional power lain untuk
menyeimbangkan situasi yang ada atau setidaknya menginternasionalkan konflik
Laut Tiongkok Selatan.
Kelima, terkait dengan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Tidak dapat
disangkal bahwa konvensi PBB tentang hukum laut tahun 1982 merupakan
terobosan. Bagi Indonesia, konsep negara kepulauan menjadi diabsahkan secara
norma internasional. UNCLOS juga disebut sebagai terobosan karena
memperkenalkan konsep 200 mil zona ekonomi eksklusif. Namun, di sisi lain,
justru UNCLOS ini telah memberikan dorongan yang semakin besar bagi littoral states di Laut Tiongkok
Selatan tentang betapa semakin strategisnya wilayah laut, baik secara
politik, ekonomi, maupun keamanan. Terdapat dugaan bahwa eskalasi konflik
Laut Tiongkok Selatan semakin tinggi setelah UNCLOS dibuat.
Tiga skenario
Atas dasar kumpulan
informasi yang tersebar dalam berbagai media, terdapat tiga kemungkinan
skenario untuk penyelesaian konflik Laut Tiongkok Selatan. Tiga skenario itu
saya sebut sebagai skenario ASEAN, skenario Tiongkok, dan skenario
non-Tiongkok. Skenario ASEAN pada dasarnya bertumpu pada Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Patut mencatat bahwa
Tiongkok telah juga menandatangani TAC ini. Adalah dengan landasan prinsip
normatif seperti ini pertemuan terus dilakukan dan sejauh ini telah
dihasilkan empat dokumen normatif.
Berawal dari Deklarasi
tentang Laut Tiongkok Selatan pada 1992, disusul sepuluh tahun kemudian
dengan Deklarasi tentang Perilaku di Laut Tiongkok Selatan, kemudian pada
2011 dikeluarkan pula arahan-arahan (guidelines) untuk implementasi perilaku
di Laut Tiongkok Selatan, dan pada 2012 tentang enam asas di Laut Tiongkok
Selatan. Intinya adalah bahwa penyelesaian konflik Laut Tiongkok Selatan
dilakukan secara damai dan tidak sepihak dengan menggunakan kekuatan militer.
Skenario berikutnya
adalah skenario Tiongkok. Skenario ini dibangun dengan menyatakan bahwa
Tiongkok akan mengedepankan pendekatan bilateral daripada regional. Tujuannya
disebutkan untuk memecah dan melemahkan sikap ASEAN. Hal ini dilakukan,
misalnya, dengan menekan negara-negara ASEAN yang kecil, seperti Kamboja dan
Laos (economic statecraft), untuk
tidak sepakat dengan Filipina dan Vietnam. Sebagai bagian dari skenario ini,
Tiongkok juga dipandang tengah melakukan sashimi strategy secara sepihak dan
perlahan, tetapi pasti, untuk menduduki dan merekonstruksi sebagian dari
pulau-pulau kecil yang telah dikuasainya.
Skenario berikutnya
adalah skenario non-Tiongkok. Bangunan dari skenario ini berlandaskan pada
prinsip realisme politik. Intinya, kebangkitan Tiongkok adalah suatu
kepastian. Disebutkan pula bahwa secara riil prinsip normatif ASEAN tidak
akan menjadi landasan yang kuat untuk memolakan perilaku anggotanya. Fakta
bahwa tidak satu pun konflik teritorial intra-ASEAN telah diselesaikan
melalui mekanisme regional high council menyampaikan pesan ini.
Karena itu, suka atau
tidak suka, skenario ini menyebutkan munculnya rebalancing strategy untuk
membendung Tiongkok adalah pilihan yang paling rasional. Ini berarti wilayah
Asia Tenggara kemungkinan tengah memasuki periode instabilitas saat auktor
luar kawasan, terutama Amerika Serikat dan Jepang, akan terlibat lebih secara
aktif dalam membendung Tiongkok.
Pertanyaannya adalah
skenario apakah yang harus dipakai Indonesia? Sebagai anggota ASEAN, tentu
saja Indonesia mendukung skenario bangunan normatif yang telah dirancang.
Pertanyaannya adalah jika skenario ASEAN itu tidak bekerja secara efektif.
Apakah skenario lainnya? Bagi penulis sendiri, sebagai non-claimant state,
skenario apa pun yang digunakan harus dapat melindungi kedaulatan teritorial
Indonesia di sekitar wilayah Kepulauan Spratly tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar