Senin, 23 November 2015

Optimasi Fungsi Koordinasi dan Supervisi KPK

Optimasi Fungsi Koordinasi dan Supervisi KPK

Dedi Haryadi  ;  Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia
                                                     KOMPAS, 23 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kegaduhan politik terkait rencana revisi UU KPK berhenti sejenak setelahpemerintah memutuskan menunda pembahasan. Pemerintah mau fokus membenahi perekonomian. Pilihan yang tepatdan bijak. Di sini sekali lagi terlihat Presiden sangat berpengaruh dalam menentukan nasib KPK dan dinamika pemberantasan korupsi.

Namun, penghentian sementara bukan solusi permanen, nantiakan gaduh lagi. Maka, sebaiknya kita menentukan sikappermanen dari sekarang, yaitu daripada melemahkan dan mematikan, mari terus memperkuat dan menghidup-hidupkan KPK.

Pertarungan nilai

Ini soal pertarungan nilai yang haq dan yang batil.Yang batil terus merongrong eksistensi dan kewenangan KPK, padahal KPK itu produk pemikiran dan konsensus nasional. Kita harus progresif dari segi nilai dan pemikiran karena berdasarkan informasilangitan, inilah yang nantimenang dan berjaya. Sebenarnya pertarungan nilai itu bukan hanya yang haq dengan yang batil, melainkan juga yang batil dengan yang batil atau haq dengan haq demi meraih keutamaan.

Meskipun sudah kuat dan kredibel, masih banyak yang harus diperkuat dan dihidup-hidupkan dari KPK. Di antaranya mengoptimalkan fungsi koordinasi dan supervisi. Dalam Pasal 6 UU KPK disebut limatugasKPK: a) koordinasi dengan instansi berwenang memberantas tindak pidana korupsi, (b) supervisi terhadapinstansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi, c) menyelidik, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi, d) mencegah tindak pidana korupsi, e) memonitorpenyelenggaraan pemerintahan.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi, KPK berwenang mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi. Adapun dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang mengawasi, meneliti, atau menelaah instansi yang menjalankan tugas dan wewenang yang berkait dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi lain yang melaksanakan pelayanan publik.

Yang paling penting dan fundamental dari fungsi koordinasi dan supervisi adalah kewenangan KPKmengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan.Sejak berdiri, KPK belummenjalankan fungsi koordinasi dan supervisi ini secaraoptimal.

Pengambilalihan kasus

Ada enam alasan sah (lihat Pasal 9 UU KPK) yang membolehkan KPK mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian dan kejaksaan, yaitu 1) laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, 2) proses penanganan tindak pidana korupsi berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, 3) penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya, 4) penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi, 5) hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau 6) keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan membuat penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kalau digunakan optimal, kewenangan ini akan mengantarkan pada, pertama, memperkuat keberanian dan partisipasi masyarakat dalam mengungkap dan melaporkan kasus korupsi. Pelapor kasus korupsi merasa berguna karena laporan mereka serius ditindaklanjuti. Kedua, mengurangi prevalensi korupsi yudisial yang melibatkan aparat kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan pengacara. Ketiga, mengurangi campur tangan dalam penanganan kasus korupsi. Keempat, mengurangi praktik mengATM-kan kasus korupsi, yaitu kasus korupsi sengaja dijadikan ”mesin” bagi-bagi uang.

Ada tiga modus dalam meng-ATM-kan kasus korupsi. Kasus itu diabortuskan, dibiarkan mangkrak, diproses secara hukum sampai tuntas, tetapi dengan skenario bebas atau berhukuman rendah. Ini pengalaman pribadi. Seorang tersangka kasus korupsi yang di-ATM-kan dengan skenario bebas, begitu diputus bebas, langsung memberikan kesaksian bahwa ia bobol menghabiskan ratusan juta rupiah dalam proses peradilan.

Asas peradilan yang cepat, sederhana, dan murah tak terealisasi karena penyelesaian kasus butuh waktu empat tahun, berbelit, dan mahal. Mencuat dugaan permufakatan jahat dalam penanganan kasus korupsi dana bantuan sosial yang melibatkan gubernur Sumut, hakim PTUN, sekjen partai politik, kejaksaan, dan pengacara. Inilah varian kasus yang diduga dijadikan ATM.

Kejagung sudah mengirim sinyal mempersilakan KPK mengambil alih kasus korupsi ini. Untuk menguji kemampuan KPK dalam mengoptimalkan fungsi koordinasi dan supervisi, sebaiknya peluang ini diambil. Dugaan kasus korupsi pembangunan BJB Tower di Jawa Barat, yang diduga melibatkan komisioner BJB, juga bisa diambil.

Presiden Jokowi sudah membaui praktik kotor ini. Dalam peringatan Hari Jadi Kejaksaan, Juli lalu, di hadapan korps jaksa, Presiden meminta supaya praktik ini segera dihentikan.

Kaliber kepemimpinan

Rangkaian konflik cicak versus buaya menyajikan pengalaman dan hikmah berharga tentang bagaimana sebaiknya fungsi koordinasi dan supervisi KPK.

Pertama, perlunya kaliber kepemimpinan yang lebih besar di kepolisian, kejaksaan, dan terutama di KPK dan kepresidenan. Kepemimpinan dengan wibawa dan determinasi tinggi dibutuhkan untuk atasi ego sektoral.

Ego sektoral tak lain adalah kecemburuan kewenangan dan benturan kepentingan aparat kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Fungsi koordinasi dan supervisi memang berpotensi memunculkan benturan kepentingan karena menempatkan KPK sebagai dirigen dalam orkestrasi pemberantasan korupsi.

Kalau kaliber kepemimpinan di kejaksaan dan kepolisian memadai, tak perlu kiranya kejaksaan dan kepolisian menarik jaksa/penyidik yang dikaryakan di KPK. Tak perlu muncul juga keinginan kejaksaan dan kepolisian memiliki kuasa menyadap seperti halnya KPK. Pasal 8 Ayat 3 UU KPK memerintahkan kepolisian atau kejaksaan menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan ke KPK, paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya permintaan pengambilalihan oleh KPK.

Absennya kepemimpinan

Belum optimalnya KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi sama sekali bukan karena keterbatasan sumber daya dan skala prioritas, tetapi lebih terkait pada absennya kaliber kepemimpinan. Mudah-mudahan seleksi calon komisioner KPK sekarang menghasilkan komisioner yang mumpuni.

Kedua, membangun protokol komunikasi yang baik dan jelas antara kepolisian, kejaksaan, KPK, dan kepresidenan. Protokol ini bukan mengatur komunikasi pribadi antar-pimpinan, melainkan lebih institusional sifatnya. Serial perselisihan cicak versus buaya disebabkan dan diperburuk oleh absennya protokol komunikasi ini dan baru membaik setelah difasilitasi presiden.

Ketiga, mengembangkan mekanisme penyelesaian perselisihan/konflik. Konflik itu sesuatu yang natural dalam organisasi, apalagi antar-organisasi yang tugasnya sama dalam memberantas korupsi, tetapi sumber daya dan kewenangan berbeda.

Tiga langkah itu tidak hanya dapat mengoptimalkan fungsi koordinasi dan supervisi KPK, tetapi juga prospektif meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan efikasi pencegahan dan pemberantasan korupsi, sekaligus meredam risiko konflik KPK dengan kepolisian dan kejaksaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar