Pianis
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
22 November 2015
Ketika duka masih
begitu tebal menutup Paris; ketika orang masih menyalakan lilin dan
meletakkan bunga di depan gedung konser Le Bataclan; ketika begitu banyak
orang masih berdiri termangu, bergerombol dalam kediaman dan dikuasai
ketakutan, kegeraman, kemarahan, dan juga pertanyaan besar—mengapa mereka
menembaki orang-orang tak bersalah?—di depan Bataclan, Davide Martello (34)
mengayuh sepedanya yang menarik grand
piano warna hitam beroda. Martello terus mengayuh sepedanya menembus
kumpulan orang yang berdiri tak jauh dari Le Bataclan, 50 Boulevard Voltaire.
Le Bataclan didirikan
pada tahun 1864 dan diberi nama Le
Grand Cafe Chinois-Theatre Bataclan serta menjadi pusat kehidupan malam
dan musik. Malam sebelumnya, di dalam gedung itu, digelar konser grup musik
pop-rock, Eagles of Death Metal,
asal AS. Ketika lagu ”Kiss the Devil”
mulai diteriakkan, pada saat itulah pembantaian terjadi: 89 orang tewas di
tempat tersebut.
Mereka mati karena
selera musik mereka, pakaian mereka, model rambut mereka, gagasan kesenangan
mereka, kebahagiaan mereka menikmati minuman dan makanan, pandangan mereka
tentang cinta dan tentang kehidupan, joie
de vivre, kegembiraan hidup, serta karena mereka berpendapat jouissez sans entraves, kesenangan
tanpa batas. Karena semua itu, di mata para teroris, mereka pantas mati.
Tanpa banyak bicara,
Martello berhenti, melepas piano dari kaitan dengan sepedanya, membuka tutup
piano bergambar simbol perdamaian dan memainkan lagu yang membuat orang
tersentak. Suasana yang hening dalam duka, semakin hening saat terdengar lagu
Imagine-nya John Lennon, menyeruak
langit Paris, Sabtu, 14 November, sehari setelah tragedi. Orang-orang pun
bergeser dan mengerubungi Martello yang dengan penghayatan memainkan salah
satu lagu wajib perdamaian itu.
Imagine secara khusus
berbicara tentang perlunya disingkirkannya purbasangka nasionalis dan
religius. Para penonton terharu mendengarkan denting piano melagukan Imagine. Mereka mulai berpegangan
tangan sambil menundukkan kepala, meneteskan air mata mengenang para korban.
Mereka seakan mendengar John Lennon, yang ditembak mati Mark David Chapman di
depan apartemennya di New York pada 8 Desember 1980, bernyanyi: Imagine there’s no countries/ It isn’t
hard to do/ Nothing to kill or die for/ And no religion too/ Imagine all the
people living life in peace....
Orang tak tahu siapa
pianis itu, yang belakangan diketahui bernama Davide (David) Martello.
Martello, yang dalam tubuhnya mengalir darah Jerman-Italia, dan kini tinggal
di Berlin, sebelumnya di Sicilia, dikenal dengan nama Klavierkunst, jagoan
piano. Dua tahun lalu, ia tiba-tiba muncul di Taksim Square, Istanbul, ketika
pecah demonstrasi anti PM Recep Tayyip Erdoggan, main piano. Martello pun
dikenal sebagai ”Piano Man of Taksim
Square”.
Saat serangan teror
terjadi di Paris, Perancis, Martello sedang berada di sebuah pub di Konstanz,
Jerman. Sambil minum-minum, ia menonton pertandingan sepak bola antara Jerman
dan Perancis. Malam itu, 13 November 2015, ia mendengar serangan teror yang
mematikan. Tanpa berpikir panjang, ia menaikkan pianonya ke atas mobil
trailer dan menyusuri jalan dari Konstanz hingga Paris sejauh 643,74
kilometer.
Tidak ada yang
menyuruh ia pergi ke Paris. Martello hanya ingin memainkan musik, musik yang
mampu menghadirkan perdamaian, mengusir permusuhan, kekejaman, memperkokoh
persaudaraan. ”Suara hatiku-lah yang
menuntunku ke sana,” tutur Martello, sama seperti ketika ia muncul di
tengah massa demonstran di Taksim Square, di Kiev, dan Donetsk.
Martello tak
berlebihan. Ia berusaha menumbuhkan perdamaian lewat musik meski mungkin ada
yang ragu. Tetapi, seperti John Lennon dalam lagunya. You may say I’m a dreamer/ But I’m not the only one/ I hope someday
you’ll join us/ And the world will be as one. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar