Buku Anak dan Identitas Indonesia di FBF 2015
Sofie Dewayani ;
Penulis Buku Anak; Peneliti Sastra
Anak
|
MEDIA
INDONESIA, 23 November 2015
PERHELATAN akbar Frankfurt Book Fair (FBF)
sudah usai. Lampu sorot yang menerangi panggung utama tempat Indonesia tampil
sebagai tamu kehormatan telah dipadamkan. Properti pertunjukan telah dikemas.
Buku-buku yang mendandani penampilan Indonesia di panggung pentas dunia itu
kembali ke tempatnya semula di negeri ini. Mereka (buku-buku) meng huni
sudut-sudut sunyi. Kesempatan tampil dan menjadi pusat perhatian di ajang
seperti Frankfurt Book Fair ialah kemewahan bagi bukubuku produksi dalam
negeri.
Realitas bagi buku-buku karya anak negeri ini
ialah menghadapi kenyataan bahwa buku masih merupakan komoditas industri.
Dengan tingkat minat baca dan daya beli masyarakat yang rendah, harga kertas
yang terus melonjak, masalah pembajakan, dan pajak pertambahan nilai (PPN)
buku, produksi buku-buku di dalam negeri masih berjuang untuk memenuhi target
penjualan yang sering begitu sulit diraih. Buku anak Indonesia, terutama,
masih belum menjadi produk budaya.
Realitas buku anak Indonesia tak seindah logo
17 ribu Pulau Imaji (17.000 Islands of
Imagination) bernuansa monokrom yang menjadi slogan Guest of Honour tahun ini. Dengan merepresentasikan
kemajemukan Indonesia, logo-logo ini merupakan rangkaian titik-titik piksel
yang secara imajinatif membentuk gambar candi, reog, gunungan wayang, dan
artefak lain yang sangat Indonesia. Saat tersebar di pusat-pusat keramaian dan
Terminal S-Bahn, logo-logo ini mengundang pengamatan multiperspektif dan
imajinasi kreatif.
Imaji ini mengingatkan kita bahwa Indonesia,
sebagaimana tutur Benedict Anderson (1991), ialah sebuah imagined community. Meskipun mungkin tak mengenal atau bahkan
bertemu satu sama lain, kita mengembangkan ikatan kebangsaan dengan
membayangkan Indonesia sebagai komunitas yang kohesif. Melalui logo-logo itu,
Indonesia tampil dalam wajahnya yang majemuk, terbuka, dan kreatif. Sayangnya
identitas itu kurang tecermin dalam buku-buku anak Indonesia yang dipajang di
pentas Frankfurt Book Fair.
Buku bacaan ialah buah pikir yang merefleksikan
perjalanan sebuah bangsa dalam berproses memaknai jati dirinya yang unik.
Melalui buku, sebuah bangsa membuka dirinya untuk dipelajari dan dimengerti
bangsa lain. Buku ialah karya intelektual yang merekam jejak pemikiran
seseorang yang dibesarkan dalam konteks budaya tertentu.
Dengan demikian, buku ialah produk budaya yang
merekam proses pencarian jati diri bangsa. Bagi pembaca anak, buku bacaan
membantunya untuk memahami identitasnya, siapa dia dan di mana ia tumbuh dan
dibesarkan. Sebuah buku akan membantu anak untuk memahami lingkungan sosial
dan bangsanya.
Identitas kebangsaan memang seharusnya tidak
dipahami secara stagnan. Indonesia tumbuh secara dinamis sebagai bangsa,
begitu pun anak-anak Indonesia. Anak tumbuh dalam lingkungan sosial yang
menghadirkan tantangan demi tantangan. Kemiskinan struktural, bencana alam
akibat menurunnya kualitas lingkungan, dan sistem pendidikan yang semakin
kompetitif ialah realitas modern yang mereka akrabi. Di samping itu,
keragaman budaya menuntut anak-anak untuk piawai menyesuaikan diri. Adakah
multikulturalisme, isu sosial, dan lingkungan terartikulasikan dengan baik
dalam bacaan anak kontemporer? Sayangnya tidak.
Yang termasuk dalam dinamika itu ialah
tantangan pasar global. Penetrasi budaya pop seperti Disney dan Pixar
menghantarkan tokoh-tokoh idola baru dunia anak, seperti Putri Elsa dan Putri Sovia
ke penjuru dunia. Buku-buku bergambar diproduksi dengan gaya ilustrasi ala Disney. Di Indonesia, figur-figur
putri dan tokoh-tokoh Disney ini
mengalami rekontekstualisasi. Tokoh-tokoh rekaan ini berkulit putih dan
berpipi semu merah seperti tokoh populer itu. Bedanya, mereka berkerudung dan
berbusana menutup aurat. Imitasi dan rekontekstualisasi tentu ialah hal yang
sangat wajar dalam industri.
Yang diperlukan anak Indonesia ialah ragam
bacaan yang kaya yang terdiri atas buku terjemahan, buku anak mengusung
budaya populer, dan buku-buku bernuansa budaya lokal yang membantu mereka
memaknai identitas. Tampilnya Indonesia di panggung utama FBF 2015 memicu
rasa penasaran beberapa penerbit asing untuk mengetahui wujud buku anak yang
autentik Indonesia. Sayangnya mereka tak menemukan wujud itu.
Orient Verlag, sebuah penerbit Jerman,
menganalisis bahwa buku-buku anak Indonesia masih berorientasi pada mass market, dengan cerita dan gaya
ilustrasi yang berkiblat pada Disney.
Indonesia tertinggal jauh dari Spanyol, India, dan Iran yang memiliki
beberapa penerbit kecil yang fokus menerbitkan buku-buku dengan ilustrasi
berkualitas yang sangat menonjolkan ornamen budaya khas bangsa mereka.
Buku-buku seperti ini tentunya diproduksi dengan investasi waktu dan dana
yang memberikan keleluasaan bagi terciptanya sebuah produk budaya bercita
rasa tinggi.
Keingintahuan pembaca asing terhadap buku
autentik Indonesia menjelaskan alasan buku-buku anak kontemporer bernuansa
budaya Indonesia yang diterbitkan Yayasan Litara dan buku adaptasi cerita rakyat dari KPBA (Komunitas Pecinta
Bacaan Anak)
yang dijual di depan paviliun Indonesia habis terjual dalam sekejap. Dua penerbit ini
ialah yayasan nirlaba yang tidak memasarkan buku secara massal di toko-toko
buku besar karena tingginya rabat toko-toko buku ini.
Meskipun telah memenangi beberapa ajang
kompetisi buku anak tingkat Asia dan dunia, buku-buku itu terus diproduksi
dalam sunyi dan didistribusikan di luar rimba industri buku anak. Upaya itu
membuktikan bahwa industri produksi budaya (cultureproducing industry) berusaha bertahan dalam marjin dunia
perbukuan. Entah sampai kapan ini akan bertahan.
Tulisan ini tentunya tidak menafikan peran
industri perbukuan Indonesia di arena global. Di FBF 2015, Indonesia masih menjadi kiblat
buku-buku anak bernuansa religius. Fakta bahwa buku-buku anak Indonesia
diterjemahkan dan didistribusikan di negara-negara berpenduduk mayoritas
Muslim seperti Pakistan, Turki, dan Malaysia merupakan catatan pencapaian
yang membanggakan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa industri buku di
Indonesia masih berfokus pada memproduksi buku sebagai media untuk
menyampaikan nilai-nilai moral. Sekali lagi, buku anak belum menjadi produk
budaya literasi yang mengembangkan kemajemukan.
FBF 2015 meninggalkan satu pertanyaan penting.
Apakah dunia produksi buku anak benar-benar ingin menciptakan segmen pembaca
yang literer? Pertanyaan ini terdengar seperti utopia. Saat ini, penerbit buku anak mati-matian harus bertahan
dengan--mau tak mau--memperlakukan penulis dan ilustrator cerita anak sebagai
buruh industri. Penulis dan ilustrator harus bisa bekerja cepat memproduksi
tema cerita dan gaya ilustrasi yang diprediksi akan disukai konsumen.
Sementara itu, dikabarkan, di negeri jiran Malaysia, pemerintah bertindak proaktif
mendukung produksi buku-buku anak bernuansa budaya lokal--tema-tema yang
kurang diminati penerbit besar--untuk didistribusikan di perpustakaan dan
sekolah di penjuru negeri. Di Indonesia, penerbit buku anak harus cukup puas ditampilkan
di panggung gemerlap sesekali untuk kemudian berjibaku sendiri di sudut sepi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar