Kamis, 19 November 2015

Sindrom Kocek Mampet

Sindrom Kocek Mampet

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                                  REPUBLIKA, 07 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saat ini, pe­me­rin­tah seperti terkena dampak El Nino. Isi kantong peme­rintah terancam kering ke­ron­tang. Pasalnya, kocek pemerintah seperti dilanda sindrom “besar pasak dari­pada tiang” alias  jumlah pemasukan jauh di bawah pengeluaran.

Sampai September 2015, realisasi pendapatan dan hibah tercatat sebesar Rp 989,9 triliun. Di sisi lain, belanja negara ternyata  su­dah mencapai Rp 1.248,9 triliun. Jadi walhasil, ada kekurangan anggaran atau defisit anggaran sekitar Rp 259,2 triliun.

Seperti biasa, peme­rin­tah akan menutup defisit  dengan utang. Tahun ini, target utang yang dipatok pemerintah  adalah sebesar Rp 222,5 triliun. Namun rumitnya, ternyata sampai September 2015, peme­rin­tah sedang berada dalam posisi berutang (secara gross) senilai Rp 263,8 triliun atau setara 118% dari target utang tahun ini.

Sehingga telisik demi telisik, akhirnya pemerintah hanya memiliki sisa angga­ran arus kas (cash flow) sekitar Rp 4,6 trilliun. Nilai itu jauh di bawah kondisi normal yang rata-rata bera­da di angka Rp 20-an triliun.

Nah, kerontangnya ke­uangan pemerintah inilah yang kemudian mulai me­micu kekhawatiran Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan beberapa hari lalu, presiden pun memanggil Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito. Hal ini tentu sangat bisa dipa­hami, karena masalah uta­ma yang membuat  anggaran pemerintah kering-keron­tang adalah melesetnya pe­ne­rimaan pajak.

Jika dilihat data ter­baru Ditjen Pajak  per 4 No­vember 2015, ternyata penerimaan pajak ha­nya men­capai Rp 774,5 triliun atau 59,8% dari tar­get. Angka ini jauh lebih rendah 0,23% diban­ding­kan de­ngan pene­rimaan perpajakan pada periode yang sa­ma tahun lalu.

Usut punya usut, seca­ra tek­nis, se­to­ran pajak me­ngalami pe­nu­ru­nan karena melandainya penerimaan Pa­­­­jak Per­tam­ba­han Nilai (PPN) dan Pajak Pen­jua­lan atas Barang Me­wah (PPn­BM) se­besar 2,51%, saat ini baru tercatat se­be­sar Rp 312 tri­liun. Selain itu, PPh migas juga turun 41,3% menjadi Rp 43,8 triliun. 

Berda­sar­kan data tersebut,  satu-satunya penolong yang mem­­buat penerimaan sek­tor perpajakan menjadi agak lumayan datang  dari PPh non migas yang tumbuh 10,60% menjadi Rp 400,4 triliun.

Lalu bagaimana peme­rin­tah akan me­­nutupi belan­ja di akhir tahun? Berda­sarkan dalih da­ri Dir­jen Pa­jak, usa­ha yang akan dilaku­kan untuk me­nutupi ke­ku­rangan peneri­maan adalah dengan fokus  mengejar pene­ri­ma­an pajak hing­ga Rp 300 tri­liun da­lam dua bu­­lan te­ra­khir  su­­paya ke­ku­rangan peneri­maan pajak (shortfall) tidak mele­bihi angka Rp 160 triliun.

Secara matematis, jum­lah tersebut akan berasal dari penerimaan bulan November sebesar Rp 80 tri­liun dan bulan Desember 2015 sebesar Rp 100 triliun. Dan se­lebihnya se­nilai Rp 120 triliun akan dicongkel da­ri reinventing policy. Kira-ki­ra de­mi­kian­lah pem­be­la­an dari pe­tinggi Dirjen Pajak.

Sejatinya, ren­dahnya po­­­sisi cash flow peme­rin­tah ini me­mang belum ter­la­lu meng­kha­watirkan. Toh, saat ini faktanya belanja peme­rintah memang relatif lambat se­hingga masih me­mi­liki cu­kup uang untuk waktu-wak­tu mendatang. Jika­pun me­mang sudah da­lam kondisi yang sangat emergency mi­salnya, sebenanrnya  pe­merintah ma­sih memiliki opsi untuk me­nga­tasi ke­ke­ri­ngan cash flow de­ngan me­narik utang siaga, mi­sal­nya. Meskipun demikian, so­lu­si cepat semacam ini tentu bukan tan­pa risiko. Se­hingga, pe­merintah harus tetap berhati-hati dan diha­rap­kan  tetap bisa berke­pu­tusan se­ca­ra pru­dent ka­­re­­na bunga utang yang sifat­nya “kepepet” dan “dada­­kan”  seringkali super ma­hal.

Pun tak berbeda dengan APBN 2016, pemerintah sudah mewanti-wanti akan menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 327,2 triliun. Jumlah ini terbilang lebih tinggi diban­dingkan yang tercatat di dalam APBN Perubahan 2015 yang  cuma sebesar Rp 265 triliun. Berdasarkan pernyataan menteri keuangan, pemerintah akan men­­cari waktu tepat untuk men­cetak utang, bahkan sudah siap dengan strategi  front loading.

Strategi Front loading atau mempercepat pener­bi­tan SBN di awal tahun, merupakan strategi yang me­mang sudah diterapkan pe­me­rintah sejak awal tahun ini. Lihat saja, sejak awal tahun 2015, pemerintah gencar menerbitkan surat utang dengan denominasi valuta asing, mulai dari global bond senilai $ 4 mi­liar, global sukuk senilai $ 2 miliar, samurai bond sebe­sar $ 1 miliar, dan euro bond sebanyak 1,5 miliar.

Dari cara pemerintah menyikapi ancaman keke­ri­ngan kocek tersebut  terlihat bahwa sebenarnya pemerin­tah sangat sadar bahwa anca­man penurunan penerima­an negara memang sedang mengintai. Persoalan uta­ma­nya tentu akibat perlam­batan ekonomi yang kian jelas sejak awal tahun, se­hing­ga sumber-sumber pen­da­patan perpajakan utama  juga mengalami perngeru­cutan pendapatan, menga­lami perlambatan pertum­buhan, dan mengalami 
kemandegan ekspansi usaha.

Jadi pendek kata, sangat wajar kiranya jika kemudian banyak pihak yang meragu­kan kemampuan peme­rin­tah dalam mencapai ber­bagai target dan ketetapan-ketetapan eko­nomi ma­kro yang telah di­sepakati dalam APBN 2016. Pasalnya kera­guan yang mun­cul ber­ban­ding lu­rus de­­­ngan ren­­tetan ke­ga­­galan pe­me­rintah da­lam me­realisasikan mimpi APBN 2015.

Belanja pemerintah yang cen­drung melambat mem­buat vitalitas per­tum­buhan eko­­nomi yang me­­mang sudah lo­­yo malah men­­­­­­jadi sema­kin loyo, di­tam­bah pula dengan im­pli­kasi el ni­no dan ke­pu­ngan asap yang mem­per­­bu­ruk di­namika bis­nis di daerah Sumatera, Ka­­limantan dan Irian. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar