Sindrom Kocek Mampet
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
REPUBLIKA,
07 November 2015
Saat ini, pemerintah
seperti terkena dampak El Nino. Isi kantong pemerintah terancam kering kerontang.
Pasalnya, kocek pemerintah seperti dilanda sindrom “besar pasak daripada
tiang” alias jumlah pemasukan jauh di bawah pengeluaran.
Sampai September 2015,
realisasi pendapatan dan hibah tercatat sebesar Rp 989,9 triliun. Di sisi
lain, belanja negara ternyata sudah mencapai Rp 1.248,9 triliun. Jadi
walhasil, ada kekurangan anggaran atau defisit anggaran sekitar Rp 259,2
triliun.
Seperti biasa, pemerintah
akan menutup defisit dengan utang. Tahun ini, target utang yang dipatok
pemerintah adalah sebesar Rp 222,5 triliun. Namun rumitnya, ternyata
sampai September 2015, pemerintah sedang berada dalam posisi berutang
(secara gross) senilai Rp 263,8 triliun atau setara 118% dari target utang
tahun ini.
Sehingga telisik demi
telisik, akhirnya pemerintah hanya memiliki sisa anggaran arus kas (cash
flow) sekitar Rp 4,6 trilliun. Nilai itu jauh di bawah kondisi normal yang
rata-rata berada di angka Rp 20-an triliun.
Nah, kerontangnya keuangan
pemerintah inilah yang kemudian mulai memicu kekhawatiran Presiden Joko
Widodo (Jokowi). Bahkan beberapa hari lalu, presiden pun memanggil Direktur
Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito. Hal ini tentu sangat bisa dipahami,
karena masalah utama yang membuat anggaran pemerintah kering-kerontang
adalah melesetnya penerimaan pajak.
Jika dilihat data terbaru
Ditjen Pajak per 4 November 2015, ternyata penerimaan pajak hanya mencapai
Rp 774,5 triliun atau 59,8% dari target. Angka ini jauh lebih rendah 0,23%
dibandingkan dengan penerimaan perpajakan pada periode yang sama tahun
lalu.
Usut punya usut, secara
teknis, setoran pajak mengalami penurunan karena melandainya
penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) sebesar 2,51%, saat ini baru tercatat sebesar Rp
312 triliun. Selain itu, PPh migas juga turun 41,3% menjadi Rp 43,8 triliun.
Berdasarkan data tersebut, satu-satunya penolong yang membuat
penerimaan sektor perpajakan menjadi agak lumayan datang dari PPh non
migas yang tumbuh 10,60% menjadi Rp 400,4 triliun.
Lalu bagaimana pemerintah
akan menutupi belanja di akhir tahun? Berdasarkan dalih dari Dirjen Pajak,
usaha yang akan dilakukan untuk menutupi kekurangan penerimaan adalah
dengan fokus mengejar penerimaan pajak hingga Rp 300 triliun dalam
dua bulan terakhir supaya kekurangan penerimaan pajak (shortfall) tidak
melebihi angka Rp 160 triliun.
Secara matematis, jumlah
tersebut akan berasal dari penerimaan bulan November sebesar Rp 80 triliun
dan bulan Desember 2015 sebesar Rp 100 triliun. Dan selebihnya senilai Rp
120 triliun akan dicongkel dari reinventing policy.
Kira-kira demikianlah pembelaan dari petinggi Dirjen Pajak.
Sejatinya, rendahnya posisi cash flow pemerintah
ini memang belum terlalu mengkhawatirkan. Toh, saat ini faktanya belanja
pemerintah memang relatif lambat sehingga masih memiliki cukup uang
untuk waktu-waktu mendatang. Jikapun memang sudah dalam kondisi yang
sangat emergency misalnya, sebenanrnya pemerintah masih memiliki
opsi untuk mengatasi kekeringan cash
flow dengan menarik
utang siaga, misalnya. Meskipun demikian, solusi cepat semacam ini tentu
bukan tanpa risiko. Sehingga, pemerintah harus tetap berhati-hati dan diharapkan
tetap bisa berkeputusan secara prudent karena
bunga utang yang sifatnya “kepepet” dan “dadakan” seringkali super
mahal.
Pun tak berbeda dengan
APBN 2016, pemerintah sudah mewanti-wanti akan menerbitkan surat berharga
negara (SBN) sebesar Rp 327,2 triliun. Jumlah ini terbilang lebih tinggi
dibandingkan yang tercatat di dalam APBN Perubahan 2015 yang cuma
sebesar Rp 265 triliun. Berdasarkan pernyataan menteri keuangan, pemerintah
akan mencari waktu tepat untuk mencetak utang, bahkan sudah siap dengan strategi front
loading.
Strategi Front loading
atau mempercepat penerbitan SBN di awal tahun, merupakan strategi yang memang
sudah diterapkan pemerintah sejak awal tahun ini. Lihat saja, sejak awal
tahun 2015, pemerintah gencar menerbitkan surat utang dengan denominasi
valuta asing, mulai dari global bond senilai $ 4 miliar, global sukuk
senilai $ 2 miliar, samurai bond sebesar $ 1 miliar, dan euro bond sebanyak
1,5 miliar.
Dari cara pemerintah
menyikapi ancaman kekeringan kocek tersebut terlihat bahwa sebenarnya
pemerintah sangat sadar bahwa ancaman penurunan penerimaan negara memang
sedang mengintai. Persoalan utamanya tentu akibat perlambatan ekonomi yang
kian jelas sejak awal tahun, sehingga sumber-sumber pendapatan perpajakan
utama juga mengalami perngerucutan pendapatan, mengalami perlambatan
pertumbuhan, dan mengalami
kemandegan ekspansi usaha.
Jadi pendek kata, sangat
wajar kiranya jika kemudian banyak pihak yang meragukan kemampuan pemerintah
dalam mencapai berbagai target dan ketetapan-ketetapan ekonomi makro yang
telah disepakati dalam APBN 2016. Pasalnya keraguan yang muncul berbanding
lurus dengan rentetan kegagalan pemerintah dalam merealisasikan
mimpi APBN 2015.
Belanja pemerintah yang
cendrung melambat membuat vitalitas pertumbuhan ekonomi yang memang
sudah loyo malah menjadi semakin loyo, ditambah pula dengan implikasi el
nino dan kepungan
asap yang memperburuk dinamika bisnis di daerah Sumatera, Kalimantan
dan Irian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar