Hitam Putih atau Warna-warni?
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
22 November 2015
Pagi hari itu adalah
waktu yang paling afdal membuka media sosial sambil sarapan. Malah lebih
afdal menikmati yang tersedia di media sosial ketimbang yang tersedia di
piring makan. Karena setelah menyantap makan pagi, ritual mencuci piring
harus dilakukan. Sementara membaca media sosial, saya malah bisa cuci mata.
Dua warna
Cuci mata di media
sosial pagi itu membuat saya penasaran dengan dua hal. Pertama, melihat
account seseorang di Instagram berupa foto-foto yang semuanya berwarna hitam
putih. Kedua, membaca sebuah artikel di Twitter berjudul 25 cara menjadi
manusia yang lebih berbahagia.
Waktu melihat
foto-foto itu, penasarannya bukan soal obyek yang diabadikan, melainkan lebih
pada keinginan untuk mengetahui mengapa seseorang memilih menggunakan dua
warna itu untuk mengabadikan sebuah dunia yang penuh warna ini.
Rasa penasaran itu
mengundang otak melahirkan sejuta tanya. Apakah manusia yang menyukai dua
warna itu sejujurnya menjalani kehidupannya juga secara hitam putih semata?
Kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak. Yang pasti-pasti saja, yang
bisa diperhitungkan.
Apakah sejujurnya
mereka adalah manusia yang mudah keder kalau melihat banyak warna, yang bisa
jadi melahirkan kebingungan? Sehingga untuk mencegah agar tidak pusing tujuh
keliling, mereka memilih untuk melihat dunia yang penuh warna dari kacamata
hitam putihnya.
Atau sebaliknya,
karena menyukai dua warna ekstrem itu, apakah mereka adalah makhluk yang
mudah menilai, mudah mengambil keputusan, bukan orang yang dihanyutkan oleh
beragam keadaan karena buat mereka hidup hanya memiliki dua pilihan.
Suka atau tidak suka.
Wajar atau tidak wajar. Korup atau tidak. Jelek atau tidak jelek. Pintar atau
bodoh. Mau maju atau tidak. Dengan demikian, mereka adalah manusia yang tak
akan mengusung falsafah membeli kucing dalam karung sehingga orang lain atau
siapa pun yang berteman dengan mereka akan mudah untuk menilai. Apa yang kamu
lihat, itu yang kamu dapati.
Apakah manusia yang
hitam putih adalah manusia yang menyebalkan? Karena hanya melihat semua
keadaan secara hitam putih semata sehingga mereka adalah makhluk yang bisa
dianggap kurang fleksibel, tak ada toleransi.
Aneka warna
Hal kedua yang membuat
saya penasaran adalah melihat satu artikel dalam bahasa Inggris, yang kalau
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul 25 cara menjadi manusia yang
lebih berbahagia. Saya tak membaca isinya, bukan karena malas, melainkan otak
ini lebih cepat bergerak mengajak diskusi soal kebahagiaan dilihat dari
kacamata hitam putih dan yang penuh warna.
Apakah arti berbahagia
itu? Apakah arti menjadi lebih berbahagia itu? Apakah mereka yang suka hitam
putih akan melihat bahwa berbahagia itu adalah sebuah keadaan ketika
seseorang mampu memisahkan secara tegas antara hal yang harus diubah dan
sesuatu yang harus diterima mentah-mentah?
Apakah dengan orang
yang demikian, ingin menjadi lebih berbahagia tidak ada dalam kamus mereka?
Karena hitam putih sudah cukup memberi mereka rasa nyaman, memudahkan mereka
memutuskan perkara, memudahkan melihat yang tidak membuat mereka bahagia dan
yang membuat mereka bersukacita. Jadi apa perlunya menjadi lebih?
Sebaliknya apakah
berbahagia buat mereka yang menyukai sejuta warna adalah keadaan di mana
mereka bisa melakukan apa saja? Bisa ini, bisa itu, lari sana, lari sini,
loncat ke kanan, loncat ke kiri? Apakah karena mereka terbiasa dengan sejuta
warna, mereka juga memimpikan sejuta keinginan untuk dilakukan, termasuk
keinginan untuk lebih berbahagia, setelah mendapatkan kesempatan untuk lari
dan loncat ke sana dan kemari?
Karena mereka terbiasa
dengan keadaan yang warna-warni, apakah toleransi mereka akan lebih tinggi,
sangat fleksibel, tidak mudah tertekan, dan mudah beradaptasi dengan sebuah
situasi? Mereka tidak berhenti ketika melihat jalan buntu dan kemudian
frustrasi karenanya. Mereka akan melihat kebuntuan sebagai sebuah warna
kehidupan.
Apakah mereka adalah
makhluk yang tidak mudah tersinggung dan tersakiti karena lentur? Mereka
mudah melihat bahwa sejuta warna dalam perjalanan kehidupan mereka, sebagai
sebuah bentuk mengenyangkan jiwa dan raga, yang bisa jadi ketika manusia
hitam putih melihat yang penuh warna itu, seperti sedang melihat manusia yang
mengawang-awang dan tidak tegas.
Nah, pertanyaannya
sekarang. Apakah hitam dan putih itu baik? Apakah yang berwarna yang justru
baik? Yang mana yang berbahagia atau yang lebih berbahagia? Mungkin
masalahnya bukan soal hitam putih atau berwarna, mungkin masalahnya bukan
soal ingin lebih berbahagia, mungkin setiap makhluk harus mampu melihat
kebahagiaan dengan menggunakan kacamatanya sendiri dan tidak meminjam
kacamata orang lain.
Mungkin menggunakan
kacamata sendiri itu akan membuat seseorang lebih peka untuk merasa cukup,
memudahkan aktivitas bersyukur dilakukan, dan mencegah datangnya perasaan iri
hati. Mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar