Teror Paris, Teror Global
Husein Ja'far Al Hadar ; Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 17 November 2015
Serangan teror di
Paris, Prancis, baru-baru ini, telah mengguncang dunia. Sejumlah teror lain
juga pernah menyergap negeri itu, termasuk teror di kantor Charlie Hebdo pada
7 Januari 2015 yang menewaskan 12 jurnalis. Namun teror kali ini menjadi yang
paling mengerikan sejak Perang Dunia II. Presiden Prancis Francois Hollande
berjanji tak akan memberi ampun kepada jaringan pelakunya. Bahkan media-media
Prancis dan Eropa menyebutnya sebagai "perang". Apa yang perlu
menjadi catatan atas insiden ini?
Pertama, terorisme
(dengan induk organisasi terpopulernya kini adalah ISIS, sebelumnya Al-Qaidah
dan Taliban) adalah masalah global, bukan lagi problem regional Timur Tengah.
Negara-negara dunia dan masyarakat global bukan lagi hanya harus bersatu
melihat terorisme sebagai ancaman bagi Timur Tengah, melainkan bagi seluruh
negara di dunia. Kita harus membangun solidaritas untuk dunia, bukan lagi
Timur Tengah dengan segala konsekuensi berupa eskalasi kewaspadaan, pola
pandang, strategi, dan penanggulangannya.
Kedua, pemberantasan
terorisme (ISIS khususnya) harus dilakukan bersama secara utuh dari tingkat
paradigma. Sebab, akar masalah terorisme ini cenderung ideologis, yakni
paradigma (keberislaman) yang menyimpang atau disimpangkan: alergi Barat
dengan stigma kafir dan anti-perbedaan dalam internal Islam dengan stigma
sesat. Tak tanggung-tanggung, semua paradigma teror itu pun selalu
dilandaskan pada hujjah dari Al-Quran maupun hadis yang mereka pahami secara
harfiah dan tak kontekstual, ditafsirkan secara subyektif, atau memilih
hujjah yang telah dinilai dhoif (palsu) atau lemah oleh para ulama Islam.
Syeikh Hasan bin
Farhan al-Maliky, misalnya, menyebutkan terorisme ala ISIS saat ini cenderung
tenggelam dalam lautan keutamaan jihad, sementara mereka tak memahami sedikit
pun tentang prinsip-prinsip jihad paling dasar dalam Islam.
Oleh karena itu,
strategi dan upaya pemberantasannya tak bisa hanya dengan
"penyerangan" sepihak oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu NATO-nya
atau Rusia dengan sekutu Timur Tengahnya, melainkan dengan
"penanggulangan" paradigmatis, khususnya melalui strategi
deradikalisasi.
Ketiga, AS dan sekutu
NATO-nya, juga Rusia, harus merangkul negara Islam moderat secara tulus dan
obyektif untuk menjadi mitra strategis dalam upaya penanggulangannya.
Lantaran terorisme selama ini cenderung menjadi fenomena dalam
"Islam" dan akar masalahnya ada pada paradigma keberislaman yang
menyimpang atau disimpangkan, sudah seharusnya penanggulangannya melibatkan
kemitraan strategis bersama negara maupun elemen Islam moderat yang tahu
mengenai solusi tepat penanggulangannya.
Tanpa itu, dunia akan
terus diwarnai terorisme atas nama agama dengan beragam modus, motif,
gerakan, dan organisasinya dari waktu ke waktu. Apalagi, faktanya,
sebagaimana ditulis John L. Esposito dalam The Future of Islam, sebuah acara
televisi di AS pada 2005 yang dipandu John Stewart memperlihatkan bagaimana
para pejabat tinggi FBI tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan mendasar
mengenai apa itu Islam. Bahkan bukan hanya mengakui ketidaktahuannya, lebih
buruk lagi, mereka sejak awal melepaskan keingintahuan untuk tahu tentang
Islam. Lebih jauh, John Stein, redaktur keamanan nasional untuk Congressional
Quarterly di Washington, mengungkapkan, "Sebagian besar pejabat AS
(bukan hanya anggota Kongres, tapi juga intelijen dan penegak hukum AS) yang
telah saya wawancarai tidak mengetahui apa-apa tentang Islam secara
mendasar."
Kini, dampak yang akan
datang akibat teror di Paris itu tak kalah mengerikan. Pertama, teror itu
dikhawatirkan akan menarik mundur relasi Barat dan dunia Islam yang hampir
satu setengah dekade telah diupayakan kembali membaik setelah tragedi 11
September. Termasuk dengan meningkatnya kembali Islamophobia di kalangan
masyarakat Eropa. Kedua, teror itu dikhawatirkan akan mengacaukan relasi dan
kebijakan pemerintah Prancis terhadap warga imigran Islam yang memang banyak
di sana, termasuk pengungsi muslim Suriah yang baru-baru ini datang ke sana.
Karena itu, kini kita
semua berharap insiden di Paris dilihat secara utuh, jernih, dan obyektif
sebagai kejahatan menjijikkan yang patut dikutuk bersama, tanpa bias dan
sentimen apa pun. Jika tidak, bisa jadi teror itu tak akan hanya
meluluhlantakkan Paris, tapi juga meluluhlantakkan keharmonisan dan kedamaian
masyarakat global. Dan, jika itu terjadi, justru tujuan utama teror itu
tercapai: memproduksi kebencian dan menebar sentimen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar