Indonesia-Australia
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 25 November 2015
Pagi masih sunyi,
belum tampak rombongan pengunjung ke gedung parlemen Australia yang juga
merupakan kantor para menteri di Kota Canberra. Kami sudah menunggu
perjumpaan dengan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop. Rombongan tidak
kurang dari 25 orang yang merupakan undangan dari Australia-IndonesiaCenter.
Dan, sang menteri pun memasuki ruangan. Berbalut setelan jas dan rok
serbahitam, Julie mengungkap sudut pandangnya, kementerian yang dipimpin dan
negaranya terhadap Indonesia.
Hal pertama yang
beliau sampaikan adalah tentang betapa pentingnya Indonesia bagi Australia
dan betapa gembiranya beliau bahwa kunjungan Perdana Menteri Malcolm Turnbull
ke Jakarta untuk menemui Presiden Joko Widodo tempo hari berjalan dengan
sangat lancar. Julie mengharapkan bahwa hubungan personal kedua pemimpin
negara dapat terbangun lebih baik lagi sehingga jalur komunikasi antarkedua
negara tidak perlu lagi melalui masa-masa sulit.
Bagi yang mengikuti
seluk-beluk hubungan luar negeri Indonesia dengan Australia, komentar beliau
mengundang senyum karena ini menggambarkan kejujuran perasaan seorang menteri
luar negeri. Saya dapat membayangkan bahwa sebagai suatu lembaga, kementerian
luar negeri bergerak berdasarkan rangkaian rencana dan rekam sejarah yang
tajam, khususnya ketika menyangkut urusan bilateral.
Dan untuk Australia,
urusan luar negeri sangatlah penting mengingat bahwa posisi geografis negeri
ini cukup jauh dan terpisah di selatan dunia, tetapi ambisi mereka untuk
menjadi kekuatan dunia yang diperhitungkan sangatlah serius. Rangkaian
pembicaraan dengan Julie Bishop menggambarkan ragam pertimbangan yang
dikelola oleh Kementerian Luar Negeri Australia, tetapi dengan jelas pula
beliau menceritakan bahwa pada akhirnya ia perlu mengelola juga relasinya
dengan perdana menteri.
Nada bicara, gaya dan
karakter seorang perdana menteri ikut memengaruhi agenda diplomasi yang ia
rencanakan. Perihal Australia memang perlu mendapat perhatian serius. Negeri
ini memang didiami penduduk dalam jumlah relatif kecil, sekitar 22,7 juta
jiwa dan sebarannya cukup luas dalam satu benua. Begitu luasnya wilayah ini
hingga menurut mereka yang tinggal di sana, sebuah jalan dikatakan macet
apabila jarak antara satu mobil dan mobil lain kurang dari 30 meter.
Bandingkan dengan kita
yang di Jakarta, betapa sangat kontras perbedaan lingkungan sosial Indonesia
dan Australia. Hal itu juga yang membedakan persepsi investor yang ingin
menanam modalnya di Australia dan Indonesia. Dari segi ekonomi, walaupun ada
kepastian hukum dan efisiensi dalam berbisnis, biaya untuk beroperasi di
Australia terbilang mahal, karena minimnya tenaga kerja dan luasnya wilayah.
Sementara di
Indonesia, walaupun kepastian hukumnya masih terus dipertanyakan (dan masih
banyak praktik korupsi), investasi tidak menyusut. Dari satu sisi ini, kita
bisa melihat bahwa keunggulan demografi kita masih menjadi daya tawar yang
kuat dalam hubungan dengan Australia; namun dari sisi strategi ekonomi
regional, kita perlu mengelola hubungan dengan Australia lebih produktif
untuk sejumlah alasan. Pertama, Australia-Indonesia perlu meningkatkan
kinerja perekonomiannya lebih dari sekadar business as usual, namun dengan
harapan yang realistis.
Masalahnya,
peningkatan kinerja tidak hanya bisa dari satu sisi tetapi harus
bersama-sama. Karena kemajuan dan pertumbuhan ekonomi satu negara, khususnya
Indonesia, akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Australia juga. Namun, kita
juga perlu memahami bahwa kerja sama tidak selalu dalam bentuk afirmatif,
tetapi juga dalam bentuk kritik.
Misalnya, Indonesia
perlu memahami mengapa Australia mengecam masalah hukuman mati yang dilakukan
beberapa waktu yang lalu, dan sebaliknya Australia juga perlu memahami
mengapa Indonesia mengkritik kebijakan antipengungsi yang sangat keras.
Menjaga saluran diplomasi kedua negara tetap dingin walaupun hubungan memanas
sewaktu- waktu, adalah pekerjaan rumah kedua negara yang harus terus menerus
diperbaiki. Bila kita melihat sepuluh tahun ke belakang, ada banyak kejadian
diplomatik yang membuat hubungan kedua negara merenggang untuk beberapa saat.
Walaupun tidak membuat
dampak ekonomi yang serius, para pemimpin yang berkuasa di Indonesia-
Australia masih belum dapat menemukan mekanisme komunikasi yang cocok untuk
menyelesaikan ketidaksepakatan di antara dua negara. Para pejabat kedua
negara mungkin perlu belajar dari para akademisi dan aktivis sosial yang
tetap dapat menjaga hubungan baik terlepas dari ketegangan yang terjadi.
Kedua, percepatan hubungan perdagangan Indonesia- Australia masih kurang
cepat dibandingkan Indonesia dengan negara-negara lain.
Apakah ini baik atau
buruk mungkin sangat relatif dari sudut pandang apa dan siapa yang
melihatnya. Apabila kita melihat dari neraca perdagangan sejak 2010-2014,
Kementerian Perdagangan RI mencatat pertumbuhan dagang kedua negara hanya
meningkat 3,36%. Dan dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit.
Apabila dibandingkan dengan China, angka pertumbuhan dan volumenya sangat
jauh sekali, di mana negara kita meningkat 6,6% dan volume ekspor nonmigas
kita juga lebih besar.
Bagi Australia pun
sama; volume perdagangan dengan Indonesia hanya sekitar 2% total nilai
perdagangan mereka di dunia. Saya mencoba bersikap optimistis untuk melihat
bahwa neraca perdagangan itu menunjukkan hubungan Indonesia dan Australia
masih memiliki peluang yang terbuka luas dibandingkan, misalnya, dengan
China. Kita masih berharap hubungan perdagangan dengan China tetap meningkat,
walaupun mungkin beberapa tahun ke depan perdagangan itu akan mencapai titik
puncak atau klimaksnya hingga kemudian ia akan turun.
Ini pernah terjadi
dengan hubungan perdagangan kita dengan Jepang, Amerika Serikat, atau Eropa
beberapa dekade lalu. Oleh sebab itu, menggali lebih jauh Australia yang
secara geografis relatif dekat tidak saja dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
Indonesia, tetapi juga dapat membuat kestabilan politik regional dan
melepaskan sejumlah kebergantungan terhadap negara lain.
Australia sedang
berambisi juga meningkatkan nilai tambah dari produk-produk andalan tersebut.
Saat ini mereka juga sudah menyadari potensi mereka untuk ”memasarkan”
keahlian mereka di bidang logistik, teknologi, dan komunikasi. Untuk itu,
meskipun mereka mengatakan bahwa Indonesia penting untuk agenda ekonomi
mereka, de facto Australia justru
memilih untuk lebih giat mendekati negara-negara Asia Timur seperti Jepang,
Korea, China termasuk dalam mendorong agenda Trans Pacific Partnership dan ASEAN
Plus.
Jadi jangan heran bila
pebisnis Australia dan pemerintahnya cukup lihai berdalih tentang mengapa
mereka tidak mencoba berinvestasi di Indonesia bagian timur, meskipun dalam
anggaran belanja 2015-2016 diumumkan bahwa Australia akan membuka kantor
konsulat jenderal di Makassar. Lagilagi hitungan mereka adalah nilai
ekonomis. Bagi Australia, jauh lebih menjamin ketika berbisnis dengan Jawa
dan Indonesia bagian barat karena pasarnya lebih besar dan tenaga kerjanya
cukup terlatih.
Ketiga, dalam konteks
ekonomi- politik regional dan dunia, kita melihat kecenderungan atau fenomena
Australia (dan juga negara lain) yang mencoba memisahkan antara persekutuan
secara politik dan persekutuan ekonomi. Contoh adalah dukungan Australia
terhadap Bank Infrastruktur Asia yang dipelopori China. Sikap Australia itu
bertentangan dengan sikap Amerika Serikat sebagai sekutu politik
internasional yang menolak bergabung dengan bank tersebut dengan sejumlah
alasan.
Terlepas motif yang
melatarbelakanginya, kita saat ini tidak dapat secara linear mengasosiasikan
bahwa negara- negara yang secara politik searah akan sejalan juga di dalam
garis ekonomi. Contoh lain adalah kerangka kerja sama ekonomi yang sedang
kental dikembangkan di Australia adalah Indo-Pasifik dan MIKTA (Meksiko,
Indonesia, Republik Korea, Turki, dan Australia).
Keduanya melibatkan
Indonesia. Penyebutan Indo- Pasifik diharapkan dapat mengubah mentalitas
negaranegara dunia bahwa ke depan yang lebih dinamis bukan lagi Asia-Pasifik,
melainkan negara- negara di lingkar Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Orientasi kerja sama ini adalah maritim.
Sementara melalui
MIKTA diharapkan bahwa urusan pertemanan lebih mudah dikelola, karena negara
anggotanya sama-sama peduli demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) meskipun
mendukung juga inisiatif pengurangan hambatan perdagangan dan kegiatan
ekonomi antarnegara. Artinya bahwa Indonesia sebenarnya tidak sendirian dalam
”menghadapi” Australia.
Jika di mata sejumlah
pihak di Indonesia ada pendapat bahwa Australia di bidang politik lebih
cenderung membuat kesal (annoying), artinya upaya dari pihak Indonesia untuk
mengubah cara pikir Australia juga perlu dikelola dengan baik. Australia
tidak mungkin menyelaraskan langkah dengan Indonesia bila mereka tidak
dibantu untuk memahami irama derap langkah Indonesia.
Sebagai kesimpulan,
saya ingin menegaskan bahwa hubungan Indonesia-Australia sebenarnya ada dalam
tahapan penting dan kepentingan ekonomi maupun strategis adalah pengikatnya.
Namun, tataran praktis hubungan ini masih perlu dikelola dengan lebih
intensif dalam kerangka strategi makro yang tertata. Masih banyak peluang
kerja sama selain masalah ekonomi yang dapat kita kembangkan bersama, seperti
masalah pengenalan kesenian dan budaya, pendidikan, pembangunan sumber daya
manusia.
Sektor-sektor itu
adalah beberapa kunci yang menurut saya harus dibangun karena akan
menimbulkan rasa saling percaya dan menghormati satu sama lain; bukan sebatas
antardiplomat tetapi justru antarmasyarakat awam, termasuk generasi muda dan
pebisnis.
Tingkat perkembangan
seperti itu perlu dicapai agar tercipta dasar-dasar ikatan sosial dan budaya
kedua negara yang dapat mengikat ikatan politik yang relatif lebih labil
akibat dinamika politik kekuasaan di dalam negeri kedua negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar