Jumat, 27 November 2015

Indonesia-Australia

Indonesia-Australia

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                KORAN SINDO, 25 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pagi masih sunyi, belum tampak rombongan pengunjung ke gedung parlemen Australia yang juga merupakan kantor para menteri di Kota Canberra. Kami sudah menunggu perjumpaan dengan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop. Rombongan tidak kurang dari 25 orang yang merupakan undangan dari Australia-IndonesiaCenter. Dan, sang menteri pun memasuki ruangan. Berbalut setelan jas dan rok serbahitam, Julie mengungkap sudut pandangnya, kementerian yang dipimpin dan negaranya terhadap Indonesia.

Hal pertama yang beliau sampaikan adalah tentang betapa pentingnya Indonesia bagi Australia dan betapa gembiranya beliau bahwa kunjungan Perdana Menteri Malcolm Turnbull ke Jakarta untuk menemui Presiden Joko Widodo tempo hari berjalan dengan sangat lancar. Julie mengharapkan bahwa hubungan personal kedua pemimpin negara dapat terbangun lebih baik lagi sehingga jalur komunikasi antarkedua negara tidak perlu lagi melalui masa-masa sulit.

Bagi yang mengikuti seluk-beluk hubungan luar negeri Indonesia dengan Australia, komentar beliau mengundang senyum karena ini menggambarkan kejujuran perasaan seorang menteri luar negeri. Saya dapat membayangkan bahwa sebagai suatu lembaga, kementerian luar negeri bergerak berdasarkan rangkaian rencana dan rekam sejarah yang tajam, khususnya ketika menyangkut urusan bilateral.

Dan untuk Australia, urusan luar negeri sangatlah penting mengingat bahwa posisi geografis negeri ini cukup jauh dan terpisah di selatan dunia, tetapi ambisi mereka untuk menjadi kekuatan dunia yang diperhitungkan sangatlah serius. Rangkaian pembicaraan dengan Julie Bishop menggambarkan ragam pertimbangan yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri Australia, tetapi dengan jelas pula beliau menceritakan bahwa pada akhirnya ia perlu mengelola juga relasinya dengan perdana menteri.

Nada bicara, gaya dan karakter seorang perdana menteri ikut memengaruhi agenda diplomasi yang ia rencanakan. Perihal Australia memang perlu mendapat perhatian serius. Negeri ini memang didiami penduduk dalam jumlah relatif kecil, sekitar 22,7 juta jiwa dan sebarannya cukup luas dalam satu benua. Begitu luasnya wilayah ini hingga menurut mereka yang tinggal di sana, sebuah jalan dikatakan macet apabila jarak antara satu mobil dan mobil lain kurang dari 30 meter.

Bandingkan dengan kita yang di Jakarta, betapa sangat kontras perbedaan lingkungan sosial Indonesia dan Australia. Hal itu juga yang membedakan persepsi investor yang ingin menanam modalnya di Australia dan Indonesia. Dari segi ekonomi, walaupun ada kepastian hukum dan efisiensi dalam berbisnis, biaya untuk beroperasi di Australia terbilang mahal, karena minimnya tenaga kerja dan luasnya wilayah.

Sementara di Indonesia, walaupun kepastian hukumnya masih terus dipertanyakan (dan masih banyak praktik korupsi), investasi tidak menyusut. Dari satu sisi ini, kita bisa melihat bahwa keunggulan demografi kita masih menjadi daya tawar yang kuat dalam hubungan dengan Australia; namun dari sisi strategi ekonomi regional, kita perlu mengelola hubungan dengan Australia lebih produktif untuk sejumlah alasan. Pertama, Australia-Indonesia perlu meningkatkan kinerja perekonomiannya lebih dari sekadar business as usual, namun dengan harapan yang realistis.

Masalahnya, peningkatan kinerja tidak hanya bisa dari satu sisi tetapi harus bersama-sama. Karena kemajuan dan pertumbuhan ekonomi satu negara, khususnya Indonesia, akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Australia juga. Namun, kita juga perlu memahami bahwa kerja sama tidak selalu dalam bentuk afirmatif, tetapi juga dalam bentuk kritik.

Misalnya, Indonesia perlu memahami mengapa Australia mengecam masalah hukuman mati yang dilakukan beberapa waktu yang lalu, dan sebaliknya Australia juga perlu memahami mengapa Indonesia mengkritik kebijakan antipengungsi yang sangat keras. Menjaga saluran diplomasi kedua negara tetap dingin walaupun hubungan memanas sewaktu- waktu, adalah pekerjaan rumah kedua negara yang harus terus menerus diperbaiki. Bila kita melihat sepuluh tahun ke belakang, ada banyak kejadian diplomatik yang membuat hubungan kedua negara merenggang untuk beberapa saat.

Walaupun tidak membuat dampak ekonomi yang serius, para pemimpin yang berkuasa di Indonesia- Australia masih belum dapat menemukan mekanisme komunikasi yang cocok untuk menyelesaikan ketidaksepakatan di antara dua negara. Para pejabat kedua negara mungkin perlu belajar dari para akademisi dan aktivis sosial yang tetap dapat menjaga hubungan baik terlepas dari ketegangan yang terjadi. Kedua, percepatan hubungan perdagangan Indonesia- Australia masih kurang cepat dibandingkan Indonesia dengan negara-negara lain.

Apakah ini baik atau buruk mungkin sangat relatif dari sudut pandang apa dan siapa yang melihatnya. Apabila kita melihat dari neraca perdagangan sejak 2010-2014, Kementerian Perdagangan RI mencatat pertumbuhan dagang kedua negara hanya meningkat 3,36%. Dan dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami defisit. Apabila dibandingkan dengan China, angka pertumbuhan dan volumenya sangat jauh sekali, di mana negara kita meningkat 6,6% dan volume ekspor nonmigas kita juga lebih besar.

Bagi Australia pun sama; volume perdagangan dengan Indonesia hanya sekitar 2% total nilai perdagangan mereka di dunia. Saya mencoba bersikap optimistis untuk melihat bahwa neraca perdagangan itu menunjukkan hubungan Indonesia dan Australia masih memiliki peluang yang terbuka luas dibandingkan, misalnya, dengan China. Kita masih berharap hubungan perdagangan dengan China tetap meningkat, walaupun mungkin beberapa tahun ke depan perdagangan itu akan mencapai titik puncak atau klimaksnya hingga kemudian ia akan turun.

Ini pernah terjadi dengan hubungan perdagangan kita dengan Jepang, Amerika Serikat, atau Eropa beberapa dekade lalu. Oleh sebab itu, menggali lebih jauh Australia yang secara geografis relatif dekat tidak saja dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga dapat membuat kestabilan politik regional dan melepaskan sejumlah kebergantungan terhadap negara lain.

Australia sedang berambisi juga meningkatkan nilai tambah dari produk-produk andalan tersebut. Saat ini mereka juga sudah menyadari potensi mereka untuk ”memasarkan” keahlian mereka di bidang logistik, teknologi, dan komunikasi. Untuk itu, meskipun mereka mengatakan bahwa Indonesia penting untuk agenda ekonomi mereka, de facto Australia justru memilih untuk lebih giat mendekati negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Korea, China termasuk dalam mendorong agenda Trans Pacific Partnership dan ASEAN Plus.

Jadi jangan heran bila pebisnis Australia dan pemerintahnya cukup lihai berdalih tentang mengapa mereka tidak mencoba berinvestasi di Indonesia bagian timur, meskipun dalam anggaran belanja 2015-2016 diumumkan bahwa Australia akan membuka kantor konsulat jenderal di Makassar. Lagilagi hitungan mereka adalah nilai ekonomis. Bagi Australia, jauh lebih menjamin ketika berbisnis dengan Jawa dan Indonesia bagian barat karena pasarnya lebih besar dan tenaga kerjanya cukup terlatih.

Ketiga, dalam konteks ekonomi- politik regional dan dunia, kita melihat kecenderungan atau fenomena Australia (dan juga negara lain) yang mencoba memisahkan antara persekutuan secara politik dan persekutuan ekonomi. Contoh adalah dukungan Australia terhadap Bank Infrastruktur Asia yang dipelopori China. Sikap Australia itu bertentangan dengan sikap Amerika Serikat sebagai sekutu politik internasional yang menolak bergabung dengan bank tersebut dengan sejumlah alasan.

Terlepas motif yang melatarbelakanginya, kita saat ini tidak dapat secara linear mengasosiasikan bahwa negara- negara yang secara politik searah akan sejalan juga di dalam garis ekonomi. Contoh lain adalah kerangka kerja sama ekonomi yang sedang kental dikembangkan di Australia adalah Indo-Pasifik dan MIKTA (Meksiko, Indonesia, Republik Korea, Turki, dan Australia).

Keduanya melibatkan Indonesia. Penyebutan Indo- Pasifik diharapkan dapat mengubah mentalitas negaranegara dunia bahwa ke depan yang lebih dinamis bukan lagi Asia-Pasifik, melainkan negara- negara di lingkar Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Orientasi kerja sama ini adalah maritim.

Sementara melalui MIKTA diharapkan bahwa urusan pertemanan lebih mudah dikelola, karena negara anggotanya sama-sama peduli demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) meskipun mendukung juga inisiatif pengurangan hambatan perdagangan dan kegiatan ekonomi antarnegara. Artinya bahwa Indonesia sebenarnya tidak sendirian dalam ”menghadapi” Australia.

Jika di mata sejumlah pihak di Indonesia ada pendapat bahwa Australia di bidang politik lebih cenderung membuat kesal (annoying), artinya upaya dari pihak Indonesia untuk mengubah cara pikir Australia juga perlu dikelola dengan baik. Australia tidak mungkin menyelaraskan langkah dengan Indonesia bila mereka tidak dibantu untuk memahami irama derap langkah Indonesia.

Sebagai kesimpulan, saya ingin menegaskan bahwa hubungan Indonesia-Australia sebenarnya ada dalam tahapan penting dan kepentingan ekonomi maupun strategis adalah pengikatnya. Namun, tataran praktis hubungan ini masih perlu dikelola dengan lebih intensif dalam kerangka strategi makro yang tertata. Masih banyak peluang kerja sama selain masalah ekonomi yang dapat kita kembangkan bersama, seperti masalah pengenalan kesenian dan budaya, pendidikan, pembangunan sumber daya manusia.

Sektor-sektor itu adalah beberapa kunci yang menurut saya harus dibangun karena akan menimbulkan rasa saling percaya dan menghormati satu sama lain; bukan sebatas antardiplomat tetapi justru antarmasyarakat awam, termasuk generasi muda dan pebisnis.

Tingkat perkembangan seperti itu perlu dicapai agar tercipta dasar-dasar ikatan sosial dan budaya kedua negara yang dapat mengikat ikatan politik yang relatif lebih labil akibat dinamika politik kekuasaan di dalam negeri kedua negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar