Memperkuat Sinergi Kabinet
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Administrasi Negara
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
09 November 2015
Episode-episode
"gesekan" kebijakan antarmenteri di Kabinet Kerja sepertinya masih
terus terjadi. Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli sehari setelah
diangkat jadi menteri bergesekan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan
Menteri BUMN Rini Soemarno terkait kritik Rizal mengenai rencana Garuda
membeli 30 pesawat Airbus A350 dan proyek listrik 35.000 MW.
Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti dengan (mantan) Menteri Perdagangan Rachmat Gobel
bergesekan mengenai kebijakan impor garam industri yang dinilai merugikan
petani garam. Hal serupa berulang saat Susi berselisih pendapat di muka publik
dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong dalam soal sama.
Dalam teori hukum
organisasi pemerintah, presiden diberi wewenang konstitusional ataupun UU
Kementerian membentuk struktur kabinet yang mencerminkan kebutuhan
melaksanakan tugas negara dalam masa jabatan presiden. Setelah membentuk
struktur kabinet, presiden melakukan distribusi wewenang secara horizontal
untuk mengatribusikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kepada tiap
kementerian/lembaga.
Di ranah kebijakan
umum, UU Administrasi Pemerintahan jadi landasan hukum membangun harmoni
kebijakan melalui berbagai keputusan administrasi pemerintahan yang
dihasilkan tiap kementerian/lembaga. Di ranah pejabat publik, menko bidang
tertentu seharusnya berfungsi mengintegrasikan dan menyinergikan kebijakan
antarkementerian sektoral.
Untuk menyinergikan
kebijakan antarkementerian/lembaga yang dituangkan dalam produk hukum, sistem
hukum administrasi negara memberi instrumen pemerintah membentuk peraturan
atau peraturan kebijakan bersama antarmenteri/pemimpin lembaga. Ditinjau dari
teori hukum administrasi negara, hukum administrasi menyediakan wewenang bagi
menteri sektoral atas mandat yang diberikan presiden mengelola kebijakan
sektoral berdasarkan asas spesialisasi sesuai dengan tupoksi masing-masing.
Juga telah disediakan
sistem ataupun instrumen hukum administrasi negara untuk melaksanakan
sinkronisasi kebijakan sektoral yang bertumpu pada subyek pengambil kebijakan
(menko), sistem kebijakan (rapat koordinasi), dan instrumen hukum (peraturan
atau peraturan kebijakan bersama).
Guna merespons isu
kebijakan tertentu yang sangat sering sulit dihindari, pertautan kepentingan
antara beberapa wewenang kementerian/lembaga sektoral dapat diputuskan
bersama dalam rapat koordinasi guna menyinergikan komitmen dan pendapat
antarmenteri/pemimpin lembaga eksekutif yang dapat dituangkan dalam tiga
alternatif produk hukum.
Pertama, menyangkut
dimensi kepentingan publik luas dan merupakan derivat langsung perintah UU,
hal itu dapat dituangkan dalam peraturan presiden. Kedua, jika kebijakan
bersama itu lebih memperlihatkan karakter teknis administratif, hal itu bisa
dituangkan dalam peraturan bersama antarmenteri/ pemimpin lembaga eksekutif.
Ketiga, jika kebijakan yang dihasilkan hanya dimaksudkan sebagai pegangan
operasional bagi para pejabat pemerintahan (kementerian/lembaga atau dinas di
daerah), bisa dipilih produk peraturan kebijakan, seperti surat edaran
bersama, juklak, juknis, atau pedoman.
Polemik di ranah
publik yang dipicu gesekan kebijakan antarmenteri, selain tak produktif,
justru memperlihatkan tak dipahaminya dengan baik mekanisme dan prosedur
kerja kabinet oleh para pejabat yang seharusnya bisa jadi panutan masyarakat.
Menteri atau siapa pun pejabat yang diberi amanat mengelola urusan publik
merupakan pemimpin rakyat. Ia harus jadi tuntunan, bukan tontonan.
Setiap pejabat
pemerintah dalam hukum administrasi negara disebut sebagai administrasi
negara. Administrare dalam bahasa
Latin berarti 'melayani'. Mereka tak lebih adalah pelayan masyarakat di era
pemerintahan pasca elitis ini yang harus mendengar dengan telinga rakyat,
merasakan dengan perasaan rakyat, dan berbicara sebagai kepanjangan lidah
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar