Kosmopolis
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO,
23 November 2015
Kota besar yang terbentang, kosmopolis yang
membuat tiap orang jadi seorang asing dan sekaligus tamu yang bebas di sudut
yang tanpa alamat—mungkin itulah yang membuat Paris dan New York tak mudah
dilupakan.
"Tak pernah ada
akhir apa pun bagi Paris, dan kenangan tentang tiap orang yang pernah tinggal
di dalamnya berbeda dari kenangan tentang yang lain. Kita selalu kembali
kepadanya...."
Hemingway menuliskan itu dalam A Moveable Feast, sebuah nostalgia
tentang Paris tahun 1920-an. Paris-nya adalah Paris "ketika kami melarat dan bahagia".
Naskah buku itu diduga selesai sekitar tahun
1960, kemudian diterbitkan empat tahun kemudian, setelah pengarangnya
menembak dirinya sendiri di rumahnya. Ia tewas ketika usianya 61.
Dalam pengantar tiga paragraf Hemingway
menulis: "Pembaca bisa memilih
untuk melihat buku ini sebagai sebuah fiksi. Tapi selalu mungkin fiksi
seperti itu bisa menjelaskan apa yang telah ditulis sebagai fakta."
Antara fiksi dan fakta, A Moveable Feast memang lebih berbicara tentang Hemingway muda
ketimbang tentang Paris. Ia sendiri menyadari itu: naskah itu ditulisnya dari
yang disisakan ingatan dan hatinya, meskipun, seperti diakuinya, ingatan itu
sudah diaduk waktu dan kemurahan hati itu ia tak punya. Tapi Hemingway masih
menuliskannya dengan bergelora justru ketika energi kreatifnya mulai habis,
dan itu membenarkan apa yang dikatakannya: "Tak pernah ada akhir apa pun bagi Paris."
Nostalgia adalah penangkal sederhana bagi
kosmopolis yang bergerak terus: sebuah kemewahan yang tersembunyi dan membuat
kita lebih lembut, secercah kerinduan di pinggiran ketika kota ingin
menguasai apa saja, juga cakrawala waktu.
Saya teringat percakapan dalam novel Don
DeLillo, Cosmopolis, di sebuah bagian Kota New York:
"...Apa itu ragu?
Kau tak percaya kepada keraguan. Kau pernah katakan itu kepadaku. Komputer
punya kekuatan melenyapkan ragu. Semua keraguan muncul dari pengalaman masa
silam. Tapi masa silam sedang menghilang. Dulu kita tahu masa lalu, bukan
masa depan. Ini berubah sekarang...."
Dengan Cosmopolis tampak DeLillo ingin
menunjukkan dunia yang kemilau dan takabur, yang terus-menerus rakus, yang
bertaut dengan ruang yang rapi dan teknologi seperti dalam science fiction tentang manusia masa
depan. Tapi sementara itu, tokohnya bergerak di sela-sela sesuatu yang tak
dikenalinya: khaos yang menetap dalam hidup sehari-hari, masa lalu yang
tersisa di hari ini.
Dalam ketakpekaan itu, New York terguncang
habis ketika pada suatu pagi ia digedor dunia luar yang kacau dan orang-orang
yang ganas oleh dendam. Cosmopolis agaknya menyindir itu: novel ini terbit
dua tahun setelah Menara Kembar New York ditabrak dua pesawat terbang bunuh
diri dan hampir 3.000 orang tewas.
Tokohnya Eric Packer. Ia asset manager berumur
28 tahun yang baru menikahi perempuan Eropa waris harta yang berlimpah. Pagi
itu ia berangkat dari apartemennya yang seharga 140 juta dolar untuk potong
rambut di tukang cukur kesukaannya di West Side Manhattan.
Perjalanannya—dengan limousine putih
berkilau—ternyata makan waktu sehari penuh. Jalanan macet. Presiden sedang
berada di New York dengan penjagaan ketat yang menghalangi lalu lintas. Ada
demo antiglobalisasi yang ribut dan agresif di Times Square.
Selama itu, Eric mengamati, tak tersentuh, dan
melakukan apa yang biasa dilakukannya.
Ia praktis tak pernah berpindah. Limo putih
itu tampaknya perumpamaan DeLillo tentang kosmopolis yang palsu: ruang hidup
yang serba cukup tapi tak terbuka dan terpisah dari debu dan daki manusia
lain yang tak masuk hitungan. Semua bisa dilakukan di mobil panjang itu.
Layar monitor untuk mengikuti gerak mata uang dan saham. Oven pemanas
makanan. Alat pemantau jantung. Tempat dokter memeriksa kandung kemih. Tempat
Eric membahas segala hal dengan penasihat teknologi dan keuangannya. Tempat
ia berzina dengan teknik foreplay yang paling mutakhir.
Gambaran hiperbolik itu tak baru, pesannya
klise, tapi dengan bahasa yang terampil, Cosmopolis menunjukkan pongahnya orang-orang
di haribaan hiperkapitalisme. Dunia mereka adalah konstruksi digital yang
pasti, "the digital imperative
that defined every breath of the planet's living billions". Komputer
mereka sanggup menindas keraguan dan masa silam.
Jika novel ini agak membosankan, mungkin
karena ia mengikuti hidup Eric yang membosankan; orang ini menikmati sensasi
tanpa ingin meloncat ke luar.
Tapi ia sebenarnya rapuh. Di ujung novel,
digambarkan dengan realisme ala DeLillo yang memikat, sang miliarder akhirnya
sampai ke tempat tukang cukurnya. Ia turun dari limo putihnya, turun ke masa
kini yang juga masa lalu sehari-hari. Di atas kursi sang barber bersahaja
yang dahulu tetangga ayahnya, Eric duduk. Ia tertidur.
Nostalgia adalah celah untuk istirahat bagi
kehidupan yang dilecut keyakinan bahwa "masa silam sedang
menghilang". Nostalgia adalah pelindung kecil di sebuah kosmopolis. Maka
ia akan bertahan, bahkan di hadapan teror. New York 2001; Paris 2015.
Setelah tubuh-tubuh yang terbunuh bertumpuk di
atas remukan kaca etalase, setelah teriakan takut dan marah terdengar bersama
raung sirene, ada sesuatu dari masa lalu yang muncul. Xenofobia, paranoia,
tapi juga keinginan bersaudara kembali.
Maka orang pun bersentuhan dalam cemas dan
berkabung, dan kota itu kembali jadi kota manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar