Urgensi Kodifikasi UU Pemilu
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP
Universitas Airlangga; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
19 November 2015
Tata kelola pemilu
sebagai subkajian pemilu terdiri atas empat aspek: peraturan
perundang-undangan yang mengatur pemilu, proses penyelenggaraan pemilu, badan
penyelenggara pemilu, dan sistem penegakan hukum pemilu.
Dari keempat aspek,
aspek pertama (hukum pemilu) merupakan aspek paling penting karena lima alasan.
Pemilu merupakan persaingan antarpeserta untuk memperebutkan jabatan yang
jumlahnya sedikit. Karena yang memperebutkan jauh lebih banyak daripada
jabatan yang diperebutkan, dan karena bagi sebagian orang jabatan merupakan
segala-galanya, persaingan niscaya mungkin akan menggunakan uang dan/atau
cara intimidasi dan ancaman kekerasan. Hukum berperan untuk mengatur
persaingan yang bebas, tertib, dan adil antarpeserta pemilu.
Secara teknis proses
penyelenggaraan pemilu merupakan prosedur mengubah suara pemilih menjadi
kursi penyelenggara negara lembaga legislatif dan eksekutif baik pada tingkat
nasional maupun daerah. Siapa yang menjadi pemilih, bagaimana pendaftaran
atau pemutakhiran daftar pemilih dilakukan, dan apa saja hak dan kewajiban
pemilih harus diatur secara jelas. Siapa yang dapat menjadi peserta pemilu,
bagaimana pendaftaran, penelitian, dan penetapan peserta pemilu dilakukan,
juga harus diatur lengkap.
Di mana peserta pemilu
bersaing, berapa jumlah kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan,
bagaimana menetapkan daerah pemilihan (dapil), juga harus diatur secara jelas
dan lengkap. Siapa yang dapat menjadi calon, bagaimana pendaftaran,
penelitian, dan penetapan daftar calon dilakukan juga harus diatur secara
jelas. Bagaimana suara diberikan, suara diberikan kepada siapa, apa kriteria
suara yang sah dan tidak sah, bagaimana kursi di setiap dapil dibagi kepada
peserta pemilu, dan bagaimana menetapkan calon terpilih, semuanya harus
diatur secara jelas dan lengkap. Prosedur yang digunakan untuk setiap tahapan
pemilu harus memenuhi dua syarat: sesuai asas-asas pemilu demokratis dan
mengandung kepastian hukum.
Pemilu diselenggarakan
komisi pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen). Yang
dimaksud penyelenggara pemilu mandiri adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
menyelenggarakan pemilu tak berdasarkan tekanan atau intervensi institusi
atau kekuatan lain melainkan semata berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bila menghendaki KPU mandiri/independen buatlah pengaturan yang menjamin
kemandirian dan mencegah keberpihakan. Pemilu berkualitas dapat dicapai bila
terdapat partisipasi warga negara sebagai anggota partai, pemilih,
konstituen, dan pembayar pajak. Partisipasi ini perlu diatur secara lengkap
akses dan salurannya di peraturan perundang-undangan.
Rakyat akan menerima
hasil pemilu sebagai berlegitimasi secara politik dan hukum tak hanya bila
hasil pemilu berintegritas (bukan hasil manipulasi, tetapi hasil penghitungan
jujur), tetapi juga bila semua pelanggaran hukum pemilu ditegakkan secara
adil dan tepat waktu. Untuk menjamin ini, perlu peraturan perundang- undangan
yang mengatur dua hal. Pertama, peraturan perundang-undangan yang mengatur
lengkap ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana pemilu yang dapat
tuntas ditegakkan beberapa hari sebelum KPU menetapkan dan mengumumkan hasil
pemilu. Kedua, peraturan perundangan yang mengatur satu atau dua institusi
dan mekanisme penegakan ketentuan administrasi pemilu dan ketentuan pidana
pemilu.
Belum penuhi syarat
Apakah kelima aspek
pemilu itu sudah diatur dalam UU Pemilu? Jawabannya: sudah. Akan tetapi,
pengaturan itu belum memenuhi dua syarat utama pengaturan pemilu, yakni
substansi pengaturan harus merupakan penjabaran empat prinsip demokrasi, dan
menjamin kepastian hukum. Keempat prinsip itu adalah asas-asas pemilu
demokratis, hak-hak warga negara berkaitan dengan pemilu, pemilu
berintegritas, dan keadilan pemilu. Kepastian hukum secara negatif dapat
dirumuskan sebagai berikut: tak ada kekosongan hukum (semua aspek pemilu
diatur), ketentuan yang satu tak bertentangan dengan ketentuan lain
(konsisten satu sama lain), tak ada ketentuan yang bermakna ganda atau
multitafsir, dan semua ketentuan dapat dilaksanakan dalam praktik. Empat UU
yang mengatur pemilu di Indonesia belum memenuhi kedua syarat.
Untuk menjamin
pengaturan pemilu yang memenuhi kedua syarat, diperlukan kodifikasi empat UU
mengenai pemilu menjadi satu Kitab Hukum Pemilu berdasarkan asas, tujuan,
parameter, dan sistematika tertentu. Mengingat lingkup cakupan keempat UU
mengenai pemilu itu begitu luas, apakah keempatnya dapat diintegrasikan
menjadi satu Kitab Hukum Pemilu? Jawabannya: positif! Keempat UU Pemilu
memiliki enam aspek yang sama dan empat aspek berbeda. Keenam aspek yang sama
adalah asas pemilu, daftar pemilih, proses penyelenggaraan tahapan pemilu,
parpol peserta pemilu, penyelenggara pemilu, pola partisipasi politik warga
negara, dan sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu. Keempat
unsur yang berbeda adalah penyelenggara negara yang dipilih, jenis peserta
pemilu, sistem pemilu yang digunakan, dan sejumlah ketentuan khusus yang
hanya berlaku di beberapa daerah.
Mengapa kodifikasi
atau Kitab Hukum Pemilu diperlukan? Pertama, pengaturan setiap jenis pemilu
dengan UU tersendiri menimbulkan ketidakpastian hukum baik dalam bentuk
kontradiksi dan duplikasi antar-UU maupun perumusan berbagai aspek proses
penyelenggaraan pemilu yang tanpa standardisasi dalam nomenklatur dan lingkup
pengertian. Siapa itu pemilih, dan apa itu tahapan, misalnya, belum seragam
antartiga UU Pemilu. Pemilu merupakan prosedur mengonversi suara pemilih
menjadi kursi penyelenggara negara. Prosedur diatur dengan UU.
Salah satu indikator
pemilu demokratis adalah predictable procedures and unpredictable results
(kepastian prosedur, tetapi tak ada yang tahu hasil pemilu). Kepastian
prosedur dijamin melalui kepastian hukum. Kepastian hukum dalam pengaturan
pemilu akan dapat dijamin bila UU Pemilu Legislatif, UU Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden, UU Pemilu Kepala Daerah, dan UU Penyelenggara Pemilu
diintegrasikan menjadi satu UU Pemilu yang dinamai Kitab Hukum Pemilu.
Kedua, proses
penyelenggaraan pemilu sebagai proses mengubah suara pemilih menjadi kursi
penyelenggara negara dalam keempat UU Pemilu baru dirumuskan berdasarkan dua
prinsip pemilu demokratis, yaitu asas-asas pemilu dan hak-hak warga negara
yang berkaitan dengan pemilu. Pemilu berintegritas dan keadilan pemilu belum
digunakan sebagai prinsip yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu. Proses
penyelenggaraan semua jenis pemilu akan dapat dirumuskan berdasarkan delapan
parameter pemilu demokratis (sebagai penjabaran keempat prinsip pemilu
demokratis tersebut) bila keempat UU Pemilu tersebut diintegrasikan menjadi
satu Kitab Hukum Pemilu.
Ketiga, pengaturan pemilu
selama ini tak mampu menciptakan penyelenggara pemilu yang profesional.
Pembagian tugas antara para anggota KPU dengan para pegawai di bawah
sekretaris jenderal KPU tak begitu jelas baik dalam peran maupun dalam
tanggung jawab. Tugas sekjen KPU dalam UU Penyelenggara Pemilu dirumuskan
sebagai ”membantu KPU menyelenggarakan pemilu.” Rumusan seperti ini tak hanya
menempatkan anggota KPU sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana teknis
pemilu, tetapi juga tak menentukan apa tanggung jawab sekjen KPU. Para
anggota KPU merupakan satu-satunya KPU di dunia yang terlibat mendalam dalam
soal teknis pelaksanaan pemilu.
Keempat, sistem
penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu selama ini belum mampu
mencapai putusan yang adil dan tepat waktu baik karena pengaturan pemilu
masih mengandung kekosongan hukum (sampai kini belum ada rumusan jelas
mengenai ketentuan administrasi pemilu, hukum acara, dan sanksinya) maupun
karena terlalu banyak instansi yang terlibat dalam proses penegakan hukum
(Bawaslu, KPU, Polri, Kejaksaan, PN dan PUTN, DKPP, dan MK). Salah satu
substansi Kitab Hukum Pemilu adalah mengisi kekosongan hukum perihal
ketentuan administrasi pemilu, dan penyederhanaan sistem penegakan hukum dan
penyelesaian sengketa pemilu. Sistem penegakan hukum dan penyelesaian
sengketa pemilu yang diusulkan adalah Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu
dihapuskan, fungsi pengawasan terhadap proses penyelenggaraan pemilu
dikembalikan kepada semua unsur masyarakat; dan Bawaslu ditransformasi
menjadi Komisi Penegak Hukum dan Penyelesaian Sengketa Pemilu (KPH-PSP).
Produk dari kelemahan sistem
Kelima, sistem pemilu
proporsional terbuka secara teknis memiliki tiga kelemahan fatal. Sistem ini
paling rumit di dunia sehingga sukar dipahami tak hanya oleh pemilih awam,
tetapi juga para kader partai. Kerumitan itu tampak pada jumlah pilihan calon
yang terlalu banyak (36-144 nama calon), jumlah cara mencoblos yang sah
terlalu banyak, dan penerapan metode kuota (BPP) dan pembagian sisa kursi
kepada partai. Kelemahan kedua, proses rekapitulasi hasil penghitungan suara
terlalu panjang (terpanjang di dunia), melalui 4-6 tingkat. Kelemahan ketiga,
sistem ini memberi insentif bagi calon, pemilih, dan petugas
pemungutan/penghitungan suara melakukan transaksi jual-beli suara.
Transaksi jual-beli
suara yang ketahuan dan terungkap ke permukaan pada Pemilu 2014, apalagi yang
tak ketahuan, menunjukkan praktik ini merupakan produk dari sistem daripada
produk tingkah laku menyimpang dari sejumlah orang. Ketiga kelemahan ini akan
dapat diatasi dalam Kitab Hukum Pemilu dengan menawarkan sistem pemilu
proporsional yang lebih sederhana baik dalam tata cara pemberian suara maupun
rekapitulasi hasil penghitungan suara, tetapi tanpa insentif untuk transaksi
jual-beli suara pada siapa pun.
Keenam, sistem pemilu
proporsional terbuka dari segi akibat yang ditimbulkan oleh setiap unsur
sistem pemilu mengandung enam kontradiksi. Akibat kontradiksi ini tujuan yang
hendak dicapai oleh satu unsur sistem pemilu digagalkan pencapaiannya oleh
konsekuensi unsur sistem pemilu lainnya. Berikut kontradiksi itu. Pola
pencalonan berdasarkan nomor urut calon (daftar partai), tetapi penetapan
calon terpilih dilakukan berdasarkan ”suara terbanyak”. Jumlah partai di DPR
hendak dikurangi dengan menaikkan ambang- batas perwakilan menjadi 3,5
persen. Namun, terdapat tiga unsur sistem pemilu yang justru mempermudah
partai memperoleh kursi, seperti jumlah kursi yang diperebutkan di setiap
dapil DPR berkisar 6-10 kursi, penggunaan metode kuota dan the largest
reminding dalam membagi kursi setiap dapil kepada partai, dan pemilu anggota
DPR dilaksanakan terpisah selang waktu tiga bulan dari pemilu presiden.
Ketujuh, sistem pemilu
proporsional terbuka ternyata menghasilkan demokrasi defisit. Parpol lebih
banyak tampil sebagai sumber persoalan daripada sumber solusi: parpol
dikelola secara oligarkis, bahkan personalistik; pengeluaran partai lebih
banyak daripada penerimaan resmi, tetapi pengeluaran tak berkaitan dengan
fungsi utama parpol; parpol lebih banyak diwarnai ideologi sebagai tontonan
(tanda gambar, warna, alat peraga, jargon, dan tokoh) daripada ideologi
sebagai tuntunan (menuntun perumusan kebijakan publik); dan partai lebih
berorientasi pada mencari dan mempertahankan kekuasaan daripada menyiapkan
calon pemimpin dan menawarkannya kepada rakyat pada pemilu.
Sistem perwakilan
politik yang diadopsi ”kiri OK kanan OK”. Siapa yang mewakili dapil: anggota
DPR dan DPRD ataukah parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan
DPRD? DPR dan DPRD cerminan keragaman penduduk (keterwakilan) ataukah anggota
DPR dan DPRD yang akuntabel kepada dapil? Bagaimana mewakili aspirasi dapil:
berdasarkan visi, misi, dan program partai ataukah konsultasi dengan
konstituen sebelum membuat keputusan? Jawaban atas setiap pertanyaan ini:
keduanya. Partisipasi politik warga negara jauh dari prinsip kedaulatan
rakyat karena warga negara sebagai anggota partai sama sekali tak berperan,
warga negara sebagai pemilih cenderung hanya tukang coblos, warga negara
sebagai konstituen diperlihatkan hanya sebagai peminta sumbangan, warga
negara sebagai pembayar pajak sama sekali tak berperan. Akhirnya pemerintahan
presidensial tak efektif terutama karena terlalu banyak parpol yang memiliki
kursi dalam jumlah yang relatif seimbang di DPR. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar