Petral dan Keseriusan Pemerintah
Junaidi Albab Setiawan ; Advokat; Pengamat Hukum Migas
|
KOMPAS,
24 November 2015
Penyerahan hasil audit
investigatif Kordamentha terhadap Petral oleh Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral kepada KPK menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengambil langkah
penyelesaian kasus Pertamina Energy
Trading Limited secara obyektif dan terukur.
Diteruskannya hasil
audit ke KPK juga menunjukkan bahwa pemerintah menilai masalah Petral adalah
masalah hukum yang harus diselesaikan melalui saluran hukum. Audit
investigatif terhadap Petral adalah tindak lanjut dari rekomendasi Tim
Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang menemukan beberapa kejanggalan dalam
pengelolaan Petral. Temuan TRTKM itu kini mendapat penguatan dari hasil
audit. Tampaknya pemerintah sangat menyadari, obyektivitas proses
penyelesaian sedang dipertaruhkan.
Sekalipun hasil audit
belum dipublikasikan secara terbuka, entah dengan maksud apa Menteri ESDM
tampak sangat antusias menyampaikan lebih awal salah satu poin kesimpulan
tentang ”keterlibatan” yang sedikit mencederai obyektivitas itu. Yakni bahwa
Pertamina (Persero) sebagai induk dari Petral Group tidak terlibat permainan
mafia migas. Ada pihak ketiga yang bukan manajemen Petral, bukan Pertamina,
bukan pemerintah, yang ikut campur atau intervensi dengan mengatur tender,
membocorkan harga perhitungan sendiri, serta menggunakan instrumen dan
karyawan manajemen Petral untuk memenangkan kepentingannya (Kompas, 19/11).
Pernyataan tentang
keterlibatan tersebut, dari kacamata legal adalah pernyataan yang prematur
dan kontradiktif. Prematur karena untuk menilai ”keterlibatan” secara yuridis
adalah wewenang penegak hukum. Sementara hasil audit, baik yang dilakukan
Kordamentha maupun BPK, hanyalah pintu masuk (entry point) menuju penyelesaian hukum dan belum menjadi
kebenaran hukum.
Penilaian itu juga
kontradiktif karena mengatur tender, membocorkan harga beli pemerintah, dan
menggunakan instrumen karyawan tentu hanya bisa dilakukan apabila peserta
tender berkolusi dengan ”orang dalam” di Pertamina ataupun di pemerintah (reciprocal). Meski demikian, langkah
membawa hasil audit kepada KPK patut diapresiasi sebagai awal keseriusan.
Kekecewaan masyarakat
Selama ini, Petral
selalu diterpa isu miring soal mafia migas, tetapi tidak pernah ada
penyelesaian yang memuaskan sehingga masyarakat sangat menaruh harapan terhadap
inisiatif penyelesaian yang dimulai pemerintah dengan membentuk TRTKM dan
kemudian dilanjutkan dengan audit investigatif dan membawa hasilnya ke KPK.
Penanganan di KPK juga akan berlangsung sulit karena akan menjadi ajang
pertarungan kepentingan antarpredator migas, sekaligus pertarungan antara
predator migas dan niat baik (good will)
pemerintah.
Hal ini mengingat
kejahatan migas adalah kejahatan struktural dan terorganisasi yang hanya bisa
dilakukan oleh ”pemodal kuat” (white
color crime), elite penguasa, dan bisa jadi oknum-oknum di dalam
pemerintahan. Tidak jelas siapa kawan dan siapa lawan karena migas adalah
komoditas vital bernilai tinggi yang langsung dikuasai oleh negara dan hanya
dijalankan oleh pemerintah.
Penanganan kasus-kasus
korupsi migas sering kali tidak sampai di ujung penyelesaian. Sinyalemen
mandulnya penyelesaian hukum terhadap kasus korupsi migas bahkan pernah
disindir dalam tajuk ”Mari ke
Pengadilan” di Koran Indonesia Raya tanggal 29 Januari 1970, yang
menggambarkan kekecewaan masyarakat terhadap lemahnya penyelesaian
kasus-kasus kolusi, korupsi, dan nepotisme dalam pengelolaan migas.
Beberapa contoh kasus
yang mengecewakan masyarakat dapat disampaikan di sini. Pada 1975, Pertamina
mengalami kebangkrutan akibat pengelolaan yang amburadul, inefisien dan
melenceng dari garis tugas (mismanagement),
serta korupsi (MC Ricklefs, 2008).
Bobroknya Pertamina
saat itu digambarkan Harold Crouch dalam bukunya The Army and Politics in Indonesia: ”bahkan negara tidak tahu
sedikit pun kondisi yang terjadi di tubuh Pertamina”. Hingga kemudian
Presiden berdasar Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1975 membentuk Tim Teknis
Penertiban Pertamina (TTPP) yang beranggotakan tiga jenderal. Ironisnya,
sekalipun salah satu temuan TTPP menyebutkan adanya korupsi di Pertamina,
tidak pernah ada penyelesaian secara hukum.
KKN Migas
Kita juga pernah
mendengar temuan Serious Fraud Office,
Inggris, soal pembelian timbal oleh Pertamina kepada Innospec Ltd pada kurun
tahun 2000 hingga 2006 yang diwarnai suap oleh Innospec Ltd kepada oknum
pejabat-pejabat migas Indonesia. Pembelian tersebut mengkhianati ”program
langit biru” tanpa bahan bakar minyak (BBM) bertimbal yang dicanangkan
pemerintah. Kasus ini juga tidak terdengar penyelesaiannya secara hukum.
Kemudian, disusul
kasus SKK Migas, yang terjadi pada masa setelah Pertamina tidak lagi diberi
kuasa usaha pertambangan. Dari kasus ini sebenarnya KPK hampir berhasil
menyentuh pusat pusaran korupsi yang cukup subtansial, tetapi langkah KPK
membentur benteng yang sangat kuat dan hampir membuatnya ”sekarat”.
Saat ini juga sedang
disidik kasus PT Trans Pacific Petrochemical Indotama tentang penjualan
minyak/kondensat bagian negara tanpa tender. Penjualan inididuga menyalahi
Ketentuan KPTS-20/BP00000/2003-50 tentang Pedoman Tata Kerja Penunjukan
Penjual Minyak Mentah/Kondesat sehingga merugikan negara dalam jumlah
triliunan rupiah. Berita penanganan kasus ini juga mulai sepi, tidak
ingar-bingar sebagaimana ketika Bareskrim Polri mulai menyidiknya.
Petral merupakan anak
perusahaan Pertamina. Didirikan pada 1976 berdasarkan Companies Ordinance
Hongkong, Petral semula bernama Perta Oil Marketing Ltd (POML). Petral
dibentuk untuk mendukung Pertamina dalam memasok dan memenuhi kebutuhan migas
di Indonesia. Salah satu kesimpulan kerja TRTKM menyebutkan bahwa Petral
menguasai pengadaan mayoritas kebutuhan BBM berikut minyak mentah impor yang
dibutuhkan Indonesia sehingga rawan penyimpangan. Maka, wajar apabila Petral
menjadi sasaran para pemburu rente.
KKN dalam pengelolaan
migas sudah menjadi tradisi. Dalam bisnis ini, kepentingan rakyat seperti
berada di bawah kepentingan partai, kelompok, golongan dan elite. Resistensi
dan pendapat sumbang dari beberapa kalangan terhadap langkah pemerintah
terhadap Petral belakangan ini sesungguhnya memberi isyarat begitu banyak
kepentingan yang merasa terancam.
Bisnis migas di
Indonesia memang rawan kebocoran, korupsi, dan intervensi. Sejak zaman Orde
Baru, migas menjadi sasaran pembiayaan kegiatan politik. Terlebih jika
dilihat dari tren cara berpolitik berbiaya tinggi saat ini. Saat ini, rasanya
sulit berpolitik tanpa didukung subsidi dari negara atau ditopang hasil
korupsi. Karena besarnya keuntungan, migas menjadi magnet yang diperebutkan
oleh berbagai kekuatan dengan maksud untuk mengendalikan kebijakan dan atau
berbisnis dengan keistimewaan (privilese). Dengan demikian, dari rezim ke
rezim, migas akan terus menjadi sasaran KKN.
Kasus Petral adalah
gambaran nyata pengaruh para pemain migas yang mampu memengaruhi kebijakan.
Penyulingan BBM yang menjadi inti kegiatan pengolahan tidak mendapatkan
perhatian serius dari pengambil kebijakan. Infrastruktur penunjang, seperti
kilang penyulingan minyak mentah (crude oil) dan tangki penimbun, tak
mencukupi kebutuhan, tetapi tidak kunjung dibangun sejak terakhir dibangun di
Balongan pada 1994.
Sebagai negara yang
memiliki cadangan migas dan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia dengan
teritori yang luas yang berorientasi laut (periphery), kita hanya memiliki
kilang pengolah yang tentu tidak cukup. Rantai pengolahan seperti sengaja
dibuat panjang, berbelit, dan diarahkan untuk selalu bergantung kepada asing
sehingga memudahkan KKN.
Kini, masyarakat mulai
membangun asa dan menaruh harap kepada pemerintah untuk menyelesaikan kasus
Petral secara transparan dan adil. Keberhasilan penyelesaian akan menjadi
momentum pembenahan tata kelola migas kedepan dan mengembalikan kedaulatan
migas di tangan rakyat. Sekalipun sesungguhnya di balik pengharapan masih
tersimpan keraguan, mampukah rezim kini menyelesaikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar