Freeport dan Bisnis Orang Kuat
Ferdy Hasiman ; Guru Besar di Bidang Antropolinguistik;
KPS Linguistik S-3 Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS,
20 November 2015
Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan salah satu politisi Senayan
kepada Mahkamah Kehormatan Dewan DPR yang mencatut nama Presiden dan Wakil
Presiden untuk mendapat jatah 20,64 persen saham PT Freeport Indonesia yang
didivestasikan ke pihak nasional (pemerintah pusat, daerah, BUMN-BUMD, dan
swasta nasional).
Politisi itu juga
meminta jatah 49 persen saham PLTU Urumuka, sebuah PLTU yang direncanakan
menjadi pembangkit listrik terbesar di Indonesia. Permintaan itu muncul dalam
transkrip pembicaraan antara politisi, salah satu pengusaha, dan perwakilan
Freeport. Jika Freeport sepakat dengan permintaan politisi itu, maka raksasa
tambang asal Amerika Serikat itu bisa mengakumulasi modal dari kekayaan
tambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua, sampai tahun 2041.
Freeport memang sedang
melakukan renegosiasi kontrak; penerimaan negara, luas lahan, perpanjangan
kontrak, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dalam negeri, dan
kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri dengan
pemerintah. Renegosiasi adalah meninjau kembali kontrak-kontrak lama yang dianggap
merugikan negara. Renegosiasi kontrak adalah perintah konstitusi UUD 1945
yang mengamanatkan pertambangan strategis perlu dikelola negara untuk
kesejahteraan rakyat.
Namun, sampai saat
ini, Freeport dan pemerintah belum sepakat untuk membangun smelter di Papua.
Freeport berkukuh tetap membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, berpartner
dengan Mitsubishi Material Corp. Pembangunan smelter baru ini juga untuk
mengantisipasi produksi tembaga dari tambang underground; Deep Ore Zone Block Cave, Big Gossan, Deep Mill Level
Zone Block Cave, dan Grasberg Block
Cave, sebesar 24.000 pound tembaga tahun 2018.
Padahal, pilihan
lokasi pembangunan smelter di Gresik tak adil. Antara Papua dan Gresik adalah
jarak yang jauh. Melintasi pulau yang jauh dan melewati lautan luas minus
infrastruktur laut. Lokasi yang jauh membutuhkan logistik pengangkutan.
Pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik menyebabkan Papua kehilangan
kesempatan investasi karena produkikutan dari tembaga sangat banyak.
PT Smelting yang berkapasitas
300.000 ton, misalnya, memproduksi sulfuric acid(920.000 ton per tahun),
gypsum (35.000 ton, untuk industri semen), copper slag (655.000 ton untuk
semen dan beton), anode slime (1.800 ton untuk pemurnian emas dan perak),
dancopper telluride (50 ton, untuk semikonduktor). Jika smelter baru dibangun
di Mimika, Papua mendapat untung besar karena produk ikutan itu akan membuka
ruang bagi mekarnya proses industrialisasi di Papua.
Bukan hanya smelter.
Freeport dan pemerintah juga belum sepakat soal masa berakhir kontrak.
Freeport meminta perpanjangan kontrak sampai 2041, sementara kontrak berakhir
hanya sampai 2021. Ruang bagi perusahaan milik negara seperti PT Aneka
Tambang Tbk untuk mendapat saham yang didivestasikan Freeport Indonesia juga
tertutup karena ketiadaan dana untuk membeli saham Freeport yang amat mahal
itu.
Boleh jadi, itulah
sebabnya mengapa DPR tak sepakat dengan upaya pemerintah memasukkan injeksi
modal senilai 3 miliar dollar AS dalam APBN 2016. Padahal, injeksi modal itu
sangat penting bagi perusahaan milik negara untuk mendapat saham Freeport
sehingga BUMN menjadi kuat. Sayangnya, pemerintah dan politisi cenderung
mendivestasikan saham Freeport melalui penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di pasar
modal yang tak mungkin bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, tetapi hanya
untuk kesejahteraan politisi dan pemodal yang memiliki uang banyak dan
memiliki akses ke bank untuk membeli saham Freeport.
Bisnis orang kuat
Tambang Grasberg
adalah tambang paling menguntungkan di dunia. Pada akhir 2010, Freeport
menghasilkan penjualan 6,72 miliar dollar AS untuk Freeport McMoRan. Tambang
itu juga menghasilkan laba kotor sebesar 4,17 miliar dollar AS pada akhir
2010. Cadangan tembagamencapai 33,7 juta pound dan emas mencapai 33,7 juta ons,
selain sekitar 230.000 ton ore milled per hari.
Saking kayanya tambang
Grasberg, setiap orang ingin mendapat keuntungan dari Freeport. Tak banyak
publik di Tanah Air yang paham bahwa banyak juga pebisnis lokal yang turut
mendapat keuntungan dari operasi tambang Grasberg. Perusahaan-perusahaan
lokal ini tak terjun langsung dalam operasi produksi, tetapi mereka hanya
menyediakan jasa, berupa penyedia jasa pelabuhan untuk bongkar-muat bahan
tambang, jasa pemasok BBM, sampai pada jasa pemasok katering untuk ribuan
karyawan Freeport Indonesia. Itulah sebabnya mengapa politisi Senayan meminta
jatah 49 persen saham PLTU Urumuka.
PT Ancora
International Tbk (OKAS), misalnya, menyediakan pasokan ammonium nitrate
(bahan peledak) sebesar 40.000 ton tahun 2011 dan meraup pendapatan Rp 281
miliar dari Freeport. PT Kuala Pelabuhan Indonesia (anak usaha PT Indika
Energi Tbk) menyediakan jasa pelabuhan dan untung Rp 233 miliartahun 2011.
Darma Henwa (Bakrie Group) mengantongi kontrak senilai 11 juta dollar AS untuk
membangun dua terowongan 4,8 kilometer dan akses jalan 4.000 meter. Sementara
Pangan Sari Utama menyediakan katering seluruh karyawan Freeport. Bisnis ini
tentu bukan bisnis kecil, tetapi bisnis ratusan miliar rupiah.
Semua
perusahaan-perusahaan di atas adalah milik orang-orang kuat di Republik ini.
Freeport adalah bisnis orang kuat; politisi, penguasa partai politik dan
pengusaha yang memiliki akses dekat dengan penguasa atau yang memiliki nilai
tawar besar dengan pemerintah.
Pola kerja sama
Freeport dengan perusahaan-perusahaan lokal tergantung dari rezim yang
memimpin Republik. Pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
Freeport Indonesia lebih memberi karpet merah kepada perusahaan-perusahaan
swasta nasional yang dekat akses kekuasaan. Sementara pada zaman pemerintahan
Jokowi-Kalla, pola kerja sama itu kelihatan akan bergeser ke perusahaan milik
negara (BUMN). Pergeseran ini boleh jadi karena pemerintahan Jokowi-Kalla mau
memberi ruang besar kepada perusahaan BUMN dalam membangun negeri ini.
Freeport Indonesia
telah melakukan penjajakan kerja sama dengan PT Bukit Asam (Tbk), PT Pindad,
dan PT Bahana untuk meningkatkan penyerapan penggunaan barang dan jasa dalam
negeri atau lokal konten dengan harga yang kompetitif. Direktur Utama PT
Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mengatakan realisasi belanja lokal
Freeport Indonesia per 10 Juli 2015 mencapai 422 juta dollar AS. (Baca
Kontan.co.id, 20/9)
Jika kerja sama dengan
BUMN terealisasi, perusahaan-perusahaan seperti Ancora Resources dan AKR Corporindo
merugi. Begitupun jika Freeport diwajibkan membangun smelter di Papua, maka
PT Kuala Pelabuhan Indonesia (PT Indika Energi Tbk) yang menyediakan jasa
pelabuhan untuk Freeport tak dapat mengais untung lagi dari Freeport.
Begitupun perusahaan jasa pengangkutan konsentrat, seperti Meratus Line
(Charles Menero), akan merugi karena tak bisa mengangkut konsentrat dari
Mimika menuju smelter Freeport di Gresik.
Ketika pemerintah pada
Januari 2014, mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah ke luar,
pasti banyak perusahaan pengapalan yang mendapat jatah bisnis dari Freeport
berteriak kencang, karena tak ada lagi pasokan bahan tambang untuk diekspor.
Perusahaan lokal yang
mendapat untung dari Freeport tentu bukan karena faktor kompetensi dan kinerja
mereka dalam bidangnya masing-masing. Jika begitu soalnya, tentu masih banyak
perusahaan lokal lain yang lebih kompeten dari mereka. Perusahaan itu justru
menjadi mitra bisnis Freeport, karena pemiliknya adalah orang-orang kuat di
negeri ini.
Bagi Freeport
Indonesia, mendapat mitra bisnis yang dekat dengan penguasa, akan mempermudah
ekspansi bisnis mereka di Grasberg. Keamanan investasi mereka juga bisa
terjaga dan tekanan pebisnis lokal untuk menyerukan nasionalisasi Freeport
mengecil. Sementara, bagi penguasa, masuknya perusahaan lokal untuk berbisnis
dengan Freeport sebagai balas budi karena memang mereka telah banyak
mengeluarkan dana ketika kampanye pemilihan pemimpin negeri ini.
Korporasi lokal-global
kemudian bahu-membahu membendung renegosiasi kontrak.Padahal, baik korporasi
global maupun korporasi lokal memiliki karakter sama. Dua-duanya tak dapat
menjamin keadilan sosial, mengangkat derajat kaum miskin alias membunuh
demokrasi dengan bendera logika kepentingan diri (self-interest). Jika renegosiasi kontrak gagal, pemerintah
kehilangan momen mengembalikan amanat konstitusi UUD 1945 dan korporasi tetap
permanen menjarah habis kekayaan negeri alam kita di Grasberg, Papua.
Kesejahteraan rakyat
terbengkalai, lingkungan tak terurus, dan pembagian keuntungan tak adil.
Pelanggaran hak asasi manusia, seperti tragedi kematian yang merenggut nyawa
28 pekerja di lubang tambang Big Gossan (14/5/2013) milik Freeport diabaikan
begitu saja. Semua itu terjadi karena multi-kepentingan yang ingin mengais
untung dari Freeport.
Kembalikan martabat konstitusi
Langkah Menteri ESDM
melaporkan politisi Senayan yang ingin mendapat jatah bisnis Freeport perlu
kita dukung. Langkah itu penting untuk membongkar kepentingan politik yang
menghambat renegosiasi kontrak dan sebagai bagian dari reformasi tata kelola
kelembagaan DPR. DPR bertugas mengawasi kinerja pemerintah untuk mempercepat
renegosiasi kontrak Freeport agar tak keluar dari konstitusi UUD 1945.
Renegosiasi harus dapat meningkatkan penerimaan negara agar rakyat sejahtera.
DPR seharusnya
mengawal kinerja pemerintah agar Freeport membangun smelter di Papua, bukan
bekerja meminta jatah saham atau menarik untung berbisnis bersama Freeport.
Pembangunan smelter di Papua dapat meningkatkan efek pengganda (multiplier effect) bagi pembangunan
dan mengurai kesenjangan pembangunan di Papua. Pembangunan smelter di Papua
penting untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa,
termasuk Papua.
Nasionalisasi Freeport
memang tak mudah karena pemerintah harus berhadapan dengan multi-kepentingan,
baik negara asal Freeport, Amerika Serikat, maupun pengusaha lokal yang
mengais untung dari Freeport. Maka, butuh pemimpin tegas dan kuat untuk
mengembalikan kedaulatan tambang kita di Grasberg ke pangkuan konstitusi UUD
1945. Pemimpin tegas tak loyo berhadapan dengan kekuatan asing dan oligarki
politik lokal.
Demi mengembalikan
martabat konstitusi UUD 1945, Presiden perlu mengambil keputusan tegas agar
tak memperpanjang kontrak karya Freeport setelah tahun 2021, jika perusahaan
itu tak mau membangun smelter pengolahan tembaga di Papua, mendivestasikan
saham ke pihak nasional, menciutkan luas lahan, dan menaikkan penerimaan
negara, sesuai dengan isi poin renegosiasi kontrak.
Akhirnya, Presiden
harus diingatkan bahwa tambang di mana saja akan habis cadangannya jika
dieksploitasi besar-besaran. Penurunan deposit tambang, seperti tembaga
menunjukkan bahwa sektorpertambangan selalu ada titik puncak berhenti
berproduksi. Investor hanya menginvestasikan modalnya pada saat lokasi
pertambangan masih memiliki potensi tinggi. Setelahnya, mereka akan
melepaskan areal pertambangan dan meninggalkan kerak-kerak tambang tanpa
adanya reklamasi pasca tambang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar