Ekonomi Politik Pengupahan
Dodi Mantra ; Pegiat Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia
(APPI);
Dosen Hubungan Internasional
Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
10 November 2015
Regulasi pemerintah
atas upah, yang termanifestasi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan, benar-benar mencerminkan keberlangsungan tatanan
kapitalisme neoliberal dalam kompleksitas dan coraknya yang spesifik.
Sebuah tatanan, ketika
kapitalisme jadi relasi sosial produksi, berjalan dalam totalitas yang
menggerakkan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dalam totalitas ini
kapitalisme tak dapat diletakkan semata-mata sebagai sistem ekonomi di mana
aktivitas teknis produksi berlangsung.
Sedari produksi di
dalam kapitalisme berbasis pada relasi sosial, keberlangsungan dan kelancaran
sirkulasinya mensyaratkan penciptaan kondisi penopang di segenap lini
kehidupan masyarakat. Membentang mulai dari ranah politik, hukum, sampai
budaya, kondisi tertentu harus diciptakan sedemikian rupa sehingga terus memungkinkan
sirkulasi relasi sosial produksi kapitalis ini dapat terus berjalan.
Pada titik ini negara
memainkan posisi dan peran dalam keberlangsungan tatanan kapitalisme
neoliberal. Baik melalui kehadiran maupun ketidakhadirannya dalam hidup
masyarakat, negara senantiasa berupaya mencipta dan menjaga kondisi yang
dibutuhkan bagi kelancaran sirkulasi. Namun, tak dapat pula itu serta-merta
dimaknai negara tunduk dan melayani segala apa yang dibutuhkan kapitalisme.
Di satu sisi,
kelancaran sirkulasi kapital membutuhkan peran penjagaan dari negara. Di sisi
lain, sejak kehidupan masyarakat berlangsung dalam totalitas sirkulasi
kapital, maka kelancaran sirkulasi ini menentukan keberlangsungan ekonomi
masyarakat, pada gilirannya jadi basis legitimasi atas kedaulatan negara.
Demikianlah PP No
78/2015 menampilkan manifestasi nyata dari upaya pemerintah menjaga
kelancaran sirkulasi produksi kapitalis yang berlangsung di wilayah geografis
Indonesia. Bahkan, melalui regulasi ini, negara menampakkan kehadirannya
secara vulgar untuk secara langsung mencipta dan menjaga kondisi yang
dibutuhkan dan menopang keberlangsungan sirkulasi tepat pada jantungnya.
Tentu tidaklah
sesederhana itu gestur negara di dalam bekerjanya tatanan kapitalisme
neoliberal dapat dinilai dan dianalisis. Masalah regulasi pemerintah atas
upah ini harus dibedah secara obyektif dalam corak spesifik dan kontekstual
dari keberlangsungan sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia. Meskipun
permasalahan inheren dan permanen di dalam kapitalisme, manifestasi, dan
ragam upaya mengatasinya berlangsung dalam corak yang bersifat spesifik ruang
dan waktu.
Maka, pentinglah
membedah secara serius corak spesifik dan dinamika dari sirkulasi produksi
kapitalis di Indonesia, yang menuntut negara terus mencipta dan menjaga
sederet kondisi yang dibutuhkan bagi kelancarannya. Jika tidak, mata rantai
permasalahan ini tak akan pernah dapat diputus, dan rupa-rupa permasalahan
yang sama pun akan terus berulang.
Sirkulasi produksi
kapitalis dalam corak dan dinamika spesifik, seperti apa yang sesungguhnya
hendak dijaga pemerintah melalui PP No 78/2015 ini?
Tingkat upah murah
Pertama, secara
keseluruhan tak dapat dimungkiri keberlangsungan dan kelancaran sirkulasi
produksi kapitalis di Indonesia sangat bergantung pada dan mensyaratkan
tingkat upah murah. Kondisi ini dapat diukur dari komposisi produk domestik
bruto (PDB) Indonesia yang bertumpu pada kontribusi besar sektor industri
manufaktur, dengan rata-rata kontribusinya terhadap PDB di atas 20 persen
dalam lima tahun terakhir.
Di balik kontribusi
terbesar industri manufaktur inilah terungkap betapa keberlangsungan
sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia sangat bertumpu pada tingkat upah
murah. Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap struktur industri
manufaktur Indonesia periode 1996-2012, sektor industri manufaktur digerakkan
oleh kinerja subsektor industri di mana upah murah menjadi basis utama dari
penciptaan keuntungan.
Dari 10 kelompok
subsektor industri manufaktur berpendapatan tertinggi kurun 1996-2012, rata-rata
37 persen di antaranya berada dalam klasifikasi industri yang padat tenaga
kerja tak terampil (PTKTT). Disusul sektor industri dalam klasifikasi pada
sumber daya alam (PSDA) dengan rata-rata 23 persen, industri padat kapital
sumber daya manusia (PSDM) 25 persen, padat teknologi (PT) 10 persen, dan
dalam klasifikasi padat kapital fisik (PKF) 5 persen.
Diselami lagi dari
besarnya porsi industri dalam klasifikasi PTKTT dan PSDA inilah terungkap
corak yang spesifik dan dominan dari sirkulasi produksi kapitalis di
Indonesia, di mana penciptaan nilai sangat bertumpu pada tingkat upah buruh
murah. Betapa tidak, beberapa dari subsektor yang berada pada posisi dominan
itu di antaranya subsektor industri tekstil, tembakau dan rokok, serta
industri pengolahan kelapa sawit, di mana ratusan ribu buruh dengan tingkat
upah murah jadi penggerak utama kegiatan produksi.
Demikian pula
kondisinya jika ditinjau dari sisi ekspor. Berada pada jajaran teratas dalam
10 besar daftar subsektor industri manufaktur yang memberi kontribusi besar
terhadap ekspor Indonesia periode 2007-2012, adalah industri pengolahan
kelapa sawit, besi baja, mesin dan otomotif, tekstil, tembakau, dan subsektor
industri lainnya yang tergolong dalam klasifikasi PSDA dan PTKTT.
Dalam kondisi tiadanya
perubahan fundamental dalam struktur industri manufaktur Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir, mutlak penjagaan terhadap tingkat upah murah tetap
jadi pertaruhan besar bagi pemerintah. Kondisi upah murah terbukti masih pada
posisi penyokong utama bagi keberlangsungan dan kelancaran sirkulasi produksi
kapitalis di Indonesia.
Gestur penjagaan
tingkat upah murah ini tampak jelas terkandung dalam PP No 78/2015. Perpaduan
di antara peninjauan komponen kebutuhan hidup layak selama lima tahun sekali,
ditambah masuknya variabel inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahunan, sangatlah
mencerminkan logika upah murah ini.
Makin temaram
Kedua, corak spesifik
dan dominan dari sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia yang berbasis upah
murah ini makin temaram ditinjau dari posisinya di dalam rantai nilai global.
Merujuk pada golongan barang ekspor utama kurun 2010-2014, tampak jelas
posisi Indonesia dalam rantai nilai global sebagai pemasok barang jadi dan
setengah jadi dengan nilai tambah yang rendah.
Pada 2014, misalnya,
yang berada pada peringkat teratas dengan kontribusi 20,21 persen dari total
ekspor hasil industri adalah kelompok hasil industri pengolahan kelapa/kelapa
sawit. Diikuti kelompok hasil industri besi baja, mesin-mesin dan otomotif,
serta industri tekstil, dengan persentase masing-masing 13,48 dan 10,84 di
mana-lagi-lagi-tingkat upah buruh murah jadi daya saing utamanya.
Namun, dinamika
pengalihan aktivitas produksi di dalam rantai nilai global menunjukkan bahwa
tidak hanya dalam wujud tingkat upah murah yang jadi determinan bagi
keputusan pengalihan aktivitas produksi ke suatu negara. Juga tingkat
kepastian biaya produksi, yang tentu sangat dipengaruhi kepastian tingkat
upah buruh dan regulasi di dalam sebuah negara, sebagai determinan lain yang
tak kalah pentingnya.
Formulasi pengupahan
yang ditetapkan melalui PP No 78/2015 tampak jelas memenuhi kebutuhan akan
kepastian tingkat upah bagi pengalihan aktivitas produksi ke Indonesia ini.
Melalui PP ini, komponen penghitungan upah minimum semakin pasti, terutama
melalui mekanisme peninjauan kebutuhan hidup layak yang dilakukan lima tahun
sekali. Alhasil, polemik penentuan komponen kebutuhan hidup layak dalam
penetapan upah minimum setiap tahunnya dapat diminimalkan.
Tak hanya makin pasti,
peningkatan upah minimum tahunan pun makin terkendali dan terukur. Gejolak
tuntutan kenaikan upah yang terus terjadi seiring dinamika sirkulasi kapital
yang kian tak stabil disalurkan secara pasti dan terukur melalui penambahan
komponen inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dan, terciptalah kondisi yang kian
memadai bagi kelancaran pengalihan aktivitas produksi ke Indonesia dalam
rantai nilai global.
Ketiga, penetapan
formulasi pengupahan ini tak dapat dilepaskan dari program pembangunan
ekonomi pemerintahan Joko Widodo, khususnya dalam wujud program revitalisasi
sektor industri manufaktur Indonesia.
Dalam rangka
mendongkrak kontribusi industri manufaktur terhadap PDB hingga 30 persen,
pemerintahan Jokowi mencanangkan pembangunan 13 kawasan industri baru yang
tersebar di wilayah timur Indonesia. Namun, ditinjau lagi secara spesifik,
semua kawasan yang dibangun lagi-lagi kawasan industri berbasis ekstraksi
sumber daya alam dan upah buruh murah.
Melepaskan penjagaan
terhadap tingkat upah murah di Indonesia tentu saja menjadi pertaruhan besar
bagi pemerintahan Jokowi. Melalui regulasi pengupahan yang menjamin kenaikan
upah pada tingkat yang terukur dan terkendali, serta melalui formulasi yang
memberi kepastian biaya, daya tarik kawasan industri baru dapat tetap
terjaga.
Demikianlah regulasi
pengupahan yang digelontorkan pemerintah ini benar-benar merefleksikan gestur
negara dalam menjaga kelancaran sirkulasi tepat pada jantung produksi
kapitalis dengan coraknya yang spesifik dan dominan di Indonesia. Bahkan,
gestur ini tampak dimainkan dengan sangat apik oleh pemerintahan Jokowi.
Menghadiahi regulasi
ini sebagai sebuah penolakan adalah satu hal yang memang mutlak bagi gerakan
buruh. Namun, dengan mendudukkan masalah ini di dalam bingkai bekerjanya
tatanan kapitalisme neoliberal di Indonesia, tampak lebih dari sekadar
penolakan yang harus dilakukan.
Selama relasi sosial
produksi kapitalis tetap menjadi totalitas yang menggerakkan segenap
kehidupan masyarakat, selama itu pula permasalahan upah akan terus melekat di
dalamnya.
Selama sirkulasi
produksi kapitalis di Indonesia tetap berlangsung dalam corak spesifiknya
yang mensyaratkan upah murah, selama itu pula tarik-menarik permasalahan upah
ini akan terus terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar