Uji Kompetensi Guru
Jejen Musfah ;
Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan
FITK UIN Jakarta
|
REPUBLIKA,
24 November 2015
Hari Guru Nasional
diperingati setiap 25 November yang pada tahun ini bertepatan dengan sebagian
guru melaksanakan uji kompetensi guru (UKG). UKG dilaksanakan pada 9-27
November dengan anggaran Rp 261 miliar. UKG diikuti sekitar 2.949.110 guru,
baik guru yang mempunyai sertifikat pendidik maupun guru yang belum
bersertifikat pendidik, baik PNS maupun guru honorer.
Meski PGRI menolak
UKG, Kemendikbud bergeming. Penolakan didasarkan pada dua alasan, hasil UKG
pada 2012 tidak ditindaklanjuti dengan pelatihan dan keyakinan bahwa hasil
UKG tidak menunjukkan gambaran kompetensi guru secara utuh serta valid. Pada
pelaksanaan UKG tahun ini ditemukan sejumlah kendala, seperti kebocoran soal,
guru tidak terampil mengoperasikan komputer, salah soal, dan pemberitahuan
mendadak ke guru.
Bagi pemerintah, UKG
diharapkan memotivasi guru agar profesional dengan cara belajar melalui
beragam cara. Dengan mengetahui peta kompetensi guru, bisa diberikan
pelatihan atau program yang bisa meningkatkan kelemahan-kelemahan guru. Bagi
guru yang nilai UKG-nya bagus, pemerintah menyediakan hadiah berkunjung ke
luar negeri. Inilah alasan mengapa UKG perlu dilaksanakan. Peningkatan
kompetensi guru didasarkan pada penilaian diri, yaitu pada aspek apa
sesungguhnya kelemahan guru itu.
Menguji kompetensi
profesional dan pedagogis guru dengan soal ujian tulis yang disusun
pemerintah pusat memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, guru Indonesia
tersebar di banyak pulau dengan mutu sekolah yang sangat beragam. Keragaman
mutu sekolah itu, misalnya, ketersediaan buku, majalah, koran, dan internet.
Ketersediaan fasilitas belajar berpengaruh terhadap kompetensi guru. Sekolah
masih banyak yang tidak memiliki perpustakaan dan tidak berlangganan koran
dan internet.
Kedua, masih banyak
kualifikasi guru yang di bawah S-1, yaitu 40 persen guru bergelar S-1,
berarti sisanya yang 60 persen di bawah S-1. Kompetensi guru yang pernah
belajar di jenjang sarjana selama minimal empat tahun, tentu tidak bisa
dibandingkan dengan guru yang hanya tamatan SMA, SMK, dan MA. Meski guru
bergelar sarjana, perbedaan LPTK tempat kuliah guru sebelumnya juga sangat
berpengaruh terhadap kompetensi guru.
Ketiga, status guru
yang beragam, yaitu guru PNS dan guru honorer, guru tetap dan guru tidak
tetap, dan guru tersertifikasi dan guru tidak tersertifikasi. Perbedaan
pendapatan atau kesejahteraan guru tentu berkaitan dengan daya beli guru
terhadap sumber-sumber belajar, seperti buku dan komputer, yang berujung pula
pada perbedaan kompetensi mereka.
Dengan tiga perbedaan
ini saja, sangat tidak adil mengukur kompetensi guru dengan alat ukur yang
sama, yakni berupa kemampuan menjawab 60-100 soal dalam waktu 120 menit, baik
melalui dalam jaringan (daring)
maupun luar jaringan (laring).
Misalnya, nilai 7 yang diperoleh guru di perkotaan dan PNS, berbeda bobotnya
dengan nilai 7 yang diperoleh oleh guru di desa dan honorer.
Lalu, apakah tujuan
UKG yang berbiaya besar ini bisa tercapai? Kita tahu bahwa pemetaan
kompetensi guru merupakan tujuan antara yang mana tujuan akhirnya adalah
peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan. Menurut saya, UKG tidak akan
bermakna jika guru tidak cinta belajar dan pelatihan tidak merata bagi guru.
Pertama, UKG yang akan
dilaksanakan pemerintah setiap tahun seyogianya melecut semangat guru untuk
belajar terus-menerus, di manapun dan dalam kondisi apa pun. Sebagai pengalih
ilmu ke peserta didik, guru seharusnya memiliki pengetahuan yang luas dan
dalam terkait materi mata pelajaran masing-masing. Kecintaan membaca
merupakan karakter utama yang harus dimiliki guru.
Namun, kondisi guru
Indonesia saat ini tidaklah seindah yang dibayangkan. Guru hampir tidak
memiliki waktu untuk belajar atau membaca karena: 1) guru mengajar lebih dari
satu mata pelajaran, 2) guru mengajar lebih dari satu kelas, 3) guru mengajar
lebih dari satu sekolah. Semua ini dilakukan guru karena sekolah kekurangan
guru, atau untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam per minggu—bagi yang
sudah tersertifikasi.
Di sisi lain, sebagian
guru tidak bisa belajar karena disibukkan dengan: 1) mengurus hal-hal
administratif terkait pembelajaran. Kinerja guru diukur dari keberhasilannya
mengumpulkan sejumlah dokumen, bukan dari proses mengajar di kelas dan
prestasi peserta didiknya, 2) mengisi pelatihan-pelatihan terkait Kurikulum
2013 sehingga jarang hadir di sekolah. Dampaknya, kelas sering kosong atau
yang mengajar guru pengganti—yang belum tentu kompeten dalam mapel yang
diajarkannya.
Kedua, pemerintah
harus menjamin bahwa setelah UKG selesai, dilaksanakan pelatihan bagi guru
secara merata dari Sabang hingga Merauke, dari kota hingga desa, dan dari
sekolah negeri hingga sekolah swasta. Belajar dari tahun 2012, tidak ada
pelatihan bagi guru yang nilainya rendah dalam UKG. Tidak ada jaminan bahwa
pemerintah tidak akan mengulang kesalahan yang sama: ingkar janji.
Kekhawatiran tentang
pelatihan guru pasca-UKG ini beralasan setidaknya mencakup, pertama, siapa
yang akan melatih guru-guru tersebut. Widyaiswara yang tersebar di 12 P4TK
(Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) di
Indonesia pada 2015 ini, misalnya, waktunya sangat padat untuk pelatihan
K-13, bimbingan teknis UKG, pelatihan kepala sekolah, dan pelatihan pengawas.
Penambahan program
pelatihan guru harus direncanakan dengan baik agar tidak terlalu membebani
widyaiswara. Jika memungkinkan, pelatih bisa melibatkan dari unsur guru dan
dosen yang dianggap mampu. Dengan demikian, widyaiswara memiliki waktu libur
yang cukup untuk penyegaran dan berkumpul bersama keluarga.
Kedua, pemerataan
pelatihan bagi guru tidak mudah karena jumlah guru tidak sedikit dan terdapat
di banyak pulau-pulau yang sulit dijangkau. Jangankan guru-guru di daerah
terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), guru yang ada di kota dan pinggiran
kota saja sering tidak tersentuh pelatihan. Kecuali itu, status guru non-PNS
bukan PNS, dan status guru madrasah bukan guru sekolah, sering menjadi
hambatan untuk mengikuti pelatihan.
Akhirul kalam, selamat
Hari Guru Nasional dan HUT ke-70 PGRI. Semoga UKG mendorong guru untuk terus
belajar dan belajar sehingga menjadi guru yang kompeten. Meskipun disadari
bahwa belum semua guru sejahtera.
Semoga pemerintah
tidak ingkar janji untuk memberikan pelatihan pascahasil UKG sehingga
guru-guru yang tidak pernah mengikuti pelatihan mendapatkan pencerahan dan
pembinaan dari pelatih-pelatih yang kompeten. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar