Jumat, 27 November 2015

Uji Kompetensi Guru

Uji Kompetensi Guru

Jejen Musfah  ;  Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan FITK UIN Jakarta
                                                  REPUBLIKA, 24 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hari Guru Nasional diperingati setiap 25 November yang pada tahun ini bertepatan dengan sebagian guru melaksanakan uji kompetensi guru (UKG). UKG dilaksanakan pada 9-27 November dengan anggaran Rp 261 miliar. UKG diikuti sekitar 2.949.110 guru, baik guru yang mempunyai sertifikat pendidik maupun guru yang belum bersertifikat pendidik, baik PNS maupun guru honorer.

Meski PGRI menolak UKG, Kemendikbud bergeming. Penolakan didasarkan pada dua alasan, hasil UKG pada 2012 tidak ditindaklanjuti dengan pelatihan dan keyakinan bahwa hasil UKG tidak menunjukkan gambaran kompetensi guru secara utuh serta valid. Pada pelaksanaan UKG tahun ini ditemukan sejumlah kendala, seperti kebocoran soal, guru tidak terampil mengoperasikan komputer, salah soal, dan pemberitahuan mendadak ke guru.

Bagi pemerintah, UKG diharapkan memotivasi guru agar profesional dengan cara belajar melalui beragam cara. Dengan mengetahui peta kompetensi guru, bisa diberikan pelatihan atau program yang bisa meningkatkan kelemahan-kelemahan guru. Bagi guru yang nilai UKG-nya bagus, pemerintah menyediakan hadiah berkunjung ke luar negeri. Inilah alasan mengapa UKG perlu dilaksanakan. Peningkatan kompetensi guru didasarkan pada penilaian diri, yaitu pada aspek apa sesungguhnya kelemahan guru itu.

Menguji kompetensi profesional dan pedagogis guru dengan soal ujian tulis yang disusun pemerintah pusat memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, guru Indonesia tersebar di banyak pulau dengan mutu sekolah yang sangat beragam. Keragaman mutu sekolah itu, misalnya, ketersediaan buku, majalah, koran, dan internet. Ketersediaan fasilitas belajar berpengaruh terhadap kompetensi guru. Sekolah masih banyak yang tidak memiliki perpustakaan dan tidak berlangganan koran dan internet.

Kedua, masih banyak kualifikasi guru yang di bawah S-1, yaitu 40 persen guru bergelar S-1, berarti sisanya yang 60 persen di bawah S-1. Kompetensi guru yang pernah belajar di jenjang sarjana selama minimal empat tahun, tentu tidak bisa dibandingkan dengan guru yang hanya tamatan SMA, SMK, dan MA. Meski guru bergelar sarjana, perbedaan LPTK tempat kuliah guru sebelumnya juga sangat berpengaruh terhadap kompetensi guru.

Ketiga, status guru yang beragam, yaitu guru PNS dan guru honorer, guru tetap dan guru tidak tetap, dan guru tersertifikasi dan guru tidak tersertifikasi. Perbedaan pendapatan atau kesejahteraan guru tentu berkaitan dengan daya beli guru terhadap sumber-sumber belajar, seperti buku dan komputer, yang berujung pula pada perbedaan kompetensi mereka.

Dengan tiga perbedaan ini saja, sangat tidak adil mengukur kompetensi guru dengan alat ukur yang sama, yakni berupa kemampuan menjawab 60-100 soal dalam waktu 120 menit, baik melalui dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (laring). Misalnya, nilai 7 yang diperoleh guru di perkotaan dan PNS, berbeda bobotnya dengan nilai 7 yang diperoleh oleh guru di desa dan honorer.

Lalu, apakah tujuan UKG yang berbiaya besar ini bisa tercapai? Kita tahu bahwa pemetaan kompetensi guru merupakan tujuan antara yang mana tujuan akhirnya adalah peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan. Menurut saya, UKG tidak akan bermakna jika guru tidak cinta belajar dan pelatihan tidak merata bagi guru.

Pertama, UKG yang akan dilaksanakan pemerintah setiap tahun seyogianya melecut semangat guru untuk belajar terus-menerus, di manapun dan dalam kondisi apa pun. Sebagai pengalih ilmu ke peserta didik, guru seharusnya memiliki pengetahuan yang luas dan dalam terkait materi mata pelajaran masing-masing. Kecintaan membaca merupakan karakter utama yang harus dimiliki guru.

Namun, kondisi guru Indonesia saat ini tidaklah seindah yang dibayangkan. Guru hampir tidak memiliki waktu untuk belajar atau membaca karena: 1) guru mengajar lebih dari satu mata pelajaran, 2) guru mengajar lebih dari satu kelas, 3) guru mengajar lebih dari satu sekolah. Semua ini dilakukan guru karena sekolah kekurangan guru, atau untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam per minggu—bagi yang sudah tersertifikasi.

Di sisi lain, sebagian guru tidak bisa belajar karena disibukkan dengan: 1) mengurus hal-hal administratif terkait pembelajaran. Kinerja guru diukur dari keberhasilannya mengumpulkan sejumlah dokumen, bukan dari proses mengajar di kelas dan prestasi peserta didiknya, 2) mengisi pelatihan-pelatihan terkait Kurikulum 2013 sehingga jarang hadir di sekolah. Dampaknya, kelas sering kosong atau yang mengajar guru pengganti—yang belum tentu kompeten dalam mapel yang diajarkannya.
     
Kedua, pemerintah harus menjamin bahwa setelah UKG selesai, dilaksanakan pelatihan bagi guru secara merata dari Sabang hingga Merauke, dari kota hingga desa, dan dari sekolah negeri hingga sekolah swasta. Belajar dari tahun 2012, tidak ada pelatihan bagi guru yang nilainya rendah dalam UKG. Tidak ada jaminan bahwa pemerintah tidak akan mengulang kesalahan yang sama: ingkar janji.

Kekhawatiran tentang pelatihan guru pasca-UKG ini beralasan setidaknya mencakup, pertama, siapa yang akan melatih guru-guru tersebut. Widyaiswara yang tersebar di 12 P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) di Indonesia pada 2015 ini, misalnya, waktunya sangat padat untuk pelatihan K-13, bimbingan teknis UKG, pelatihan kepala sekolah, dan pelatihan pengawas.

Penambahan program pelatihan guru harus direncanakan dengan baik agar tidak terlalu membebani widyaiswara. Jika memungkinkan, pelatih bisa melibatkan dari unsur guru dan dosen yang dianggap mampu. Dengan demikian, widyaiswara memiliki waktu libur yang cukup untuk penyegaran dan berkumpul bersama keluarga.

Kedua, pemerataan pelatihan bagi guru tidak mudah karena jumlah guru tidak sedikit dan terdapat di banyak pulau-pulau yang sulit dijangkau. Jangankan guru-guru di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), guru yang ada di kota dan pinggiran kota saja sering tidak tersentuh pelatihan. Kecuali itu, status guru non-PNS bukan PNS, dan status guru madrasah bukan guru sekolah, sering menjadi hambatan untuk mengikuti pelatihan.

Akhirul kalam, selamat Hari Guru Nasional dan HUT ke-70 PGRI. Semoga UKG mendorong guru untuk terus belajar dan belajar sehingga menjadi guru yang kompeten. Meskipun disadari bahwa belum semua guru sejahtera.

Semoga pemerintah tidak ingkar janji untuk memberikan pelatihan pascahasil UKG sehingga guru-guru yang tidak pernah mengikuti pelatihan mendapatkan pencerahan dan pembinaan dari pelatih-pelatih yang kompeten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar