Harapan Rupiah Stabil
Anton Hendranata ;
Chief Economist PT Bank Danamon
Indonesia, Tbk
|
KOMPAS,
26 November 2015
Bermimpikah melihat
rupiah sebagai mata uang yang stabil dan dicintai di negara ini? Melihat
volatilitas rupiah, yang muncul adalah pesimisme.
Tanda-tanda turunnya
fluktuasi rupiah cenderung tidak terlihat, bahkan makin meningkat, apalagi
gejolak eksternal/global makin tidak menentu sejak krisis ekonomi global
2008. Permintaan dan penawaran valas domestik sering mismatch karena kurang
mencukupi permintaan.
Statistik koefisien
variasi jelas menunjukkan bahwa rupiah justru makin bergejolak. Periode
2000-2005, fluktuasi rupiah 9,2 persen, sedikit menurun menjadi 8,0 persen
pada 2006-2010. Namun, periode 2011-2015, fluktuasi rupiah meningkat hampir
dua kali lipat menjadi 15,9 persen.
Dibandingkan dengan
mata uang kawasan regional, fluktuasi ringgit Malaysia, peso Filipina, baht
Thailand, dan rupee India jauh lebih rendah. Pada 2011- 2015, fluktuasi
ringgit, peso, baht, dan rupee berturut-turut 9,3 persen, 3,3 persen, 4,7
persen, dan 11,6 persen.
Dengan fluktuasi
tertinggi, ternyata rupiah juga mengalami depresiasi/pelemahan terbesar,
rata-rata 8,2 persen 2011-2015. Sementara pelemahan rupee 7,0 persen, diikuti
ringgit 3,8 persen, baht 1,4 persen, dan pelemahan terendah pada peso 0,1
persen.
Melihat rentannya
rupiah, tak heran kalau tingkat kepercayaan terhadap rupiah relatif rendah
dibandingkan mata uang lain di Asia. Rupiah menjadi mata uang yang sulit
diprediksi. Rupiah bisa melemah signifikan, di lain waktu menguat tiba-tiba.
Pergerakan rupiah
cukup sering tidak mengikuti fundamental ekonomi Indonesia. Rupiah lebih
digerakkan oleh sentimen negatif, terutama oleh faktor eksternal/global,
berdampak pada sentimen negatif di domestik.
Peranan rupiah yang
seharusnya hanya sebagai alat transaksi di perekonomian menjadi melenceng
fungsinya karena disisipi tujuan spekulatif. Karena itu, peranan dan tanggung
jawab Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan rupiah menjadi sangat sulit.
Apalagi , hanya BI yang berada di pasar untuk menyuplai dollar AS, sedangkan
suplai dollar AS dari pelaku pasar (khususnya eksportir) relatif terbatas,
cenderung disimpan. Melihat ini, terasa tidak adil jika tanggung jawab rupiah
hanya dibebankan kepada BI.
Faktor pemicu
Ada beberapa faktor
pemicu kecenderungan rupiah tidak stabil. Pertama, neraca pembayaran
Indonesia kurang sehat sejak tahun 2010 karena sangat bergantung pada neraca
modal dan finansial (NMF), terutama investasi portofolio (saham dan surat utang),
yang biasa disebut dengan ”hot money”. Sementara neraca transaksi berjalan
(NTB) sumbangannya relatif kecil, padahal neraca ini sangat diperlukan agar
rupiah stabil.
NTB adalah cerminan
seberapa besar kekuatan perekonomian (produksi) domestik untuk menghasilkan
dollar AS, terutama dari perdagangan internasional (ekspor-impor). Sayangnya,
porsi NTB hanya seperlima NMF tahun 2010, makin menurun sekitar sepersepuluh
tahun 2011.
Bahkan, NTB terus
memburuk dengan defisit beruntun, yaitu 24 miliar, 29 miliar, dan 27 miliar
dollar AS selama 2012- 2014. Diperkirakan neraca transaksi berjalan masih
defisit pada 2015 walau lebih rendah dibandingkan pada 2014.
Kedua, utang luar
negeri (ULN) swasta meningkat signifikan karena suku bunga rendah di luar
negeri dan tingginya suku bunga domestik, serta terbatasnya sumber dana di
perekonomian nasional. Dalam tujuh tahun terakhir, ULN swasta meningkat lebih
dari dua kali lipat menjadi 164 miliar dollar AS (Agustus 2015) dari 74
miliar dollar AS (2009). Pesatnya kenaikan terlihat sejak 2012, jauh melebihi
ULN pemerintah. Posisi Agustus 2015, komposisi ULN swasta 56 persen dari
total ULN. Situasi semakin berat karena sebagian besar total utang Indonesia
didominasi mata uang dollar AS (72 persen, Agustus 2015), naik signifikan
dibandingkan pada 2009 yang tercatat hanya 58 persen.
Ketiga, aset finansial
Indonesia sebagian besar dimiliki investor asing. Sementara investor domestik
perannya terbatas dalam pendalaman pasar finansial di Indonesia. Ihwal
kepemilikan asing, positifnya adalah investor asing melihat bahwa Indonesia
aman untuk berinvestasi. Buruknya adalah ketika ada gejolak yang menimbulkan
sentimen negatif, dengan mudah aliran modal asing keluar dari Indonesia.
Rupiah pun akan terdepresiasi sangat cepat.
Kita harus waspada,
porsi kepemilikan asing terhadap surat utang negara sudah sangat tinggi 37
persen (Oktober 2015) dari 19 persen (2009). Adapun peranan investor domestik
di luar bank (asuransi, dana pensiun, sekuritas, dan reksa dana) menurun dari
34 persen (2009) menjadi 29 persen (Oktober 2015).
Terakhir, tidak ada
kewajiban devisa hasil ekspor Indonesia disimpan ke perbankan domestik. Kita
terjegal oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa
dan Sistem Nilai Tukar yang dibuat sendiri. Dalam undang-undang ini sangat
jelas dinyatakan bahwa ”penduduk yang memperoleh dan memiliki devisa tidak
wajib menjualnya kepada negara”.
Itu artinya tidak
secara otomatis, ketika ekspor Indonesia meningkat signifikan, suplai dollar
AS di perekonomian domestik akan bertambah. Sementara negara tetangga,
Malaysia dan Thailand, hasil ekspornya wajib dibawa masuk ke perbankan
domestik. India lebih ketat lagi, hasil ekspor wajib masuk dan wajib
dikonversi ke rupee.
Dengan pemaparan ini,
saya kira kita tak perlu pesimistis terhadap rupiah di masa depan.
Ketidakstabilan rupiah seharusnya bisa diatasi pemerintah, BI, dan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).
Menuju stabilisasi
Modal awal rupiah
menuju stabilisasi sudah diiniasi oleh pemerintah dengan mencabut subsidi bensin
pada 1 Januari 2015 dan hanya memberi subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk
solar. Keputusan yang berani dan krusial ini membuat pemerintah menghemat Rp
212 triliun. Angka fantastis untuk pembangunan infrastruktur yang jauh lebih
baik dari pemerintahan sebelumnya.
Semoga saja
pembangunan infrastruktur berjalan konsisten dan berkesinambungan.
Infrastruktur yang baik akan memberikan efek berantai yang sangat besar
terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Distribusi barang dan jasa
bisa berjalan mulus dari satu daerah ke daerah lain. Harga akan stabil dan
terjangkau masyarakat. Kita tidak perlu lagi mendengar harga impor jeruk dari
Tiongkok lebih murah dari harga jeruk Pontianak di Jakarta. Era inflasi
rendah dan stabil akan kita nikmati ke depan sehingga suku bunga rendah akan
bergerak natural.
Perkembangan industri
manufaktur, yang selama ini cukup mengkhawatirkan dan tak mampu memenuhi
kebutuhan domestik, saya pikir akan berubah dan berputar mendekati 180
derajat. Industri manufaktur akan mampu menyubstitusi barang impor, bahkan
bisa menjadi andalan ekspor yang mendatangkan devisa. Ketergantungan terhadap
ekspor komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga global dapat kita
eliminasi.
Paket kebijakan
berseri (paket 1-5) yang dilakukan pemerintah sangat jelas menunjukkan
keseriusan dan kehati-hatian untuk membenahi permasalahan struktural
perekonomian Indonesia. Begitu juga dengan BI melalui kebijakan moneternya,
yang diharapkan bisa sinkron dan harmonis dengan kebijakan pemerintah dan OJK.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar