Kasus Freeport dan Kepastian Investasi
A Prasetyantoko ; Pengajar di Unika Indonesia Atma Jaya,
Jakarta
|
KOMPAS,
23 November 2015
Idiom ”papa minta
saham” mendadak tenar. Ada dugaan, ada permintaan saham PT Freeport Indonesia
oleh para pemburu rente ekonomi. Kasusnya sudah melebar ke ranah politik dan
sejauh ini belum terlihat ujungnya.
Sejatinya, bagi PT
Freeport Indonesia (PT FI), singgungan dengan politik sama sekali bukan hal
baru. Sejak kehadirannya pertama kali pada 1967, nuansa politik sudah sangat
kuat. Kini, mendekati berakhirnya kontrak pada 2021, aroma politik kembali
menyeruak.
Investasi asing yang
melibatkan sumber daya besar di negara berkembang selalu menyisakan fenomena
konspirasi. Potensi ”persekongkolan tak suci” antara pemodal dan politisi
lokal sangat besar. Apalagi, sektor pertambangan yang melibatkan penjualan
”tanah dan air”, baik dalam arti harfiah maupun kiasan. Begitulah kasus yang
dialami Freeport-McMoRan Inc (FCX), induk perusahaan PT FI yang berbasis di
Phoenix, Arizona, Amerika Serikat (AS).
Ladang Grasberg di
Papua menyimpan cadangan emas terbesar di dunia. Sekitar 93 persen produksi
emas FCX dihasilkan ladang Papua, hanya 6 persen disumbang pertambangan di
Amerika Selatan dan 1 persen Amerika Utara. Bagi perusahaan ini,
mempertahankan investasi di Papua adalah soal masa depan perusahaan. Lebih
dari itu, Pemerintah AS pun sangat berkepentingan.
Menghadapi pelambatan
ekonomi global serta penurunan harga komoditas, FCX mengalami penciutan laba.
Per Mei 2015, perusahaan ini mengalami penurunan laba 1,3 miliar dollar AS
dengan penjualan 21,7 miliar dollar AS. Di tengah situasi yang kurang
bersahabat, renegosiasi kontrak akan menjadi momentum yang sangat krusial.
Sementara di dalam
negeri, keberadaan pemerintah baru dan perubahan kerangka regulasi merupakan
tantangan penting. Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan, telah terjadi peralihan dari
sistem kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus. Dalam UU ini
juga diatur, renegosiasi kontrak baru bisa dilakukan dua tahun sebelum
kontrak berakhir.
Mengingat investasi
pertambangan sangat mahal, diperlukan kepastian kontrak tersebut. Di sinilah
berbagai kepentingan domestik bermain memanfaatkan situasi. Dalam konteks ini
pula terjadi dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden terkait
pengalihan saham.
Harian Financial Times
(19/11/2015) menulis, kasus ini hanya akan meningkatkan ketidakpastian
investasi Freeport di Indonesia setelah larangan ekspor mineral mentah.
Dengan mengacu pada
kerangka regulasi yang sudah ada, pemerintah baru mengajukan lima syarat
perpanjangan kontrak. Pertama, perpanjangan baru diberikan dua tahun sebelum
kontrak habis, artinya 2019. Kedua, muatan lokal ditingkatkan agar berdampak
bagi perekonomian domestik dan lokal. Ketiga, kewajiban mendivestasi 30
persen saham dari posisi sekarang, yakni 9,36 persen yang dimiliki
pemerintah. Keempat, meningkatkan pembayaran royalti tembaga menjadi 4
persen, emas menjadi 3,75 persen, dan perak menjadi 3,25 persen. Kelima,
kewajiban membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) sebelum
habis kontrak pada 2021.
Beberapa hal teknis
belum dibicarakan sehingga memunculkan ruang pemburuan rente. Misalnya,
tentang mekanisme divestasi 20,64 persen saham senilai kurang lebih Rp 48
triliun, apakah melalui pengalihan saham atau pasar modal.
Pada periode 30 tahun
pertama kontrak karya 1967-1997, selain terjadi pengalihan 9,36 persen saham
pada Pemerintah Indonesia, juga terjadi pengalihan saham 9,36 persen dari PT
Indocopper Investama kepada PT Nusamba yang kembali lagi ke FCX. Setiap
proses pengalihan saham selalu diwarnai drama politik.
Dengan komitmen
pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo untuk membenahi segala bidang, ada
momentum mereformasi iklim investasi asing di Indonesia. Dalam investasi
langsung, Indonesia semakin diperhitungkan dan akan terus meningkat.
Dipastikan transaksi bisnis yang melibatkan investor asing besar akan kian
intensif.
Namun, ada banyak
perusahaan domestik yang juga semakin besar. Baik pelaku asing maupun
domestik sama-sama membutuhkan kepastian kerangka regulasi dan komitmen
politik yang kuat.
Komitmen pemerintah
baru melalui politik anggaran tak diragukan lagi. Sementara, dari sisi
kerangka regulasi juga mulai terlihat dari berbagai paket kebijakan yang
sudah mencapai paket VI. Dalam paket kebijakan tersebut, pada dasarnya
pemerintah memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku swasta.
Meletupnya kasus ”papa
minta saham” bisa menjadi momentum pembenahan iklim investasi di Indonesia.
Jika itu dilakukan, pasti akan menjadi sinyal positif bagi pelaku usaha
besar, baik asing maupun domestik.
Pada September lalu,
John McBeth menulis begini, ”Why
Indonesia is Going Nowhere Fast Under Jokowi: Jakarta is losing the
international perceptions game.”
Presiden Jokowi tengah
kehilangan kepercayaan, baik di mata publik domestik maupun internasional.
Ini saat yang baik untuk memulihkan kepercayaan lewat sikap tegas
menyingkirkan para pemburu rente dari lingkungan dekatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar