Rabu, 25 November 2015

Dilema Upah dan Solusinya

Dilema Upah dan Solusinya

Bambang Setiaji  ;  Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta;
Doktor dalam bidang Ekonomi Perburuhan
                                                    JAWA POS, 23 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DAMPAK lahirnya PP (Peraturan Pemerintah) No 78 tentang Upah pada Oktober 2015 perlu dicermati secara seimbang. Baik kepada kehidupan kelompok buruh maupun kepada kehidupan bisnis yang memikul tugas berat, terutama untuk memberi rakyat pekerjaan dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
PP itu menyatakan bahwa kenaikan upah tetap dilakukan setiap tahun, berdasar kebutuhan hidup layak yang komponennya ditinjau setiap lima tahun. Penetapan upah minimum dihitung dengan menggunakan formula: UMn = UMt + {UMt x (inflasi + % Δ PDBt)}

Upah minimum tahun ini diperoleh dengan menambahkan upah tahun lalu plus besar inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tahun 2015–2016, misalnya, diperkirakan inflasi cukup tinggi, sebesar 6,9 persen, plus pertumbuhan ekonomi 4,7 persen. Maka, upah minimum dapat ditetapkan tumbuh sebesar 11 persen.
Bagi pekerja, dengan pertumbuhan upah 11 persen itu, akan terjadi kenaikan kesejahteraan riil 4,7 persen atau sebesar pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
Artinya, bagian pekerja dalam nilai tambah akan sama dengan tahun lalu. Dengan kata lain, formula di atas tidak memberikan perbaikan pangsa pembagian nilai tambah.

Nilai tambah dibagi menjadi empat komponen, yaitu bunga dan sewa yang diterima pemilik modal dan aset, laba yang dinikmati para pengusaha, upah yang diterima para pekerja, serta pajak yang diperoleh pemerintah.

Dengan formula di atas, pangsa upah dari nilai tambah riil ke depan tetap tidak berubah seperti keadaan 2014–2015. Formula di atas juga bermakna bahwa keseimbangan pangsa antara buruh dan pemilik kapital sudah dianggap ideal. Artinya, upah riil hanya akan meningkat dengan porsi yang sama yang diperoleh pemilik modal.

Sudah Idealkah Pembagian

Nilai Tambah? Perbaikan upah yang melebihi inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan memperbaiki pembagian nilai tambah antara pekerja pemilik modal, yang menjalankan modal, dan pemerintah.

Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), besar upah tenaga kerja (2012) sebesar Rp 151.635 miliar. Sedangkan nilai tambah pada tahun yang sama sebesar Rp 1.153.398 miliar. Itu berarti, upah pekerja hanya sekitar 13 persen dari nilai tambah.

Apabila formula seperti tersebut di atas dibakukan, upah riil pekerja akan tumbuh sebesar pertumbuhan ekonomi setara dengan pertumbuhan perolehan riil pemilik modal dan pajak yang diterima pemerintah. Dengan kata lain, perolehan 13 persen dan 87 persen yang diperoleh pengusaha, pemilik modal, dan pajak sudah dianggap ideal.

Masalah lain yang kita hadapi, pertumbuhan 4,7 persen adalah pertumbuhan rata-rata. Ada industri yang tumbuh jauh di atas itu, kurang dari itu, bahkan mungkin negatif.

Bagi industri yang tumbuh di atas 4,7 persen, ketentuan kenaikan upah riil 4,7 persen membuat pembagian nilai tambah di subsektor itu makin timpang. Tetapi, industri tertentu yang tumbuh di bawah 4,7 persen atau yang bahkan negatif, patokan itu justru akan memberatkan dan mempercepat kebangkrutan. Muaranya, mengakibatkan PHK (pemutusan hubungan kerja) yang tentu lebih merugikan lagi bagi buruh. Sebab, sumber pendapatan mereka hilang.

Sistem Bonus atau Bagi Hasil

Sistem pengupahan yang tidak memberatkan pengusaha dan memberikan semangat bekerja kepada buruh adalah sistem bonus atau bagi hasil. Dengan sistem bonus, upah dasar tidak perlu ditinjau tiap tahun yang membuat pengusaha yang berada di bawah angka pertumbuhan menjadi ngosngosan. Upah dasar hanyalah upah subsisten ditambah dengan bonus yang diperoleh dari persentase tertentu dari laba bersih.

Sistem bonus yang ditetapkan pemerintah adalah besarnya persentase laba yang dibagi. Sistem produksi menjadi transparan dan akan terjadi semangat memiliki dari pekerja. Pemerintah juga berkepentingan dengan transparansi itu karena pajak juga ditetapkan dalam persentase tertentu dari laba siap pajak.
Bagian akuntansi hendaknya mencerminkan kepentingan tripartit –pengusaha, pekerja, dan pemerintah– sebagai basis memberikan bonus. Dengan sistem bagi hasil, pengusha yang mengalami kesulitan –misalnya, terkena dampak kenaikan dolar– tidak perlu risau.

Sebaliknya, pengusaha yang justru diuntungkan dengan naiknya dolar hendaknya membagikan rezeki kepada pekerja. Corak ekonomi secara umum akan lebih sosial sebagaimana diamanatkan UUD 45.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar