Dilema Upah dan Solusinya
Bambang Setiaji ;
Rektor Universitas Muhammadiyah
Surakarta;
Doktor dalam bidang Ekonomi
Perburuhan
|
JAWA
POS, 23 November 2015
DAMPAK lahirnya PP (Peraturan Pemerintah) No
78 tentang Upah pada Oktober 2015 perlu dicermati secara seimbang. Baik
kepada kehidupan kelompok buruh maupun kepada kehidupan bisnis yang memikul
tugas berat, terutama untuk memberi rakyat pekerjaan dan menjaga momentum
pertumbuhan ekonomi.
PP itu menyatakan bahwa kenaikan upah tetap
dilakukan setiap tahun, berdasar kebutuhan hidup layak yang komponennya
ditinjau setiap lima tahun. Penetapan upah minimum dihitung dengan
menggunakan formula: UMn = UMt + {UMt x (inflasi + % Δ PDBt)}
Upah minimum tahun ini diperoleh dengan
menambahkan upah tahun lalu plus besar inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tahun
2015–2016, misalnya, diperkirakan inflasi cukup tinggi, sebesar 6,9 persen,
plus pertumbuhan ekonomi 4,7 persen. Maka, upah minimum dapat ditetapkan
tumbuh sebesar 11 persen.
Bagi pekerja, dengan pertumbuhan upah 11
persen itu, akan terjadi kenaikan kesejahteraan riil 4,7 persen atau sebesar
pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
Artinya, bagian pekerja dalam nilai tambah
akan sama dengan tahun lalu. Dengan kata lain, formula di atas tidak
memberikan perbaikan pangsa pembagian nilai tambah.
Nilai tambah dibagi menjadi empat komponen,
yaitu bunga dan sewa yang diterima pemilik modal dan aset, laba yang
dinikmati para pengusaha, upah yang diterima para pekerja, serta pajak yang
diperoleh pemerintah.
Dengan formula di atas, pangsa upah dari nilai
tambah riil ke depan tetap tidak berubah seperti keadaan 2014–2015. Formula
di atas juga bermakna bahwa keseimbangan pangsa antara buruh dan pemilik
kapital sudah dianggap ideal. Artinya, upah riil hanya akan meningkat dengan
porsi yang sama yang diperoleh pemilik modal.
Sudah Idealkah
Pembagian
Nilai Tambah? Perbaikan upah yang melebihi
inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan memperbaiki pembagian nilai tambah
antara pekerja pemilik modal, yang menjalankan modal, dan pemerintah.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), besar
upah tenaga kerja (2012) sebesar Rp 151.635 miliar. Sedangkan nilai tambah
pada tahun yang sama sebesar Rp 1.153.398 miliar. Itu berarti, upah pekerja
hanya sekitar 13 persen dari nilai tambah.
Apabila formula seperti tersebut di atas
dibakukan, upah riil pekerja akan tumbuh sebesar pertumbuhan ekonomi setara
dengan pertumbuhan perolehan riil pemilik modal dan pajak yang diterima
pemerintah. Dengan kata lain, perolehan 13 persen dan 87 persen yang
diperoleh pengusaha, pemilik modal, dan pajak sudah dianggap ideal.
Masalah lain yang kita hadapi, pertumbuhan 4,7
persen adalah pertumbuhan rata-rata. Ada industri yang tumbuh jauh di atas
itu, kurang dari itu, bahkan mungkin negatif.
Bagi industri yang tumbuh di atas 4,7 persen,
ketentuan kenaikan upah riil 4,7 persen membuat pembagian nilai tambah di
subsektor itu makin timpang. Tetapi, industri tertentu yang tumbuh di bawah
4,7 persen atau yang bahkan negatif, patokan itu justru akan memberatkan dan
mempercepat kebangkrutan. Muaranya, mengakibatkan PHK (pemutusan hubungan
kerja) yang tentu lebih merugikan lagi bagi buruh. Sebab, sumber pendapatan
mereka hilang.
Sistem Bonus atau Bagi
Hasil
Sistem pengupahan yang tidak memberatkan
pengusaha dan memberikan semangat bekerja kepada buruh adalah sistem bonus
atau bagi hasil. Dengan sistem bonus, upah dasar tidak perlu ditinjau tiap
tahun yang membuat pengusaha yang berada di bawah angka pertumbuhan menjadi
ngosngosan. Upah dasar hanyalah upah subsisten ditambah dengan bonus yang
diperoleh dari persentase tertentu dari laba bersih.
Sistem bonus yang ditetapkan pemerintah adalah
besarnya persentase laba yang dibagi. Sistem produksi menjadi transparan dan
akan terjadi semangat memiliki dari pekerja. Pemerintah juga berkepentingan
dengan transparansi itu karena pajak juga ditetapkan dalam persentase
tertentu dari laba siap pajak.
Bagian akuntansi hendaknya mencerminkan
kepentingan tripartit –pengusaha, pekerja, dan pemerintah– sebagai basis
memberikan bonus. Dengan sistem bagi hasil, pengusha yang mengalami kesulitan
–misalnya, terkena dampak kenaikan dolar– tidak perlu risau.
Sebaliknya, pengusaha yang justru diuntungkan
dengan naiknya dolar hendaknya membagikan rezeki kepada pekerja. Corak
ekonomi secara umum akan lebih sosial sebagaimana diamanatkan UUD 45. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar