Tragedi Paris, Islam, dan Barat
Ibnu Burdah ; Pemerhati Masalah Timteng dan Dunia Islam;
Dosen Fak Adab UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
16 November 2015
Di tengah-tengah upaya
Eropa menangani pengungsi dari Timur Tengah, Paris diguncang aksi kekerasan
yang mengerikan (13/11). Celakanya, sebagian besar pelaku diyakini berasal
dari Timur Tengah.
Salah satu implikasi
dari tragedi Paris adalah menguatnya sentimen negatif warga Prancis khususnya
dan Eropa pada umumnya terhadap Muslim, Arab, dan Islam. Pandangan kelompok
ultranasionalis yang anti-Muslim memperoleh momentum. Menurut salah satu
narasumber Al-Jazeera dalam acara Ma Wara al-Khabar, retorika anti-Muslim
menguat drastis di media-media sosial di Prancis dua hari terakhir. Bahkan,
respons sebagian kalangan mengarah pada tindakan-tindakan keras terhadap
lembaga-lembaga keislaman.
Tak sedikit warga
Prancis beretorika bahwa seolah-olah warga Muslim di sana bukan lagi sebagai
warga Prancis. Padahal, mereka sudah berasimilasi dan menjadi warga negara
negeri itu secara turun-temurun. Dan tak sedikit dari mereka memberikan
kontribusi penting bagi negeri itu di berbagai bidang. Tema hubungan Barat
dan Islam pascatragedi Paris ini menjadi isu yang kembali krusial.
Hubungan Islam dan Barat
telah berlangsung dalam waktu yang panjang, namun hingga kini belum mampu
menciptakan kebersamaan yang sungguh-sungguh, tulus, dan produktif.
Sebaliknya, saling kebencian masih menghinggapi sebagian masyarakat Barat dan
dunia Islam. Tragedi 11 September dan rangkaian tragedi Paris ini
bagaimanapun merupakan potret kebencian luar biasa sebagian kecil umat Islam
terhadap Barat. Umat Islam yang memiliki sikap dan pandangan sebagaimana
pelaku barangkali sangat sedikit. Tetapi, tindakan mereka telah cukup menodai
seluruh umat Islam.
Sebaliknya juga
demikian. Kebencian Barat terhadap Islam tampaknya masih terpelihara.
Pelarangan pemakaian jilbab tertentu, film penghinaan terhadap Nabi,
pembakaran mushaf Alquran, hingga pembantaian rasial yang berulang kali terjadi
menunjukkan sebagian orang Barat juga memendam kebencian amat dalam kepada
orang lain, termasuk kepada umat Islam.
Ketidak-fair-an timbal balik
Hubungan Barat-Islam
selama ini juga diwarnai oleh ketidak-fair-an secara timbal balik. Barat yang
saat ini berada di depan mengklaim bahwa apa yang dicapainya selama ini murni
hasil peradaban Barat, tidak terkait dan tidak ada andil dari orang lain.
Mulai dari bidang-bidang ilmu pengetahuan, hasil-hasil teknologi, hingga
nilai-nilai humanitarian yang tengah menggenangi dunia saat ini, didaku
sepenuhnya. Jika kita mencoba sedikit saja mencari tahu mengenai sejarah
bidang-bidang pengetahuan atau teknologi versi Barat dan sekarang banyak kita
ikuti, selalu bertitik tolak dari Yunani Kuno yang kemudian melompat begitu
saja ke masa modern.
Sejarah versi mereka
menggambarkan seolah-olah dunia ini sunyi senyap dalam waktu lebih dari satu
milinium. Padahal, pada masa itu sejarah umat Islam sedang menjulang dengan
mengkreasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan baru dan berbagai hasil
peradaban. Bagaimana kemegahan, iklim akademik, dan tumbuhnya nilai-nilai
kosmopolit di Baghdad, Andalusia, Cordova, Kairo, hingga Istanbul sama sekali
terhapus dari sejarah versi Barat. Padahal, mereka pada awalnya "menyusu"
dari peradaban di kota-kota ini.
Sikap tidak mengakui
bahkan membuang peran orang lain adalah tindakan yang tercela. Ibarat seorang
ilmuwan, maka ia telah melakukan plagiarisme yang menjiplak tanpa menyebut
sumbernya dan dengan angkuh menyebutnya sebagai gagasannya sendiri. Ibarat
anak, ia adalah anak durhaka. Celakanya, sikap itu tampaknya merupakan
mainstream di dunia Barat, bahkan di kalangan para ilmuwannya. Lahirnya
orang-orang semacam Karen Armstrong di Eropa atau John L Esposito di AS yang
relatif lebih fair memandang umat Islam dan warisannya merupakan harapan bagi
masa depan hubungan Barat-Islam. Tetapi, harus diakui keduanya masih anomali
bagi masyarakat Barat sekarang.
Sikap dan pandangan
sebagian umat Islam sekarang juga setali tiga uang. Di satu sisi, mereka
mencaci maki habis Barat, memusuhi, bahkan berupaya menghancurkannya, bahkan
tidak sedikit yang menggunakan cara-cara sadis untuk mencapai tujuan itu.
Barat bukan hanya dituding selalu berupaya melakukan penghancuran sistematis
dan terencana dalam skala besar terhadap umat Islam, melainkan juga melakukan
penetrasi konspiratif ke dalam setiap relung kecil kehidupan setiap umat
Islam.
Barat bukan hanya
dituding berada di balik tragedi dunia Islam di Bosnia, Afghanistan,
Pakistan, Irak, Bahrain, Libya, bahkan kelaparan di Tanduk Afrika, namun juga
dianggap telah meracuni secara sengaja setiap generasi Muslim dengan berbagai
cara. Bruinessen dalam penelitiannya di Bima pernah menemukan pandangan yang
sulit dimengerti dari sebagian umat Islam di sana bahwa salah satu bentuk
konspirasi Barat dan Yahudi terhadap Islam adalah penyebaran kaset-kaset
Alquran. Menurut mereka, Barat dan Yahudi sengaja menyebarkan kaset-kaset itu
untuk menjauhkan umat Islam dari para tuan guru atau ustaznya.
Pada sisi lain, hampir
seluruh umat Islam menikmati hasil-hasil peradaban yang dikembangkan Barat
saat ini, baik ilmu pengetahuan, hasil-hasil teknologi, seni, maupun sebagian
nilai-nilai. Hampir di segala bidang ilmu dan teknologi modern, umat Islam
sekarang bukanlah penemu atau "penciptanya", sebagian memang
berupaya mempelajari dan mengembangkannya, namun sebagian besar hanya
mengonsumsinya. Bahkan, tidak jarang mereka menggunakannya secara
"ilegal" seperti tidak memenuhi kewajiban hak cipta atau hak meng-copy-nya.
Sikap semacam itu jelas tidak fair dan tidak mencerminkan nilai-nilai Islam.
Kesatuan kemanusiaan
Sebagai seorang Muslim
biasa (bukan ilmuwan, tokoh, atau aktivis), penulis berpendapat bahwa
perbaikan seharusnya dimulai dari diri sendiri, dari pandangan dan sikap umat
Islam sendiri. Pengakuan umat Islam bahwa mereka sekarang jauh tertinggal
dari Barat dan tidak lagi memegang supremasi dalam berbagai bidang
sebagaimana masa lalu jauh lebih penting daripada mencaci maki dan menebar
benci. Kita tidak berdosa mengucapkan selamat kepada Barat atas
capaian-capaiannya saat ini, bahkan umat Islam secara fair pantas berterima
kasih kepada mereka. Sebab, umat Islam juga banyak memanfaatkan temuan mereka
sekaligus berterima kasih atas "kesediaan" mereka melanjutkan
sebagian capaian-capaian umat Islam di masa kejayaannya. Pengakuan yang tulus
tanpa mengurangi sikap kritis terhadap residu-residu peradaban Barat inilah
yang justru akan menciptakan pandangan dan sikap yang fair dan produktif
dalam mendorong umat Islam keluar dari berbagai ketertinggalan.
Di sisi lain, Barat
idealnya juga mengembangkan sikap yang fair, adil, tidak eksploitatif, dan
menindas. Bagaimanapun mereka tidak akan mencapai "kematangan"
peradaban (bidang ilmu dan teknologi) seperti sekarang jika tidak didahului
oleh peradaban-peradaban yang lain, seperti peradaban Cina, India, Mesir,
Babilonia, Baghdad, Cordova, Andalusia, Yunani, Persia, dan lainnya. Peran
peradaban Islam dalam hal ini tidak bisa diremehkan. Tak satu pun berhak
mengklaim peradaban maju manusia saat ini sebagai miliknya sendiri. Semua
hasil peradaban adalah simbol kesatuan umat manusia (al-wahdah al-insaniyyah), bukan umat Islam dan Barat saja, namun
juga seluruh manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar