Jembatan
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
|
KORAN
SINDO, 20 November 2015
Setiap jalan-jalan
melihat kota-kota besar dunia yang memiliki sungai dan jembatan yang indah
dan kokoh, saya selalu terhenyak kagum dan iri.
Ketika mengunjungi
Kota Budapest pertengahan November 2015, misalnya, Sungai Danube yang
panjangnya 2.850 km dan melintasi 10 negara itu membuat Budapest menyajikan
kehidupan dan keindahan yang amat mengesankan. Begitu pula Sungai Vitava yang
menghiasi Kota Praha. Danube yang legendaris itu bak kalung mutiara yang
mempercantik Budapest.
Atau bagaikan ibu yang
selalu memberikan sumber kehidupan ekonomi bagi penduduk setempat serta
sumber inspirasi bagi para seniman dan perancang kota sehingga bermunculan
bangunan-bangunan indah menjulang, baik yang kuno maupun modern. Hubungan
antara sungai, kreasi arsitektur jembatan, dan bangunanbangunan megah nan
indah akan ditemukan diberbagai kota dunia semisal Paris, San Fransisco,
Sydney, Kairo.
Yang fantastis tentu
jembatan Selat Bosporus di Istanbul yang menghubungkan daratan Eropa dan
Asia. Atau jembatan dan bendungan raksasa Sungai Yangtze untuk menjinakkan
banjir yang merendam ribuan desa dan kini jadi sumber penggerak tenaga
listrik. Saya iri karena Indonesia memiliki banyak sungai tetapi itu tidak
dirawat dengan cerdas dan indah, padahal di berbagai negara sungai itu
menjadi sumber rezeki, tempat wisata warganya, dan ornamen kota dengan
arsitektur jembatannya yang ikonik.
Setiap orang pasti
senang melihat sungai dengan airnya yang jernih dengan ikanikannya yang
berseliweran. Sikap masyarakat terhadap sungai dan jembatan sangat mungkin
memiliki keterkaitan dengan budayanya. Mungkin karena kita penduduk
kepulauan. Juga di kampung-kampung sungai itu bagaikan WC umum. Ketika
urbanisasi ke kota, gaya hidup kampung terbawa.
Mereka tidak memiliki
visi bahwa sungai itu bisa difungsikan sebagai hiasan kota, tempat rekreasi,
dan pusat ekonomi. Di Jakarta sungai semakin sempit, dangkal, dan kotor oleh
tingkah warganya yang tidak bisa merawat fungsi sungai dengan baik. Faktor
lain karena masyarakat punya mental serobot dan selalu ingin jalan pintas,
enggan melewati jembatan yang tersedia.
Lebih dari itu, desain
jembatan yang ada kurang memperhitungkan aspek estetika dan rekreatifnya. Di
dekat kampus saya, UIN Syarif Hidayatullah yang berlokasi di Ciputat,
jembatan penyeberangan dibangun hanya melayani pemasang iklan, tak pernah ada
warga atau mahasiswa yang melintasinya karena letaknya yang sangat tidak
familier.
Untuk meraih karier
dan prestasi hidup yang otentik, setiap orang juga memerlukan jembatan,
terutama pendidikan dan pelatihan diri tahan banting menghadapi ujian, apa
pun bentuknya. Anak sekolah yang senang mencontek dan berburu bocoran soal
ujian adalah awal dari tindakan main serobot dan suap pada perjalanan hidup
selanjutnya, baik waktu melamar kerja maupun mengejar jabatan, termasuk dalam
kasus pilkada dan pemilu.
Miskin estetika dan
etika dalam membangun kehidupannya. Tidak indah dan mengundang respek ketika
catatan kariernya dibaca ulang. Kita sering lupa bahwa perjalanan hidup tak
pernah lepas dari jembatan yang mesti kita seberangi. Ungkapan Inggris
crossover atau abara dalam bahasa Arab berkembang menjadi i’tibar dan ibarat.
Untuk menggapai tujuan dan makna yang benar, kita mesti menyeberang mengatasi
rintangan.
Kalau ingin menikmati
daging kelapa, mesti memecahkan dulu batoknya yang keras. Jika ingin berburu
tambang emas atau minyak di perut bumi mesti melewati dulu bebatuan yang
menutupinya. Dalam komunikasi dan pergaulan sehari-hari kita juga mesti mampu
menangkap pesan dan makna sejati di balik ungkapan verbal yang disusun
dengankata-kata.
Inilah yang dimaksud
dengan kata ibarat dan isyarat. Hanya mereka yang cerdas dan bijak yang mampu
menangkap pesan yang tersembunyi di seberang jembatan kata dan isyarat. Oleh
karenanya dalam studi keagamaan ada disiplin ilmu tafsir untuk menggali makna
tersembunyi di dalam kitab suci.
Dalam narasi kitab
suci banyak ditemukan perumpamaan, misal, ibarat, isyarat, serta kiasan
sehingga hanya mereka yang bisa menyeberang, menggali, dan menangkap makna di
baliknya yang akan paham. Bukan berhenti dan terpenjara oleh jembatan
penyeberangan berupa katakata verbal dan literal. Kalau makna mesti selalu
melekat di permukaan kata, tak akan ada sastra.
Tak ada puisi. Bahasa
jadi datar, kering miskin imajinasi. Bukankah setiap saat kita berdiri dan
berjalan di atas jembatan? Bukankah kehidupan dunia ini juga jembatan untuk
meraih kehidupan lebih tinggi dan membahagiakan? Jangan pernah berhenti
menyeberang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar