Tribunal Rakyat Internasional:
Menolak Bungkam, Melawan Impunitas (Bagian 2)
Ayu Wahyuningroem ; Kandidat Doktor, Australian National
University (ANU); Peneliti International Peoples’ Tribunal untuk Kejahatan
Berat 1965 (IPT 65)
|
INDOPROGRESS,
06 November 2015
DALAM tulisan
sebelumnya, saya sudah membahas kemunculan dan perkembangan Tribunal Rakyat
Internasional (TRI). Pasca Russel Tribunal di akhir 1960-an, mulai
bermunculan pula berbagai TRI lainnya di beberapa negara untuk melawan
kebungkaman negara-negara terhadap banyak kasus kejahatan serius di dunia.
Dalam tulisan ini, saya akan membahas sepintas beberapa TRI di Asia,
khususnya TRI yang diselenggarakan dan menyangkut negara dan rakyat
Indonesia. Bagaimana relevansi TRI ini untuk penguatan wacana HAM di Asia,
khususnya di Indonesia, dan bagaimana prospeknya TRI yang demikian untuk
menjadi sebuah alternatif bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat
di Indonesia?
Saya akan memulai
dengan melihat sekilas beberapa inisiatif TRI di Asia dan menelaah tiga TRI
yang pernah dilakukan terkait dengan Indonesia, yakni Tribunal untuk kasus
Timor Timur, Tribunal Tokyo untuk kasus Perbudakan Seksual oleh Jepang, dan
Tribunal Warga untuk kasus Biak berdarah. Dari sini, saya akan mencoba
mengaitkan dengan inisiatif serupa dan tantangannya di masa depan. Bagian
akhir akan saya tutup dengan sebuah kesimpulan.
Tribunal Rakyat Internasional di Asia dan yang terkait dengan
Indonesia
Kemunculan Russel
Tribunal dan perkembangan banyak TRI lain di dunia juga menjalar hingga ke
Asia. Hal ini bisa dipahami mengingat negara-negara Asia baru saja keluar
dari masa penjajahan yang panjang oleh negara-negara kolonial. Bahkan,
sebagaimana yang saya sampaikan di tulisan Bagian Pertama tentang TRI, Russel
Tribunal sebagai TRI pertama justru memeriksa dugaan kejahatan perang di
salah satu negara Asia, yakni Vietnam, yang dilakukan oleh Amerika Serikat
dan sekutunya.
Di Asia, masyarakat
sipil juga menyelenggarakan TRI untuk berbagai kasus pelanggaran HAM berat
pasca Perang Dunia II. Simm dan Byrnes (2015) mencatat paling tidak ada tiga
tribunal yang diselenggarakan oleh PPT terkait dengan kejahatan yang
dilakukan oleh negara, yakni pendudukan Indonesia di Timor Timur tahun 1981,
Filipinna dan Bangsa Moro tahun 1982, dan pendudukan Cina atas Tebet tahun
1992. Selain itu, ada juga sesi-sesi yang digelar untuk meminta
pertanggungjawaban perusahaan multinasional, misalnya di Bhopal dan
Bangalore. Baru-baru ini, PPT juga menyelenggarakan sesi untuk kasus genosida
Tamil di Srilanka.[1]
Di samping PPT, ada
juga beberapa TRI yang diselenggarakan di Asia. Salah satu yang paling
dikenal dan menjadi rujukan adalah Tribunal Kejahatan Perang Perempuan untuk
Pengadilan Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang (atau disebut the Tokyo Women’s Tribunal). Saya akan
menjelaskan lebih banyak tentang tribunal ini dalam bagian berikutnya. Selain
Tokyo Tribunal, juga ada Independent
Peoples’ Tribunal untuk menghakimi G7 tahun 1993, International Criminal Tribunal for Afghanistan tahun 2004, dan International Peoples’ Tribunal on Human
Rights and Justice in Indian-administered Kashmir, serta Peoples’ Tribunal on World Bank tahun
2007 di India.
Khusus tentang TRI
yang terkait dengan Indonesia, tiga yang pernah dilaksanakan adalah PPT untuk
kasus invasi Timor Timur, Tokyo Tribunal untuk kasus perbudakan seksual, dan
Tribunal Warga Internasional untuk kasus pembantaian Biak (Biak Berdarah).
i. Permanent Peoples’ Tribunal tentang Timor Timur
Setelah lebih dari
lima tahun sejak Indonesia menginvasi Timor Timur yang baru merdeka dari
Portugal, the Revolutionary Front for an Independent East Timor (FRETILIN)
yang memenangkan 50 persen suara pada Pemilu tahun 1975, mengajukan gugatan
terhadap negara Indonesia ke PPT. Dengan melibatkan pemimpin Fretilin,
pengacara, ilmuwan, jurnalis, wakil gereja dan beberapa warga negara
Indonesia, tribunal ini digelar mulai tanggal 19 hingga 21 Juni 1981 di
Lisbon.[2] Keputusan PPT menetapkan bahwa Indonesia telah melakukan agresi
dengan melanggar ayat 2(4) Charter PBB, dan karenanya bersalah dan
bertanggung jawab atas kejahatan terhadap perdamaian. PPT juga menyimpulkan
Indonesia dan didukung oleh beberapa negara lain juga telah melanggar hak
menentukan nasib sendiri oleh bangsa Timor Timur.[3] Tribunal ini menandai
sebuah bentuk kolaborasi internasional yang pertama kali terjadi tentang apa
yang terjadi di Timor Timur, dan berdampak pada terbentuknya sebuah
organisasi solidaritas Hak Asasi Rakyat Maubere (Comissão para os Direitos do Povo Maubere, CDPM).[4]
Materi-materi sidang PPT juga menjadi bahan advokasi dan diplomasi lebih
lanjut untuk pembebasan Timor Timur.
ii. Tokyo Tribunal tentang Perbudakan Seksual oleh Jepang
Tribunal ini diadakan
di Tokyo tahun 2000 untuk memeriksa dugaan perbudakan seksual oleh tentara
Jepang terhadap perempuan-perempuan muda (biasa disebut comfort women atau jugun
ianfu) di Asia dan khususnya Asia Tenggara pada masa Perang Dunia II.
Tribunal ini menunjuk dirinya sebagai kelanjutan dari International Military
Tribunal for the Far East (IMFTE atau Tokyo Trial) yang dilakukan oleh
Amerika Serikat dan sekutu untuk mengadili kejahatan perang oleh Jepang
selama Perang Dunia II, dimana pengadilan ini absen memasukkan kasus
perbudakan seksual dalam dakwaannya meskipun bukti-buktinya sangat kuat dan
tersebar. Tribunal Tokyo ini diinisiasi oleh sejumlah feminis dan organisasi
masyarakat sipil internasional lintas negara. Melibatkan ratusan praktisi dan
akademisi serta korban, Tribunal digelar dan mendapatkan publisitas serta
perhatian dunia internasional. Selama lima hari dari tanggal 8 hingga 12
Desember, tribunal ini menghadirkan kesaksian dan tuntutan-tuntutan dari
masing-masing negara asal para korban. Dari Indonesia sejumlah korban juga
memberikan kesaksiannya, sedangkan tuntutan dibacakan oleh satu tim penuntut
yang terdiri dari pengacara senior dan aktivis perempuan seperti Nursyahbani
Katjasungkana dan Antarini Arna. Putusan tribunal menyatakan bahwa negara dan
pemerintah Jepang, yang diwakili oleh Kaisar Hirohito, bersalah atas
kejahatan serius terhadap ribuan perempuan di Asia yang dipaksa menjadi budak
seksual untuk melayani tentara-tentara Jepang selama masa Perang Dunia II.
Selain itu, Tribunal ini juga merekomendasikan permintaan maaf dari Kaisar
serta reparasi kepada para korban yang dirampas hak dan kehidupan social ekonominya selama
bertahun-tahun.
Banyak peneliti dan
praktisi menilai bahwa tribunal ini merupakan satu lagi contoh sukses TRI.
Keputusan Tribunal ini merupakan kemenangan besar bagi para feminis, aktivis
HAM, dan terutama para korban yang tersebar di berbagai negara.[5] Kontribusi
lainnya adalah menguatnya gerakan solidaritas regional untuk isu ini dan
secara umum isu hak-hak perempuan, dan sejumlah memorialisasi yang dibangun
untuk mengingat pengalaman pahit masa lalu. Pemerintah Jepang pernah
menyatakan permintaan maaf melalui perdana menterinya, namun kemudian ditarik
kembali, seperti juga dengan skema reparasi kompensasi yang pernah disalurkan
ke beberapa pemerintah negara asal korban, termasuk Indonesia.
iii. Tribunal Warga tentang Biak Berdarah
Tribunal ini diadakan
belum lama berselang, yakni pada tanggal 6 Juli 2013, tepat lima belas tahun
pasca terjadinya pembantaian atas warga sipil di Biak, Papua. Pembantaian itu
terjadi tidak lama setelah perubahan politik nasional di Jakarta, dimana
sejumlah massa pimpinan Filep Karma melakukan aksi damai dan mengibarkan
bendera Bintang Kejora di sebuah menara air di kota Biak. Di hari ketiga aksi
tersebut, sejumlah besar pasukan TNI dari berbagai kesatuan dan angkatan
serta polisi, menyerang kerumunan massa dan dengan membabi buta melepaskan
tembakan serta aksi-aksi kekerasan hingga pembunuhan. ELSHAM, sebuah LSM
lokal di Papua yang pertama melakukan investigasi atas insiden ini menuliskan
laporan banyaknya “kuburan tanpa nama, nama tanpa kuburan”. Tidak ada yang
bisa memastikan berapa jumlah korban, namun Human Rights Watch (1998) memperkirakan ratusan orang yang hilang
entah dibunuh atau dihilangkan paksa.
Tribunal dilakukan di
Universitas Sydney, Australia, melibatkan beberapa pengacara senior seperti
Mantan Jaksa Agung negara bagian New South Wales, John Dowd. Tribunal ini
digagas oleh Center for Peace and Conflict Studies yang antara lain
beranggotakan Peter King dan Eben Kirksey.[6] Tribunal ini mendapat banyak
perhatian dari media nasional Australia, dan beberapa media internasional.
Saksi-saksi didatangkan dari Papua dan beberapa yang berdomisili di
Australia. Tribunal ini tidak mendapat banyak perhatian dari media di
Indonesia, dan juga tidak menimbulkan reaksi besar dari pemerintah Indonesia
pada saat sebelum dan ketika pelaksanaan. Hal ini bisa berdampak positif,
karena dengan begitu keamanan untuk saksi dan penyelenggaraannya lebih
lancar. Tentu aspek yang kurang maksimal adalah terbatasnya informasi dan
perhatian serta pelibatan masyarakat dan organisasi yang selama ini bekerja
untuk isu HAM di Papua. Tribunal menyimpulkan bahwa penyerangan yang
dilakukan oleh aparat keamanan adalah di bawah kontrol pemerintah Indonesia,
berakibat pada bentuk-bentuk kekerasan mulai dari pembunuhan hingga kekerasan
seksual. Rekomendasi utama tribunal ini adalah agar pemerintah Indonesia
menindaklanjuti dengan investigasi hukum serta melakukan reparasi bagi para
korban. Selain itu, pemerintah Australia dan Amerika Serikat juga ikut
bertanggung jawab karena telah mendukung dan memfasilitasi tentara Indonesia
dalam berbagai pelatihan, karena itu Australia dan Amerika Serikat juga harus
mendesak Indonesia untuk menindak lanjuti putusan tribunal.
Sebuah Tribunal Rakyat Internasional untuk Kejahatan Berat di
Indonesia?
Indonesia bisa
dikatakan sebagai sebuah negara yang paling responsif terhadap tuntutan
pengadopsian prinsip dan norma hukum internasional, tapi juga yang paling
enggan untuk memenuhi komitmen yang sudah dijanjikan di atas kertas. Hingga
saat ini, Indonesia telah meratifikasi tidak kurang dari sebelas instrumen
HAM internasional, dan memimpin dalam forum-forum internasional dan regional
terkait HAM. Meski demikian, urusan implementasi dari norma-norma dan aturan
ini menunjukkan kemunduran terus menerus di setiap pergantian presiden,
meskipun demokrasi tetap bertahan sejak turunnya pemimpin otoriter Soeharto
di tahun 1998. Upaya-upaya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM
berat sudah dicoba, namun yang terjadi justru impunitas tetap bertahan dan
negara semakin menegasikan klaim-klaim korban dan ketidakadilan. Hingga tahun
2011, sejumlah 137 nama tersangka yang disebut dala laporan investigasi
KOMNAS HAM ternyata hanya 34 yang dimasukkan dalam tuntutan Kejaksaan Agung,
dan hanya 18 yang dinyatakan bersalah. Dari yang sedikit itu, tidak ada
satupun yang akhirnya dihukum karena proses banding.[7] Artinya, angka
pembebasan bagi para pelaku pelanggaran HAM di Indonesia adalah 100 persen.
Sementara persoalan pelanggaran HAM masa lalu tidak selesai, ditambah terus
dengan kasus-kasus pelanggaran HAM terbaru, sehingga sulit untuk meyakini
bahwa rezim penguasa yang sewenang-wenang memang sudah berakhir dan
digantikan oleh rezim yang akuntabel dan menghormati hak-hak dasar warganya.
Sementara itu,
masyarakat sipil di dalam negeri tidak henti-hentinya mendesakkan tuntutan
atas keadilan dan akuntabilitas. Beragam upaya, baik di tingkatan komunitas
maupun nasional, telah ditempuh. Namun bukan saja upaya-upaya ini tidak
dihiraukan, pemerintah lewat beragam institusinya, terutama institusi
keamanan, justru membenturkan upaya-upaya ini dengan kelompok-kelompok yang
dioposisikan terhadap tuntutan keadilan dan akuntabilitas; kelompok-kelompok
yang pro pada impunitas dengan dalih agama, nasionalisme, ataupun NKRI.
Pada titik ini,
ruang-ruang resmi negara di dalam negeri semakin mengecil dan membuat gerak
masyarakat sipil, termasuk korban, semakin sulit menyuarakan kepentingannya.
Demokrasi prosedural yang dipilih oleh para penguasa saat ini merupakan pisau
bermata dua: ia seolah-olah memberi pilihan dan akuntabilitas politik kepada
rakyat, namun pada saat yang sama ia menjustifikasi kebijakan, termasuk
kebijakan yang melanggengkan impunitas, dan aksi penguasa yang telah dipilih
rakyat tadi. Pada saat yang sama, ruang-ruang resmi di luar Indonesia juga
belum banyak memberikan komitmen berarti ke arah pelembagaan keadilan dan
penghormatan HAM di Indonesia.
TRI memberikan sebuah
alternatif ruang dari kepepatan yang demikian. Ruang itu tidak di dalam
negeri, tapi di luar negeri dengan mengundang lebih banyak kelompok
masyarakat di dunia untuk bersolidaritas dan sama-sama mendukung penyelesaian
pelanggaran HAM yang bermartabat. Ia sekaligus mereklamasi keabsahan
pengalaman kelompok tertindas, seperti korban, sesuai standar hukum dan norma
internasional, dan menjadi alat untuk membongkar kebungkaman negara dan
internasional terhadap kejahatan besar yang terjadi di Indonesia, sekaligus
menolak impunitas yang begitu kokoh bertahan.
Meski TRI merupakan
sebuah alternatif yang strategis, ada setidaknya tiga tantangan besar untuk
penerapannya dalam konteks Indonesia. Yang pertama adalah legitimasi hukum.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, ketiadaan legitimasi hukum merupakan
kritik terbesar bagi TRI dimanapun di dunia. Meski demikian, hal ini
merupakan persoalan yang juga dihadapi oleh semua model inisiatif masyarakat
sipil non-negara, termasuk misalnya memorialisasi, upaya pencarian kebenaran,
dan sebagainya. TRI harus dilihat di luar dari cara pandang formalistik yang
demikian. Legitimasi terbesar dari TRI adalah moral dan politik, tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip hukum yang diakui, dan legitimasi ini berasal dari
mandat yang diberikan oleh korban dan/atau kelompok yang tertindas.
Tantangan kedua adalah
adanya kekakuan dalam memahami pembagian aspek keadilan yang diturunkan dari
konsepsi tentang keadilan transisi (transitional
justice). International Center for
Transitional Justice (ICTJ), sebuah lembaga nirlaba internasional yang
mempromosikan pendekatan keadilan transisi, membagi keadilan dalam empat
aspek besar: pengungkapan kebenaran, pengadilan, reparasi dan reformasi
institusi.[8] Konsepsi ini diadopsi oleh PBB, dan menjadi rujukan dari
beragam riset dan advokasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat
sipil. Di Indonesia, keadilan transisi juga menjadi rujukan dan kerangka bagi
beragam inisiatif baik oleh KOMNAS HAM, KOMNAS Perempuan, LPSK, maupun ornop-ornop
baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.[9] Pembagian aspek keadilan ini
umumnya dipahami sebagai pembagian mekanisme-mekanisme turunan dari
masing-masing aspek. Pengungkapan kebenaran, misalnya, dilakukan dalam bentuk
tim pencari fakta, tim pendokumentasian, komisi kebenaran, dan sebagainya.
Sementara itu, pengadilan merupakan inisiatif untuk keadilan dalam bentuk
formal, upaya judisial, dan ditujukan untuk mendapatkan keadilan dengan
penghukuman. Sementara itu, reparasi bentuknya bisa berupa restitusi,
rehabilitasi ataupun kompensasi, disamping bentuk reparasi kolektif seperti
memorialisasi. Terakhir, dan yang seringkali sulit dielaborasi dalam praktik
karena dimesnsinya yang luas, adalah reformasi institusi. Ini termasuk juga
reformasi sektor keamanan, misalnya, tentara dan polisi. Dalam pemahaman
demikian, TRI umumnya dipahami sebagai bagian dari aspek pengadilan, atau
keadilan formal.
Kenyataannya, TRI
merupakan inisiatif yang menabrak batas empat aspek keadilan tersebut. TRI
dilakukan mengikuti dan mengadopsi prinsip-prinsip dan ketentuan serta
mekanisme dalam hukum pidana internasional yang resmi (disponsori oleh
negara), dimana bukti-bukti diperiksa dan kesaksian-kesaksian disampaikan
untuk membuktikan tuduhan pelanggaran HAM berat. Pada umumnya, berbeda dengan
pengadilan kriminal biasa, TRI mendakwa negara yang melakukan pelanggaran HAM
dengan menyebutkan individu-individu yang terbukti melakukan kejahatan.
Proses terpenting dari mekanisme ini adalah riset dan pengumpulan data dan
bukti-bukti yang menjadi dasar dari tuntutan. Ini adalah bentuk lain
pencarian kebenaran, dan keputusan tribunal merupakan kebenaran itu sendiri
yang telah melalui verifikasi dalam kerangka hukum formal. Louis Bickford
(2007) menyebutkan beberapa contoh TRI dan memasukkannya sebagai unofficial truth projects atau
inisiatif kebenaran non-resmi.
Tantangan ketiga lebih
terkait dengan situasi keamanan di dalam negeri. Dalam hal ini, yang dimaksud
adalah kemampuan aparat keamanan dan pemerintah Indonesia secara keseluruhan
untuk menjamin ataupun mengabaikan keamanan terhadap penyelenggaraan TRI,
terutama keamanan korban dan aktivis pembela HAM. Beberapa riset menunjukkan,
pemerintah Indonesia akan sangat defensif sekaligus reaktif terhadap berbagai
upaya pembahasan masalah pelanggaran HAM di forum internasional.[10]
Tergantung pada dinamika politik di dalam negeri, dalam beberapa kasus
tekanan masyarakat internasional mampu melunakkan dan membuat pemerintah
lebih akomodatif. Dalam kasus lain, pemerintah, terutama insitusi keamanan
dan kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, malah cenderung lebih reaktif
dan cenderung melakukan kekerasan. Ada dua hal yang bisa mengendalikan atau
mengimbangi situasi ini. Yang pertama adalah faktor kepemimpinan kepala
negara dan kemauannya memihak pada keadilan, serta dukungan luas masyarakat
sipil di dalam negeri, termasuk LSM, akademisi, dan media. Yang terakhir ini
menjadi penting, karena TRI adalah inisiatif yang lahir dari masyarakat sipil
dan memiliki tujuan yang sama dalam memutus impunitas dan menolak crime of
silence.
Kesimpulan
Negara-negara Asia
sesungguhnya sudah tidak asing lagi dengan TRI. TRI yang pertama yang digagas
oleh Russell dan kawan-kawan adalah inisiatif masyarakat sipil sedunia yang
memeriksa dugaan kejahatan perang yang dilakukan terhadap Vietnam. Disusul
kemudian beberapa TRI lainnya yang dilakukan terkait dengan kejahatan serius
di beberapa negara di Asia, baik yang dilakukan oleh negara maupun perusahaan
multinasional.
Terkait dengan
Indonesia, TRI sudah pernah dilakukan sebanyak tiga kali dengan dampaknya
masing-masing. Ke depannya, TRI patut dipertimbangkan sebagai satu lagi
alternatif masyarakat sipil untuk menuntaskan kasus-kasus kejahatan berat, di
tingkat internasional, secara bermartabat. Sejumlah tantangan memang ada di
depan mata, dan ini juga hal yang perlu didialogkan bersama. Untuk dialog
itulah saya menulis tulisan ini sebagai sebuah pengantar semata. ●
|
[1]
http://www.ptsrilanka.org/
[2] Lihat laporan
CAVR, 2005, hal. 104, 115
[3] Byrnes dan
Simm, 2011, hal. 10
[4] Laporan CAVR,
2005, hal 104
[5] Banyak peneliti
yang menuliskan pengalaman dan dampak tribunal tidak saja terhadap aktivisme
transnasional tetapi juga terhadap hukum pidana dan norma hukum internasional.
Lihat misalnya Nicola Henry, “ Memory of an Injustice: the “Comfort Women” and
the Legacy of the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37 issue 3,
2013; atau Carmen Argibay, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War
II”, dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003. Selain
tulisan jurnal, juga banyak buku-buku yang ditulis berdasarkan riset terhadap
tribunal ini. Beberapa kisah dan kesaksian korban Jugun Ianfu Indonesia juga
telah dipublikasikan, antara lain Eka Hindra dan Koichi Kimura, Mereka
Memanggilku Momoye, Esensi, 2007.
[6] Lihat informasi
tentang tribunal ini, beserta rekaman sesi-sesi tribunal di
http://www.biak-tribunal.org
[7] Lihat
analisisnya dalam laporan Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in
Indonesia since the Fall of Soeharto, 2011, hal 37-62
[8] lihat
https://www.ictj.org/about/transitional-justice. Konsepsi ini diadopsi oleh PBB
sebagaimana dituliskan dalam dokumen Guidance Note of the Secretary General:
United Nations Approach to Transitional Justice, Maret 2010.
[9] Lihat misalnya
Sri Lestari Wahyuningroem, “Seducing for Truth and Justice: Civil Society
Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013, hal. 115-142; Suh Jiwon, The Politics of
Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012 (disertasi dari Ohio
State University, tidak diterbitkan), Suzannah Linton, “Accounting for
Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore Year Nook of International Law, Vol
11, 2007, hal. 195-259
[10] Pasca
reformasi 1998, misalnya, pemerintah sangat akomodatif terhadap tekanan luar
negeri untuk isu-isu pelanggaran HAM. Misalnya saja, pemberian referendum untuk
Timor Timur, dan pembuatan sejumlah aturan dan Undang-undang terkait HAM.
Masa-masa awal ini, oleh Kontras dan ICTJ, disebut sebagai periode yang
menjanjikan, yang kemudian mulai mundur ke periode dimana mekanisme
akuntabilitas merupakan kompromi-kompromi diantara kekuatan politik sebelum
kemudian macet samasekali. Lihat Kontras dan ICTJ, Derailed, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar