Rabu, 25 November 2015

Menguji Guru

Menguji Guru

Mohammad Abduhzen  ;  Direktur Institute for Education Reform
Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
                                                     KOMPAS, 25 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam khazanah pendidikan Islam ada ungkapan populer: ”Attariqah ahammu min al maddah. Al mudarrisu ahammu min attariqah. Wa ruhu al mudarrisu ahammu min al mudarrisu nafsihi”. Terjemahannya: Metode lebih penting daripada materi/kurikulum. Guru lebih penting daripada metode. Namun, roh/spirit guru jauh lebih penting daripada guru itu sendiri.

Ungkapan di atas memberikan gambaran tentang inti persoalan pendidikan, yaitu guru, dan menunjukkan dari mana harusnya langkah peningkatan mutu dan kinerja guru dimulai. Pemerintah berada pada jalan yang benar ketika hendak meningkatkan mutu pendidikan nasional dengan menjadikan guru sebagai tenaga profesional. Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kualifikasi dan kompetensi guru diobyektifkan. Perekonomian guru juga ditingkatkan melalui tunjangan profesi bagi yang telah tersertifikasi. Namun, hampir 10 tahun kebijakan itu dijalankan, mutu dan kinerja guru tak kunjung membaik.

Meski secara normatif benar, implementasi kebijakan profesionalisme dengan penilaian portofolio bagi guru dalam jabatan tidak menyasar secara efektif pada pemecahan inti persoalan dan peningkatan kualitas sebagaimana diharapkan oleh UU. Kegiatan sertifikasi terbatas pada kegaduhan administratif, sementara tunjangan profesi malah menumbuhkan mentalitas materialistik. Bukan kali ini saja kebijakan pemerintah dalam membenahi mutu guru tak efektif. Sebelumnya, pembubaran sekolah pendidikan guru (SPG) di awal 1990-an, pengalihan institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) jadi universitas pada 1999 juga tampak tak tuntas dan tak membuahkan hasil.

Bila kualitas guru rendah—oleh sebab itu mutu pendidikan juga rendah—tak sepenuhnya kesalahan guru, juga karena pengelolaan yang buruk. Mereka yang jadi guru di negeri ini umumnya bukanlah berasal dari pelajar yang berminat dan berprestasi terbaik. Pilihan memasuki sekolah guru atau lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) adalah ”pilihan terpaksa” setelah tidak diterima pada jurusan idola lainnya. Setelah menjadi guru, sebagian besar tidak pernah mendapatkan pendidikan dan pelatihan: tak heran bila sikap dan pengetahuannya ”memfosil”.

Program profesionalisme sejatinya jadi momen emas untuk perbaikan mutu dan kinerja guru, khususnya guru dalam jabatan. Tunjangan profesi yang disediakan pemerintah seyogianya dijadikan sebagai insentif dari keikutsertaan dalam proses sertifikasi yang efektif. Sayangnya, sejak awal, kesempatan itu tidak dimanfaatkan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Alhasil profesionalisme yang kedengarannya keren hanya berdampak pada peningkatan ekonomi sebagian guru, dan menyisakan lebih dari 1,4 juta guru yang belum disertifikasi hingga 2015, sebagai batas akhir yang ditetapkan UU.

Paradigma evaluatif

Menyaksikan ketiadaan efek positif pada kualitas, semasa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh dicoba intervensi terhadap mutu guru melalui kebijakan uji kompetensi awal (UKA) sebagai bagian sistem seleksi sertifikasi. Belakangan UKA menjadi uji kompetensi guru (UKG) yang dinyatakan sebagai upaya pemetaan dalam rangka pengembangan keprofesian berkelanjutan.

Namun, program kelanjutan pemanfaatan hasil UKG tak terekspos cukup jelas sehingga kegiatan evaluatif ini sepertinya jadi andalan utama dalam meningkatkan mutu. Sekitar 1,6 juta guru yang di-UKA dan UKG terdahulu belum dapat sentuhan lanjutan, padahal nilai mereka rata-rata di bawah 5. Bahkan pada 2015 mereka diwajibkan ikut UKG lagi. Selain UKG, guru juga akan menghadapi ”penilaian kinerja” di lapangan. Menguji, menilai, dan mengawasi sebagai jalan peningkatan mutu agaknya menjadi paradigma yang dikembangkan oleh Kemdikbud.

Sebagaimana ujian nasional pada siswa, guru akan di-UKG setiap tahun. Rencana Strategis Kemdikbud 2015-2019 telah mematok target skor 5,5 untuk 2015 dan berturut-turut hingga 2019 adalah 6,5; 7,0; 7,5; dan 8,0. Target yang telah ditetapkan biasanya akan selalu tercapai sebagai tanda kesuksesan kinerja kementerian.

Konon, Kemdikbud telah menyiapkan 10 modul untuk mengelompokkan guru atas hasil UKG, berdasarkan itu para guru akan mendapatkan materi dan pelatihan. Tentunya Kemdikbud juga memiliki desain dan model pelatihan mustajab yang menjamin terjadinya perubahan revolusioner pada kompetensi sehingga guru perlu diuji setiap tahun. Jika tidak, lalu untuk apa UKG dengan biaya miliaran rupiah diadakan setiap tahun?

Dalam memotret kompetensi guru, kemampuan UKG menangkap fakta empirik terbatas pada aspek ”pengetahuan” guru tentang pedagogi dan materi pelajaran. UKG tak dapat memotret kompetensi itu ketika diterapkan dalam praktik kelas, apalagi memotret roh atau spirit guru yang sebenarnya sangat penting, seperti di awal tulisan ini. Memang akan ada ”penilaian kinerja” untuk melengkapi hasil UKG, tetapi apakah Kemdikbud punya waktu dan kecermatan mengombinasikan penilaian individual itu dengan hasil UKG sehingga posisi seorang guru terpetakan secara komprehensif? Kapan intervensinya jika pemerintah sibuk menguji dan menilai dari tahun ke tahun.

Dari hasil UKG tak dapat disimpulkan demikianlah sosok, kualitas, atau persoalan guru. Maka, kebijakan akan mengalami diskrepansi bila hasil UKG dijadikan dasar pertimbangan utama dalam pemecahan masalah dan kualitas guru. Situasi buruk sesungguhnya berakar pada sistem perekrutan, pendidikan, dan pengembangan guru sehingga pembenahan mendasar harus dimulai dari hulu persoalan ini. Sementara guru dalam jabatan, kompetensinya dapat ditingkatkan secara sistemik melalui pengelolaan motivasinya.

Roh keguruan

Pemerintah akan kewalahan meningkatkan kompetensi dalam situasi mental para guru yang ketiadaan aspirasi. Rendahnya kompetensi pedagogi dan profesional guru, menurut hemat saya, adalah dampak dari rendahnya motivasi yang berakumulasi dalam rentang panjang. Sedari awal kebanyakan tak ada ”panggilan” hati, bekerja dengan pendapatan tak menarik, lalu hidup di tengah situasi bangsa yang serba korup membuat para guru kehilangan argumentasi dan aspirasi tentang keharusan menjadi guru yang baik.

Pengelolaan motivasi hal utama yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan kompetensi. Tanpa motivasi, jangankan diberi pembelajaran dan pelatihan, diminta studi mandiri atau melalui musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dan kelompok kerja guru (KKG), diberi uang sekalipun (tunjangan profesi) kompetensi tak meningkat. Perbaikan diri secara berkelanjutan dimungkinkan jika dan hanya jika roh keguruan yang termanifestasi dalam motivasi terbangunkan.

Membangun motivasi dan kinerja harus menyentuh aspek esoterik guru, di antaranya melalui penguatan keterkaitan antara pekerjaan mengajar/mendidik dengan misi dan tujuan hidup guru selaku manusia. Sebagai manusia, pada dasarnya bekerja adalah perwujudan misi dan bakti kepada Sang Pencipta melalui amal kemanusiaan. Para guru harus diajak memberi makna pada pekerjaannya karena ”guru” telah menjadi nasib yang tak terhindarkan, suka atau pun tidak suka. Pemerintah perlu merancang program menggairahkan guru bekerja, bukan membebaninya dengan ketegangan tak perlu atau mendiskreditkannya.

Pelatihan motivasi sudah lazim dilakukan dalam korporasi dan punya landasan teori yang cukup kuat, pendekatan dan metode efektif, serta hasil relatif terukur. Pelatihan guru kita belakangan ini, meski masih acak dan sporadis, mulai mengadopsi motode korporasi menggantikan model ”penataran” yang dipenuhi ceramah membosankan. Pengalaman penulis bertahun-tahun memodifikasi dan menerapkan pelatihan tersebut untuk mengubah pola pikir dan membangun motivasi guru memang efektif dan nyata hasilnya.

Andaikan pelatihan motivasi dan kinerja dijalankan pemerintah dalam sebuah strategi yang sistemik dan tidak bersifat ”proyek” semata, diyakini hasrat guru meningkatkan kompetensinya lambat laun jadi kenyataan.

Selamat ulang tahun guru Indonesia, dirgahayu PGRI!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar