Menguji Guru
Mohammad Abduhzen ;
Direktur Institute for Education
Reform
Universitas Paramadina; Ketua
Litbang PB PGRI
|
KOMPAS,
25 November 2015
Dalam khazanah
pendidikan Islam ada ungkapan populer: ”Attariqah ahammu min al maddah. Al mudarrisu
ahammu min attariqah. Wa ruhu al mudarrisu ahammu min al mudarrisu nafsihi”.
Terjemahannya: Metode lebih penting daripada materi/kurikulum. Guru lebih
penting daripada metode. Namun, roh/spirit guru jauh lebih penting daripada
guru itu sendiri.
Ungkapan di atas
memberikan gambaran tentang inti persoalan pendidikan, yaitu guru, dan
menunjukkan dari mana harusnya langkah peningkatan mutu dan kinerja guru
dimulai. Pemerintah berada pada jalan yang benar ketika hendak meningkatkan
mutu pendidikan nasional dengan menjadikan guru sebagai tenaga profesional.
Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kualifikasi
dan kompetensi guru diobyektifkan. Perekonomian guru juga ditingkatkan
melalui tunjangan profesi bagi yang telah tersertifikasi. Namun, hampir 10
tahun kebijakan itu dijalankan, mutu dan kinerja guru tak kunjung membaik.
Meski secara normatif
benar, implementasi kebijakan profesionalisme dengan penilaian portofolio
bagi guru dalam jabatan tidak menyasar secara efektif pada pemecahan inti
persoalan dan peningkatan kualitas sebagaimana diharapkan oleh UU. Kegiatan
sertifikasi terbatas pada kegaduhan administratif, sementara tunjangan
profesi malah menumbuhkan mentalitas materialistik. Bukan kali ini saja
kebijakan pemerintah dalam membenahi mutu guru tak efektif. Sebelumnya,
pembubaran sekolah pendidikan guru (SPG) di awal 1990-an, pengalihan institut
keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) jadi universitas pada 1999 juga tampak
tak tuntas dan tak membuahkan hasil.
Bila kualitas guru
rendah—oleh sebab itu mutu pendidikan juga rendah—tak sepenuhnya kesalahan
guru, juga karena pengelolaan yang buruk. Mereka yang jadi guru di negeri ini
umumnya bukanlah berasal dari pelajar yang berminat dan berprestasi terbaik.
Pilihan memasuki sekolah guru atau lembaga pendidikan tenaga kependidikan
(LPTK) adalah ”pilihan terpaksa” setelah tidak diterima pada jurusan idola
lainnya. Setelah menjadi guru, sebagian besar tidak pernah mendapatkan
pendidikan dan pelatihan: tak heran bila sikap dan pengetahuannya ”memfosil”.
Program
profesionalisme sejatinya jadi momen emas untuk perbaikan mutu dan kinerja
guru, khususnya guru dalam jabatan. Tunjangan profesi yang disediakan
pemerintah seyogianya dijadikan sebagai insentif dari keikutsertaan dalam
proses sertifikasi yang efektif. Sayangnya, sejak awal, kesempatan itu tidak
dimanfaatkan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Alhasil profesionalisme yang
kedengarannya keren hanya berdampak pada peningkatan ekonomi sebagian guru,
dan menyisakan lebih dari 1,4 juta guru yang belum disertifikasi hingga 2015,
sebagai batas akhir yang ditetapkan UU.
Paradigma evaluatif
Menyaksikan ketiadaan
efek positif pada kualitas, semasa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh
dicoba intervensi terhadap mutu guru melalui kebijakan uji kompetensi awal
(UKA) sebagai bagian sistem seleksi sertifikasi. Belakangan UKA menjadi uji
kompetensi guru (UKG) yang dinyatakan sebagai upaya pemetaan dalam rangka
pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Namun, program
kelanjutan pemanfaatan hasil UKG tak terekspos cukup jelas sehingga kegiatan
evaluatif ini sepertinya jadi andalan utama dalam meningkatkan mutu. Sekitar
1,6 juta guru yang di-UKA dan UKG terdahulu belum dapat sentuhan lanjutan,
padahal nilai mereka rata-rata di bawah 5. Bahkan pada 2015 mereka diwajibkan
ikut UKG lagi. Selain UKG, guru juga akan menghadapi ”penilaian kinerja” di
lapangan. Menguji, menilai, dan mengawasi sebagai jalan peningkatan mutu
agaknya menjadi paradigma yang dikembangkan oleh Kemdikbud.
Sebagaimana ujian
nasional pada siswa, guru akan di-UKG setiap tahun. Rencana Strategis
Kemdikbud 2015-2019 telah mematok target skor 5,5 untuk 2015 dan
berturut-turut hingga 2019 adalah 6,5; 7,0; 7,5; dan 8,0. Target yang telah
ditetapkan biasanya akan selalu tercapai sebagai tanda kesuksesan kinerja
kementerian.
Konon, Kemdikbud telah
menyiapkan 10 modul untuk mengelompokkan guru atas hasil UKG, berdasarkan itu
para guru akan mendapatkan materi dan pelatihan. Tentunya Kemdikbud juga
memiliki desain dan model pelatihan mustajab yang menjamin terjadinya
perubahan revolusioner pada kompetensi sehingga guru perlu diuji setiap
tahun. Jika tidak, lalu untuk apa UKG dengan biaya miliaran rupiah diadakan
setiap tahun?
Dalam memotret
kompetensi guru, kemampuan UKG menangkap fakta empirik terbatas pada aspek
”pengetahuan” guru tentang pedagogi dan materi pelajaran. UKG tak dapat
memotret kompetensi itu ketika diterapkan dalam praktik kelas, apalagi
memotret roh atau spirit guru yang sebenarnya sangat penting, seperti di awal
tulisan ini. Memang akan ada ”penilaian kinerja” untuk melengkapi hasil UKG,
tetapi apakah Kemdikbud punya waktu dan kecermatan mengombinasikan penilaian
individual itu dengan hasil UKG sehingga posisi seorang guru terpetakan
secara komprehensif? Kapan intervensinya jika pemerintah sibuk menguji dan
menilai dari tahun ke tahun.
Dari hasil UKG tak
dapat disimpulkan demikianlah sosok, kualitas, atau persoalan guru. Maka,
kebijakan akan mengalami diskrepansi bila hasil UKG dijadikan dasar
pertimbangan utama dalam pemecahan masalah dan kualitas guru. Situasi buruk
sesungguhnya berakar pada sistem perekrutan, pendidikan, dan pengembangan
guru sehingga pembenahan mendasar harus dimulai dari hulu persoalan ini.
Sementara guru dalam jabatan, kompetensinya dapat ditingkatkan secara
sistemik melalui pengelolaan motivasinya.
Roh keguruan
Pemerintah akan
kewalahan meningkatkan kompetensi dalam situasi mental para guru yang
ketiadaan aspirasi. Rendahnya kompetensi pedagogi dan profesional guru,
menurut hemat saya, adalah dampak dari rendahnya motivasi yang berakumulasi
dalam rentang panjang. Sedari awal kebanyakan tak ada ”panggilan” hati,
bekerja dengan pendapatan tak menarik, lalu hidup di tengah situasi bangsa
yang serba korup membuat para guru kehilangan argumentasi dan aspirasi tentang
keharusan menjadi guru yang baik.
Pengelolaan motivasi
hal utama yang harus dilakukan dalam upaya peningkatan kompetensi. Tanpa
motivasi, jangankan diberi pembelajaran dan pelatihan, diminta studi mandiri
atau melalui musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) dan kelompok kerja guru
(KKG), diberi uang sekalipun (tunjangan profesi) kompetensi tak meningkat.
Perbaikan diri secara berkelanjutan dimungkinkan jika dan hanya jika roh
keguruan yang termanifestasi dalam motivasi terbangunkan.
Membangun motivasi dan
kinerja harus menyentuh aspek esoterik guru, di antaranya melalui penguatan
keterkaitan antara pekerjaan mengajar/mendidik dengan misi dan tujuan hidup
guru selaku manusia. Sebagai manusia, pada dasarnya bekerja adalah perwujudan
misi dan bakti kepada Sang Pencipta melalui amal kemanusiaan. Para guru harus
diajak memberi makna pada pekerjaannya karena ”guru” telah menjadi nasib yang
tak terhindarkan, suka atau pun tidak suka. Pemerintah perlu merancang
program menggairahkan guru bekerja, bukan membebaninya dengan ketegangan tak
perlu atau mendiskreditkannya.
Pelatihan motivasi
sudah lazim dilakukan dalam korporasi dan punya landasan teori yang cukup
kuat, pendekatan dan metode efektif, serta hasil relatif terukur. Pelatihan
guru kita belakangan ini, meski masih acak dan sporadis, mulai mengadopsi
motode korporasi menggantikan model ”penataran” yang dipenuhi ceramah
membosankan. Pengalaman penulis bertahun-tahun memodifikasi dan menerapkan
pelatihan tersebut untuk mengubah pola pikir dan membangun motivasi guru
memang efektif dan nyata hasilnya.
Andaikan pelatihan
motivasi dan kinerja dijalankan pemerintah dalam sebuah strategi yang
sistemik dan tidak bersifat ”proyek” semata, diyakini hasrat guru
meningkatkan kompetensinya lambat laun jadi kenyataan.
Selamat ulang tahun
guru Indonesia, dirgahayu PGRI! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar