Tunduk ”Kepentingan” Freeport
Effnu Subiyanto ;
Advisor CikalAFA-umbrella; Direktur
Koridor;
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB
Unair Surabaya
|
JAWA
POS, 21 November 2015
MASALAH Freeport makin simpang siur tidak
keruan. Anekdot ”papa minta saham” sudah menjadi perbincangan publik dan
rangkaian kepentingan orang kuat ternyata semakin gambling.
Bulan lalu konflik tersebut mulai muncul
dengan insiden salah paham berpikir presiden dan menterinya yang tidak
sejalan. Menteri ESDM melaporkan perkembangan masalah Freeport berjalan
sesuai rencana, namun nyatanya berbeda sama sekali dan hasilnya mengagetkan.
Ironisnya, pihak Freeport menyatakan bahwa
masalah divestasi belum jelas karena menunggu perubahan PP 77/2014 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dan untuk itu due date
divestasi 14 Oktober lalu tidak diketahui dan tidak diakui Freeport.
Malah Freeport mengajukan opsi berbeda dengan
merencanakan berinvestasi tambang emas senilai USD 18 miliar (Rp 252 triliun)
dan menjadikan bahasan renegosiasi kontrak serta divestasi kabur.
Di pihak lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi)
bergeming bahwa Freeport hanya diperbolehkan melakukan diskusi perpanjangan
kontrak karya pada 2019. Artinya, lampu hijau dari Kementerian ESDM mengenai
perpanjangan kontrak sampai 2041 benar-benar belum selesai. Jangankan masalah
perpanjangan kontrak karya, soal divestasi pun kini tidak jelas juga.
Ini tentu saja preseden buruk bagi negara dan
menimbulkan citra negatif pemerintah bahwa terjadi miskomunikasi dua pihak.
Presiden Jokowi malah mengajukan lima syarat kepada Freeport jika akan
memperpanjang kontrak konsesi di Papua sampai 2041. Syarat-syarat tersebut
adalah keterlibatan Freeport membangun Papua, meningkatkan konten lokal,
kejelasan royalti, keharusan membangun smelter, dan kemauan melakukan
divestasi 10,64 persen.
Transaksional
Perundingan renegosiasi kontrak karya dan
divestasi Freeport sebetulnya sangat aneh dan tidak terhindarkan bernuansa
transaksional. Tahun lalu disebutkan, renegosiasi dengan Freeport telah
selesai, namun ternyata masih alot.
Kementerian ESDM ketika itu melaporkan bahwa
telah ada kesepakatan enam poin MoU yang meliputi luasan wilayah, royalti,
pembangunan smelter, divestasi, penguatan produk lokal, dan status kontrak
tambang. Namun, bahasan tersebut masih hangat hingga sekarang dan itu
mengindikasikan bahwa kinerja Kementerian ESDM belum selesai.
Soal divestasi pun masih tanda tanya besar.
Awal mula perundingan berdasar Undang-Undang (UU) Minerba dan PP 24/2012,
minimal divestasi adalah 51 persen. Belakangan porsi divestasi menurun
menjadi 30 persen. Kemudian menurun lagi jadi 20 persen dan akhirnya justru
10,64 persen yang diributkan sekarang.
Uniknya, Freeport menjanjikan sejumlah besar
uang untuk mengalihkan perhatian. Belum lama ini Freeport menjanjikan USD 18
miliar dalam bentuk investasi baru untuk penambangan emas.
Berikutnya, disiapkan dana belanja modal dalam
bentuk capex, disebut-sebut jumbo senilai USD 1 miliar per tahun atau sekitar
Rp 14 triliun dalam bentuk barang dan USD 900 juta (Rp 12,6 triliun) dalam
bentuk jasa.
Rencana investasi Freeport, jika mendapatkan
izin usaha penambangan khusus (IUPK), malah USD 17,3 miliar. Terdiri atas USD
15 miliar untuk tambang bawah tanah dan USD 2,3 miliar untuk membangun
fasilitas pengolahan dan smelter.
Gelimang dolar AS yang sebetulnya untuk
operasi Freeport sendiri itu untuk kompensasi karena KKnya akan berakhir
2021. Jika dapat perpanjangan sampai 2041, sebagai kompensasi sudah disiapkan
dana USD 7,1 miliar. Freeport akan menambang lebih dalam lagi tambang bawah
tanah DOZ, DEPP MLZ, dan Kucing Liar dengan dana total yang dicadangkan lebih
besar lagi: USD 16,9 miliar hingga 2041. Penambahan kedalaman tambang hingga
3.000 meter dan menjadi terdalam di seluruh dunia.
Strategi random Freeport itu terbukti
menggoyahkan pendirian Kementerian ESDM dan bahasannya menjadi kian kabur
serta jauh dari substansi yang dituntut rakyat Indonesia. Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa bernegosiasi dengan Freeport memang godaan besar karena
berurusan dengan angka kapital raksasa dengan dukungan all-out politik
pemerintah AS.
Yurisprudensi Newmont
Menyikapi peliknya soal divestasi Freeport
tersebut, menteri ESDM seharusnya bersikap sesuai dengan amanat UU. Kesulitan
seharusnya tidak dibuat sekarang jika belajar dari masalah peliknya divestasi
Newmont Nusa Tenggara (NNT) pada Juli 2012.
Saat itu pemerintah mendapatkan pil pahit
karena MK menolak pembelian 7 persen saham NNT akibat rumitnya sinkronisasi
UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD, UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara oleh BPK, serta amandemen UUD 1945.
Kini saham alokasi divestasi 7 persen kian
tidak jelas dan menjadi bahasan yang berlarut-larut. Kesempatan pemerintah
untuk mendapatkan keuntungan hilang selama tiga tahun ini dan penulis yakin
juga ada nuansa transaksional dalam hal ini.
Persoalan divestasi Freeport ini harus
dikembalikan ke rel yang ada, yakni menurut UU. Pihak Freeport tentu tidak
relevan memberikan pernyataan menunggu revisi PP 77/2014. Sebab, berdasar
yurisprudensi NNT, masalah divestasi adalah hak pemerintah. Bukan kapasitas
Freeport memilih IPO atau skema lain. Pemerintah harus tegas dan waktu
berpikir itu 90 hari sejak 14 Oktober 2015 untuk memberikan respons atau
melakukan penawaran divestasi senilai kurang lebih USD 2 miliar itu.
Freeport di pihak lain harus kooperatif dengan
Indonesia karena kesempatan beroperasi sejak 1967 sampai sekarang nyatanya
membawa keuntungan luar biasa bagi korporasi asal AS tersebut.
Persoalan divestasi itu kian rumit karena ada
interes yang dengan mudah bisa dikenali antara Kementerian ESDM dan Freeport.
Tidak dapat disangkal lagi, Kementerian ESDM bertindak ultra petita yang
melampaui kewenangannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar