Ketua Dewan Pemburu Rente
Zainal Arifin Mochtar ;
Pengajar Ilmu Hukum dan Ketua PuKAT
Korupsi
Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 21 November 2015
KETUA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya
Novanto kembali berulah. Sesungguhnya semua perdebatan di kitaran kasus
`Trumphgate', meskipun sudah diiringi dengan putusan Majelis Kehormatan Dewan
(MKD) yang cenderung memble, belum
selesai. Namun, kasus terbaru, dengan meminta saham ini, tentu akan menjadi
menarik jika melihat apa saja yang mungkin dijatuhkan terhadap Ketua DPR yang
terlihat sedang mencoba memburu rente dari perpanjangan PT Freeport
Indonesia.
Tulisan ini tentu saja dengan asumsi jika
benar hal tersebut terjadi. Hingga saat ini belum dapat dipastikan secara
detail konsep pertemuan dan isi detail pembicaraannya. Hal ini masih akan
sangat menentukan langkah apa yang mungkin diambil terhadap sang Ketua DPR.
Bertanggung jawab
Inti dari apa pun yang bisa diambil terhadap
tindakan Setya Novanto ini ialah ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Perbuatan tersebut tentu saja memalukan dengan menggunakan
perspektif apa pun. Itu seharusnya tidak ia ambil dalam kapasitas Ketua DPR
yang tentu saja menyalahi kerja-kerja seharusnya dari lembaga legislatif.
Karena itu, pertanggungjawaban menjadi sangat penting.
Pertanggungjawaban yang paling mungkin tentu
saja ialah secara politik. Ada beberapa jenis pada pertanggungjawaban
politik. Pertama, langkah yang bisa dia ambil secara aktif, semisal, ialah
mengun durkan diri. Itu akan menjadi cara yang sangat elegan. Inilah saatnya
mendirikan kembali moral politik bahwa kepercayaan itu penting. Kasus ini
telah menggerus kepercayaan selaku Ketua DPR. Karena itu, mengundurkan diri
lagi-lagi menjadi langkah yang sangat baik. Bergantung pada dia meyakini
kesalahannya. Ia bisa mundur hanya selaku Ketua DPR, bahkan sangat mungkin
selaku anggota DPR.
Kedua, ia sangat mungkin dilengserkan, baik
dengan model kesadaran MKD atau bukan tidak mungkin oleh kesadaran partainya
sendiri. Dalam kasus ‘Trumphgate’, MKD sebenarnya sudah dipermalukan dengan
penolakan kehadiran Setya. Karena itu, MKD dapat menegakkan hukum etika yang
penting ini terhadap Setya secara lebih keras dan serius. Membiarkan MKD
tidak tegas atas pelanggaran yang sudah terjadi bukan tidak mungkin hanya
akan menggerus kepercayaan dan keseriusan di balik upaya menghadirkan MKD di
dalam UU MD3. Kala MKD dibuat di UU MD3, ketakutan dan kekhawatiran publik
bahwa MKD hanya akan menjadi lembaga ‘pencuci’ dosa etik anggota DPR akan
kembali menjadi pembicaraan. Artinya MKD akan semakin jauh dari kepercayaan
sebagai lembaga yang bisa menegakkan etika dan perilaku tersebut.
Ketiga, langkah yang dapat diambil partai.
Partai Golkar tentunya sangat mungkin untuk segera menyadari adanya potensi
krisis legitimasi dan kepercayaan atas Ketua DPR yang notabene terafiliasi ke
Partai Golkar. Memperhitungkan implikasi kejengkelan publik pada Partai
Golkar menjadi penting dalam mengambil langkah yang sangat mungkin dalam
menarik Setya dari kursi Ketua DPR. Apalagi, sudah ada desakan arus muda
Partai Golkar dalam perihal ini. Langkah cepat dan tepat partai juga tentu
akan menjadi batu uji tuntutan publik agar partai berubah dan menjadi lebih
baik dalam mengawal republik ini.
Tiga langkah politik itu belum cukup
sesungguhnya karena lagi-lagi ranah politik dan hukum punya logika yang
berbeda, bahkan langkah dan langgam yang berbeda. Pertanggungjawaban politik
di atas ialah dalam kerangka menjaga muruah jabatan publiknya. Karena itu,
penjatuhan sanksi merupakan bagian perbaikan kelembagaan dan kehidupan
perpolitikan bangsa Indonesia.
Akan tetapi, bukan berarti secara hukum
selesai dan tidak bisa dilakukan langkah susulan atau bahwa simultan.
Pertanggungjawaban hukum ini tentu bisa juga dalam wajah yang jamak. Pertama,
tentu saja ranah meminjam dan menjual nama Presiden dan Wakil Presiden.
Bayangan sederhana, tentu saja itu penghinaan dan perusakan untuk nama baik
Presiden dan Wakil Presiden. Pasalnya, kata-kata yang ada sangat terlihat
seakan-akan Presiden dan Wakil Presiden sangat mau diberikan rente sejumlah
saham. Seakan-akan Presiden dan Wakil Presiden mau menggadaikan bangsa demi
11% dan 9% saham. Hal yang sangat memalukan martabat bangsa dan negara serta
Presiden dan Wakil Presiden di hadapan dunia mengingat PT Freeport ialah
perusahaan berlevel internasional. Dapat dibayangkan betapa memalukannya jika
dianggap bahwa Presiden dan Wakil Presidennya minta saham dengan menugasi
Ketua DPR untuk melakukan hal itu. Presiden dan Wapres tentu harus bersikap
juga, bukan untuk nama pribadi, melainkan untuk bangsa dan negara.
Kedua, pertanggungjawaban yang lebih serius
lagi ialah dalam klausula pidana korupsi. Jika dilihat secara detail, sangat
mungkin untuk memasukkan ke unsur Pasal 12e UU Tipikor. Jelasnya, pasal
tersebut berbunyi ‘Pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri’.
Lagi-lagi, jika benar kejadian yang terjadi
seperti yang beredar dalam transkrip, bukan tidak mungkin Setya dapat
dianggap telah memenuhi kualifi kasi ini, yakni dengan menggunakan jabatannya
selaku Ketua DPR yang didakunya memiliki kualitas untuk menyelesaikan
perpanjangan kontrak PT Freeport dan memaksa pihak lain untuk memberikan
sesuatu atau mengerjakan sesuatu yang menguntungkan diri sendiri atau orang
lain. Dalam hal ini, ada upaya untuk memperdagangkan pengaruh yang
dimilikinya untuk suatu manfaat atau keuntungan yang tidak semestinya (undue advantage).
Persoalannya tentu saja tingkat kesungguhan
negara menghadapi hal begini. Apakah negara akan lebih memilih mengejar pertanggungjawaban
Setya secara ketat dan kuat ataukah akan kembali buntu dan memble seperti
berbagai kasus yang pernah (diduga) membelit Setya. Seriuskah DPR dan
MKD-nya? Seriuskah Partai Golkar? Seriuskah Presiden dan Wakil Presiden?
Seriuskah aparat penegak hukum lainnya? Bahkan legowo dan seriuskah Setya
sendiri untuk menjaga muruah DPR dan Parlemen Negara? Pertanyaan yang kembali
akan diuji sejarah penegakan etika dan hukum negeri ini terhadap Ketua Dewan
yang ditengarai dan diduga tengah melakukan upaya memburu rente. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar